Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab al-Adab : Adab membaca Al-Qur`an dan yang berkaitan dengan Al-Qur`an (3)

Posted by Abahnya Kautsar pada 16 Juni 2008

11. Merupakan sunnah, membaca isti’adzah dan basmalah ketika memulai membaca Al-Qur`an.

Termasuk sunnah, membaca isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al-Qur`an sebagaimana firman Allah :

” Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl : 98).

Juga dari hadits yang diriwayatkan Abu Said al Khudri yang mengatakan: ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat malam, beliau bertakbir kemudian membaca :

(Maha Suci Engkau, ya Allah, segala puji bagimu, maha suci namaMu, maha tinggi keagunganMu, dan tiada ilah selainMu). Kemudian membaca : (Tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau) sebanyak tiga kali, kemudian membaca : (Allah Maha Besar) tiga kali, kemudian membaca: (Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui dari syetan yang terkutuk, dari godaannya, dari kesombongannya, dan pengaruhnya)[1] kemudian baru membaca surah (Al-Qur`an)[2].

Dari ayat dan hadits diatas dapatlah kita ketahui dua sighat al-isti’adzah, yaitu:

1. A’udzu billahi min asy-syaithan ar-rajiim

2. A’udzu billah as-samii’ al-‘aliim min asy-syaithan ar-rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi.

3. A’udzu bis-samii’ al-‘aliim min asy-syaithan ar-rajiim [3]

Dan disunahkan bagi orang yang membaca al-Qur`an untuk mengamal sighat isti’adzah yang pertama dan juga yang berikutnya.

Faedah Isti’adzah: Untuk menjauhkan syaithan dari hati-hati manusia, disaat seseorang membaca kitabullan hingga seseorang mencapai tadabbur Al-Qur`an dan dapat memahami maknanya, dan mengambil manfaat dari Al-Qur`an tersebut. Karena akan ada perbedaan jikalau anda membaca Al-Qur`an dengan hati khusyu’ dan disaat anda membaca Al-Qur`an sementara hati anda yang lalai. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah.[4]

Adapun membaca basmalah ketika memulai membaca Al-Qur`an merupakan amalan yang sunnah saja. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata: “ Pada suatu hari setelah shalat dzhuhur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada disisi kami dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mengantuk lalu beliau mengangkat kepala beliau dan tersenyum. Lalu kami bertanya kepada beliau, “Apa yang menyebabkan anda tertawa, wahai Rasulullah?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat yang mulia” , kemudian belaiu membaca

“ Sesunguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar – telaga disurga. Maka shalatlah kepada Rabb-mu dan berkurbanlah. Sesungguhnya yang membencimu adalah orang yang terputus “ (Al-Kautsar), al-hadits”.[5]

Pertanyaan : Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin ketika selesai membaca Al-Qur`an mereka mengucapkan “Shadaqallahul ‘Adziim” apakah ini ada dalilnya yang shahih?

Jawab : Tidak ada dalil untuk mengucapkan “Shaqallahul ‘Adziim” ketika selesai membaca Al-Qur`an. Walaupun ini amalan sebagian besar kaum muslimin, akan tetapi amalan mayoritas bukanlah dalil bahwa amalan tersebut benar. Allah ta’ala berfirman :

“ Dan tidaklah sebagian besar kaum manusia , walaupun engkau berupaya , akan beriman “ (Yusuf: 103 )

Demikian pula ada pendapat yang sangat mengesankan dari Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah:

“ Janganlah engkau merasa kesepian dengan jalan-jalan petunjuk hanya karena sedikitnya yang mengikuti jalan tersebut. Dan janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang meniti jalan kebinasaan “.

Akan tetapi sesungguhnya dalil menguatkan pendapat yang menolak penutupan bacan Al-Qur`an dengan ucapan ini. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dan selain mereka dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasululla Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacakanlah –Al-Qur`an- untukku” Ibnu Mas’ud berkata: “ Saya bertanya: Akankah saya membacakan Al-Qur`an untukmu sedangkan kepadamu Al-Qur`an itu diturunkan?”

Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku suka untuk mendengarkan Al-Qur`an dari orang lain”.

Ibnu Mas’ud berkata: “ Maka saya pun membacakan surat An-Nisaa` hingga saya sampai pada ayat:

“ Dan Bagaimanakah jikalau Kami mendatangkan bagi masing-masing umat seorang saksi, dan kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka semua “ (An-Nisaa` : 41 )

Beliau berkata kepadaku: “Cukup atau tahan bacaanmu”, dan aku melihat kedua mata beliau meneteskan air”.[6]

Dan demi ayah dan ibuku yang menjadi jaminannya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Ibnu Mas’ud untuk mengucapkan “Shadaqallahul’adzim” dan beliau tidak menetapkan hal itu dan tidak pula dilakukan oleh orang-orang generasi pertama dari umat ini semoga Allah meridhai mereka bahwa mereka tidak pernah mengucapkan hal itu ketika mereka selesai membaca Al-Qur`an. Begitu juga tidak pernah diketahui bahwa Salaf Ash-Shalih yakni orang-orang yang hidup setelah generasi sahabat bahwa mereka telah mengamalkannya. Tidak ada yang dapat dikatakan selain kita bahwa amalan tersebut adalah amalan yang muhdats – diada-adakan – dan tidak ada sunnah yang membolehkan dzikir ini.

Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa: “ Seseorang mengatakan “shadaqallahul’adzim “ ucapan ini pada dasarnya adalah ucapan benar. Akan tetapi apabila ia mengucapkannya setelah selesai membaca Al-Qur`an dengan terus menerus, maka ini termasuk perbuatan bid’ah. Dikarenakