Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab al-Adab : Adab membaca Al-Qur`an dan yang berkaitan dengan Al-Qur`an (4)

Posted by Abahnya Kautsar pada 16 Juni 2008

17. Batasan yang disukai dalam mengkhatamkan Al-Qur`an.

Kebiasaan ulama salaf telah berbeda didalam memberi batasan penghitungan waktu mengkhatamkan Al-Qur`an. Diantara mereka ada yang menghatamkan Al-Qur`an selama dua bulan, sebulan, sepuluh malam, seminngu, dan inilah yang paling banyak dilakukan. Imam Nawawi mengatakan dalam Al-Adzkar[1], “Dan diantara mereka ada yang menghatamkan Al-Qur`an kurang dari tiga hari. Dan diantara mereka juga ada yang menghatamkan Al-Qur`an pada setiap malam jum’at. Dalam hal ini telah ada kisah yang sangat masyhur dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Bacalah Al-Qur`an itu pada satu bulan.” Aku berkata :”Sesungguhnyaa saya mampu kurang dari itu (sebulan).” sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda:”Maka bacalah Al-Qur`an itu dalam satu minggu, dan janganlah kurang dari seminggu itu.”[2]

Maka sebagian dari mereka menjadikan satu minggu itu sebagai batasan yang paling minimal untuk menghatamkan Al-Qur`an. Dan sebagian dari (para ulama) menjadikan tiga hari sebagai batasan tercepat dalam menghatamkan Al-Qur`an berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma t, bahwasannya beliau berkata : ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku :”Bacalah Al-Qur`an itu pada satu bulan”. Kemudian Abdullah bin Amr berkata :”Sesungguhnya aku bisa lebih kuat dari itu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Bacalah olehmu pada tiga hari.”[3]

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwasanya mengkhatam Al-Qur`an tidak mempunyai batasan tertentu, akan tetapi disesuaikan dengan kerajinan dan kekuatan. Dikarenakan telah diriwatkan dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Bahwa beliau menghatamkan Al-Qur`an hanya dalam semalam. Dan telah diriwayatkan juga hal itu dari beberapa ulama salaf. Ibnu Muflih[4] berkata :”Pendapat yang terpilih menurut kami – Mazhab Hanabilah – sebagaimana pendapat yang terpilih oleh An-Nawawi : Bahwa batasan mengkhatam Al-Qur`an berbeda menuruti orang yang membacanya. Maka barangsiapa yang memiliki bakat kemampuan untuk menganalisa detail hakikat dnakandungan makna, hendaknya dia membatasinya sesuai dengan ukuran pencapaian pemahaman atas apa yang dibacanya. Begitu juga dengan orang yang sibuk menyebarkan ilmu, atau menyelesaiakan pertikaian ditengah-tengah kaum muslimin atau kesibukan-kesibukan lainnya yang berkenaan dengan urusan agama dan kemaslahatan umum kaum muslimin. Seharusnya dia membatasi sesuai dengan ukuran yang mana tidak menyebabkan pengabaian tujuan sebenarnya yang hendak dia capai dan tidak juga meninggalkan kesempurnaannya. Adapun selain dari mereka yang disebutkan diatas,maka hendaknya dia memperbanyak bacaan yang memungkinkan baginya tanpa menyebabkan kebosanan atau membacanya dengan terburu-buru.[5]

Peringatan : Tidak satupun riwayat tentang adanya do’a khusus yang dipakai ketika menghatamkan Al-Qur`an. Adapun do’a-do’a yang tersebar dikalangan manusia saat ini, maka hal itu tidak mempunyai dalil atas pensyariatannya, dan tidak ada pula ada nash secara marfu’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat dijadikan argumen bagi orang senantiasa berdo’a dengan doa tertentu ketika mengkhatamkan Al-Qur`an Al-‘Adzhim. Dan do’a yang masyhur yang telah tersebar dikalangan manusia saat ini adalah doa mengkhatamkan Al-Qur`an yang disandarkan kepada Syaikh Al-Islam Ibnu Taymiyah rahimahullah yang sama sekali tidak benar penyandaranya kepada beliau. Sedangkan Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mewasiatkan agar tidak memasukkan do’a ini kedalam fatwa beliau, kaena keraguan beliau terhadap penisbatan doa ini kepada Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah.[6]

Masih dalam penjelasan kami berkaitan dengan doa khatam Al-Qur`an , kami akan tambahkan sebuah faedah yaitu kesimpulan yang telah dicapai oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah dalam risalah beliau yang diberi nama ( Marwiyatu Du’aa’I Khatamil Qur’ani ). Beliau berkata: “Kesimpulannya: Bahwa sesungguhnya hasih yang sarat dengan hikmah pada dua tempat dan terbagi pada dua perkara:

1. Sesungguhnya berdo’a bagi orang yang menghatamkan Al-Qur`an itu diluar shalat, dan pengucapan do’a ketika itu, amalan yang didapati sejumlah atsar dari perbuatan As-Salaf Ash-Shaleh pada generasi awal umat ini. Sebagaimana yang telah dikemukakan didepan dari amalan Anas radhiallahu ‘anhu serta diikuti oleh beberapa tabi’in, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Harb, Abul Harits dan Yusuf bin Musa rahimahumulahu ajma’in. Dikarenakan do’a khatam Al-Qur`an itu termasuk bagian dari do’a yang disyariatkan. Telah pula dikemukakan pendapat Ibnu Al-Qayyim rahimahullah tentang perkara ini: “ Tempat ini adalah tempat pengucapan doa yang paling tepat dan tempat dikabulkannya”.

2. Bahwa do’a khatam Al-Qur`an itu ketika dalam shalat, baik ketika bersama imam maupun ketika shalat sendirian yang dilakukan sebelum ruku’ atau setelahnya. Dalam shalat tarawih atau selainnya. Akan tetapi tidak diketahui satupun hadits yang musnad tentang perkara ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu pula dari para sahabat beliau radhiallahu ‘anhu .[7]

18. Disunnahkan untuk menghentikan membaca Al-Qur`an ketika diserang rasa kantuk.

Dalil permasalahan ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila seseorang dari kalian bangun pada malam hari maka Ista’jamal Qur’an (lisannya tidak akan fasih ketika membaca ayat Al-Qur`an) dan ucapannyapun tidak akan baik serta pikirannya masih lemah”.[8]

Makna dari ista’jamal Qur’an adalah kelu lidahnya sehingga tidak akan keluar dari lidahnya itu ungkapan yang baik/fasih. An-Nawawi berkata tentang ini, “ Sebab perintah untuk menghentikan bacaan Al-Qur`an ketika diserang rasa kantuk ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits Aisyah Ummul Mukminin radiallahu ‘anha dimana beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mengantuk ketika shalat, hendaklah ia pergi untuk tidur, dan jika salah seorang dari kalian mengantuk sedangkan dia sedang shalat, bisa jadi dia berkehendak untuk beristighfar (memohon ampun kepada Allah) namun malah memaki dirinya”.[9]

Dan ini adalah merupakan pengarahan yang sangat lembut dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena seseorang jika ia dalam keadaan mengantuk, biasanya perkataannya akan tidak beraturan. Sehingga seseorang yang membaca Al-Qur`an atau sedang shalat diperintahkan untuk menahan shalat dan bacaanya, agar supaya dia tidak mendoakan keburukan kepada dirinya sedangkan dia tidak menyadarinya. Dan agar Al-Qur`an terjaga dari perkataan yang keliru dan ucapan yang asing.

Faedah : Sepatutnya bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk berhenti ketika dia sudah mulai menguap mengantuk. Karena apabila dia meneruskan bacaanya dikhawatirkan akan keluar kata-kata atau suara yang mengganggu dan menggelikan. Untuk itu hendaklah ia menjaga dan mensucikan Al-Qur`an dari hal itu.

19. Disunahkan untuk menyambung bacaan Al-Qur`an dan tidak sepotong-sepotong.

Ini adalah adab yang disunahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk mengamalkan adab ini. Disaat dia telah memulai membaca Al-Qur`an agar tidak memotongnya kecuali pada perkara-perkara yang mendesak, sebagai bentuk adab kepada Kalamullah, untuk tidak memotong bacaan Al-Qur`an karena perkara duniawiyah. Oleh karena itu dilarang memotong bacaan Al-Qur`an hanya karena urusan dunia. Sungguh merupakan perkara yang mengherankan dari sebagian orang yang menunggu shalat di Masjid dengan membaca Al-Qur`an, akan tetapi dengan mudah mereka memotong/menghentikan bacaan mereka berulang kali, hanya karena urusan duniawiyah. Sungguh syaithan tidak pernah menginginkan kebaikan kepada kaum Muslimin selama-lamanya.

Dan saya akan menyertakan pemaparan kami diatas dengan atsar yang diriwayatkan oleh tabi’in yang mulia yaitu Nafi’, beliau berkata: “Apabila Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma sedang membaca Al-Qur`an, maka ia tidak akan berbicara sampai ia menyelesaikan bacaannya. Dan beliau membaca surah Al-Baqarah pada suatu hari hingga berhenti pada satu tempat dan berkata, “Tahukah kamu kepada siapa ayat ini diturunkan?”. Aku berkata, “Tidak”. Kemudian beliau menjelaskan, “Ini diturunkan pada ini dan ini kemudian beliau meneruskan bacaanya”.[10] Itulah kebiasaan Ibnu Umar ra beliau tidak memotong bacaan Al-Qur`annya kecuali dengan tujuan dan bermaksud untuk menyampaikan ilmu, dimana hal itu merupakan sebuah ibadah pula.

20. Disunnahkan untuk mengucapkan tasbih (subhanallah) ketika membaca ayat-ayat tasbih, atau berta’awwuz (A’udzubillahi minas syaithanir rajiim) ketika membaca ayat-ayat tentang azab dan memanjatkan doa ketika membaca ayat-ayat rahmat.

Dijelaskan didalam hadits Hudzaifah disaat beliau mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hudzaifah berkata: “ … – setelah beliau memulai shalat dengan takbir dan membaca iftitah kemudian membaca al-fatihah -, lalu beliau membaca surah Ali Imran dan membacanya dengan tartil. Ketika beliau membaca ayat-ayat tasbih maka beliaupun bertasbih, jika membaca ayat-ayat do’a maka beliaupun berdo’a dan jika beliau membaca ayat-ayat ta’awwudz beliaupun berta’awwudz … al-hadits”.[11]

An-Nawawi berkata: “ Bacaan-bacaan tersebut merupakan sunnah yang dianjurkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an baik dalam shalat maupun diluar shalat.[12]

21. Disunnahkan untuk sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah.

Dalam Al-Qur`an al-Karim terdapat sekitar lima belas ayat-ayat as-sajadah, disunnahkan bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an, apabila dia melewati ayat-ayat as-sajadah untuk sujud dan berdzikir sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Dan hendaklah dia membaca, “Ya Allah buanglah dariku dosa-dosa, dan tetapkanlah untukku pahala dan jadikalah pahala itu sebagai tabungan disisi-Mu”. At-Tirmidzi menambahkan , “Dan terimalah sujudku ini disisi-Mu sebagaimana Kau menerimanya dari Daud disisi-Mu”.[13]

Atau hendaklah ia mengucapkan: “ Yaa Allah, telah sujud wajahku kepada yang menciptakannya dan yang menempatkan pendengaran dan penglihatannya dengan segala daya dan kekuatannya “

Atau mengucapkan: “Ya Allah hanya kepada-Mu aku bersujud dan hanya kepada-Mu aku beriman serta hanya kepada-Mu aku memohon keselamatan, serta sujud kepada Allah yang telah menciptakan bentuknya, memberikan pendengran serta penglihatan, Tabarakallahu ahsanul Khaaliqin”.[14]

Akan tetapi hal ini bukan merupakan perkara yang wajib, namun sekedar sunnah saja. Jadi apabila dilakukan maka akan mendapat pahala dan tidak mengapa jika meninggalkannya. Tetapi tidak sepantasnya bagi orang yang beriman untuk meninggalkan dan lalai amalan-amalan ini. Adapun dalil yang menunjukan bahwa hal itu hanyalah sunnah saja tidak sampai kederajat wajib adalah bacaan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah. Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar dari Zaid bin Tsabit ia berkata: “Saya membacakan surat An-Najm dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tidak sujud ketika melalui ayat-ayat sajadah”.[15]

Dan begitu pula yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika beliau sedang berkhuthbah diatas mimbar pada hari Jum’at dan beliau membaca surat an-Nahl kemudian beliau sujud ketika membaca ayat sajadah. Pda jum’at berikutnya, dan ketika beliau membaca An-Nahl, dan sewaktu berada pada ayat as-sajadah, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia sesungguhnya kita telah melewati ayat-ayat sajadah ketika membaca Al-Qur`an, , barang siapa yang melakukan sujud tilawah maka akan mendapat pahala dan bagi yang tidak melakukanya tidak ada dosa baginya”.

Dan Nafi’ dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu menambahkan, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada kita untuk sujud at-tilawah ketika kita membaca ayat-ayat sajadah kecuali jika kita menginginkannya”.[16]

Masalah: Apakah sujud at-tilawah ketika membaca Al-Qur`an itu diharuskan padanya syarat-syarat sebagaimana sujud ketika shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta harus dengan bersuci dan menghadap kiblat dan selainya?

Jawab : Sujud tilawah ketika membaca Al-Qur`an tidak ada diharuskan adanya suatu permulaan dan penutup. Ini adalah Sunnah yang telah makruf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan diamalkan oleh seluruh ulama As-Salaf. Dan telah menjadi pernyataan resmi pada imam yang populer. Dengan demikian amalan ini bukanlah sebuah shalat, sehingga tidaklah disyaratkan pada amalan ini syarat-syarat shalat. Bahkan diperbolehkan dikerjakan walau tanpa thaharah/bersuci, sebagaimana halnya Ibnu Umar yang melakukan sujud tanpa mesti bersuci, akan tetapi dengan melakukan syarat-syarat shalat jauh lebih utama. Dan sepatutnya hal itu tidak terabaikan kecuali karena adanya udzur. Inilah pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.[17]

Faedah Pertama : Disunnahkan untuk sujud tilawah bagi orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur`an dengan baik dan tidak bagi orang yang mendengarnya sambil lewat. Karena ada perbedaan antara keduanya. Bahwa orang yang mendengarkan Al-Qur`an dengan seksama adalah orang yang diam pada sesuatu untuk mendengarkannya, sedangkan yang satunya adalah seseorang yang mendengar bacaan sambil berlalu. Walaupun diantara kedua orang ini sama-sama mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Akan tetapi yang kedua ini yakni orang yang medengar sambil berlalu hanya melewati tempat dimana ada orang yang sedang membaca Al-Qur`an atau yang lainnya. Kemudian orang yang membaca Al-Qur`an itu sujud sewaktu membaca ayat as-sajadah, dan pada keadaan ini, disunnahkan seseorang yang menyimak bacaan Al-Qur`an untuk turut sujud namun tidak bagi yang mendengarnya sambil lalu..

Dikarenakan orang yang mendengarkan dengan seksama dihukumi seperti membaca Al-Qur`an sedangkan orang yang berlalu tidak. Hal ini lebih jelas lagi dalam firman Allah ta’ala kepada Musa dan Harun alaihimassalam

“ Dan doa kalian berdua telah dikabulkan maka berlaku luruslah “ (Yunus : 89)

Sedangkan yang berdoa hanyalah Musa, hanya saja ketika Harun mengaminkan doa Musa, maka beliaupun menempati hukum seorang yang berdoa dan tercakup dalam ayat diatas.[18]

Faedah: Tidak sepantasnya hanya mencukupkan dengan dzikir yang disunnahkan dibaca pada sujud tilawah, bahkan diwajibkan utnuk membaca dzikir sebagaimana bacaan sujud dalam sahalat. (Subhana Rabbi A’la) Dan inilah yang utama. Kemudian bagi orang yang sujud hendaklah dia membaca dzikir sesuai yang dikehendakinya. Bahkan sebagian ulama mengkategorikan pembatasan itu termasuk perkara al-muhdats ( bid’ah ).[19]

22. Makruh mencium mushaf dan menempelkannya di antara dua mata.

Sungguh orang yang tidak memiliki pengetahuan akan mengatakan, “Mengapa dibenci mencium mushaf dan menempelkannya diantara dua mata, padahal hal itu dalam rangka mengagungkan dan mensucikan Kalamullah?”

Maka kita jawab : Bahwasannya mencium mushaf dan meletakkannya di anta dua mata atau dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan cara mendekatkan diri kepada Allah terhenti pada shahihnya suatu dalil yang tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya. Dan kami menolak amalan mencium mushhaf sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan Kalamullah dan juga sebagai manifestasi pengagungan kami terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah kita ketahui dari periwayatan yang tidak diragukan lagi bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak.” Maksudnya perbuatan tersebut dikembalikan kepada pelakunya.

Dari Imam Ahmad ketika ditanya sejumlah riwayat yang menerangkan masalah ini, beliau mendiamkannya Al Qadhi berkata didalam kitab Jami’ Al-Kabir mengenai riwayat ini: Bahwa sesunguhnya diamnya Imam Ahmad terhadap masalah itu, walau terkandung pengkultusan dan pemuliaan, karna semua cara mendekatkan diri kepada Allah tidak diperbolehkan branalogi didalamnya dan tidak disenangi perbuatan tersebut walaupun terkandung pengagungan kecuali dengan mberhenti pada dalil. Tdakkah anda memperhatikan bahwa Umar ketika melihat Hajar Aswad beliau berkata : Tidaklah engkau mendatangkan mudharat dan tidak juga manfaat, seandainya bukan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menciummu niscaya saya tidak akan menciummu. Demikian pula yang dilakukan Muawiyah ketika thawaf, beliau mencium semua rukunya. Hal ini lalu diingkari oleh Ibnu Abbas, beliau berkata: ”Tidak ada sesuatupun pada rumah ini yang harus dihormati.” Beliau mengatakan :”Sesungguhnya ini – kembali kepada – Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau mengingkari tambahan atas perbuatan yang telah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[20]

Ketika Ibnu Musayyab melihat sesorang memanjangkan ruku`nya dan sujud setelah shalat fajar, maka beliau melarangnya, lalu orang tersebut mengatakan :”Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena mengerjakan shalat?” Dia menjawab :”Tidak, akan tetapi adzab itu karena menyelisihi sunnah.” [21]

Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa : “Kami tidak mengetahui adanya dalil yang mensyariatkan utnuk mencium Al-Quran, adapun Al-Quran itu diturunkan untuk dibaca, dipelajari, dan beramal dengannya.”[22]

23. Makruh menaggantungkan ayat-ayat di dinding dan selainnya.

Telah tersebar dibanyak rumah-rumah sebagian orang menggantung atau menggambar surat-surat atau ayat-ayat Al-Quran, baik di dinding maupun di ruangan serta di lorong-lorong rumah. Diantara mereka ada yang menggantungnya dalam rangka mencari berkah, dan ada yang hanya sekedar menjadikannya sebagi hiasan. Dan sebagian mereka memperindah tempat perdagangan mereka dengan ayat-ayat yang bersesuaian dengan perdagangan. Diantara mereka juga ada yang menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an itu pada kendaraan mereka baik dalam rangka untuk digunakan sebagai penangkal ataupun dalam rangka mencari berkah dan sebagian mereka juga menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada kendaraannya dalam rangka untuk mengingat dan menghafal.

Al-Lajnah Ad-Daa`imah telah menyatakan sebuah fatwa yang sangat panjang tentang perkara ini, intinya mereka menyatakan terlarang untuk menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada dinding atau tembok atau pada tempat-tempat perdagangan dan lain-lainnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari fatwa yang panjang itu adalah sebagi berikut :

1. Bahwasannya menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada dinding atau selainnya merupakan bentuk penyimpangan dari fungsi diturunkannya Al-Qur`an sebagai petunjuk, nasihat yang baik, serta menjaga dengan membacanya.

2. Bahwasannya hal itu merupakan penyelisihan terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin.

3. Dan larangan ini dalam rangka mencegah pelakunya dari perbuatan syirik dan menjadikan sebagai wasilah kesyirikan berupa penangkal dan jimat walaupun hal itu diambil dari al Quran.

4. Bahwasannya al Quran diturunkan untuk dibaca dan bukan untuk di ambil sebagai pencari keuntungan dalam perdagangan.

5. Sesungguhnya dalam perbuatan ini akan menempatkan ayat-ayat Allah sebagai penguji dan merusaknya disaat memindahkanny dari satu tempat ketempat lainnya dan lain sebagainya..

Kemudian Al-Lajnah Ad-Daa`imah berfatwa :”Secara umum, hendaklah kita menutup pintu-pintu keburukan dan mengikuti para Imam yang telah diberi petunjuk dari generasi pertama yang mana mereka menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dan menyelamatkan aqidah kaum muslimin, dan menyelamatkan seluruh hukum agama mereka dari perbuatan bid’ah yang tidak diketahui akhir keburukanya .[23]


[1] Lihat pada kitab Al-Adzkar hal. 153.

[2] HR. Al-Bukhari no.5054

[3] HR. Abu Dawud no.1391. Al-Albani berkata : Hadits ini hasan shahih.”

[4] Al-Adab Asy- Syar’Iyah (2/282)

[5] Al-Adzkar hal.154

[6] Lihat Al-Ajzaa`u Al-Haditsiyah oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullah hal.239

[7] Al-Ajzaau Al-Haditsiah (Marwiyatu Du’aa’I Khatam Al-Qur’an) hal.290

[8] HR. Muslim no.787

[9] HR.Muslim no.786

[10] HR.Al-Bukhari no.4526

[11] HR. Muslim no. 727

[12] Syarah Muslim Jilid 2 (2/52)

[13] HR. At-Tirmidzi no. 3424, Ibnu Majah no. 1053 dan lafazh ini adalah lafazh riwayat beliau, Al-Albany berkata hadits ini hasan pada no.872/1062.

[14] HR. Abu Daud no.1414 dan lafazh ini milik beliau dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albany no.1255, dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no.23502, An-Nasaa`i no.1129, dan At-Tirmidzi no.3425.

[15] HR. Al-Bukhari no.1037 dan Muslim no.577, Ahmad no.21081, At-Tirmidzi no.576 dan An-Nasaa`i no.960 Abu Daud no.1404.

[16] HR. Al-Bukhari no.1077

[17] Al-Fatawa no 23/165

[18] Lihat Asy-Syarah Al-Mumti’ Oleh Asy-Syaikh Utsaimin 4/131-133.

[19] Lihat Tashhih Ad-Du’a oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, hal.293 certakan Daar Al-‘Ashimah, Maktabah Al-‘Arabiyah As-Su’udiyah. Cetakan pertama tahun 1419H.

[20] Al-Adab Asy-Syar’iyah oleh Ibnu Muflih.

[21] At-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr. (20/104) Cetakan Daar Ath-Thayyibah.

[22] Al-Fatawa no. 8852 juz 3 hal 122.

[23] Al-Fatawa no.2078 (4/30-33). Dan kami menasehatkan untuk amembaca fatwa ini karena didalamnya terdapat banyak faedah.

Tinggalkan komentar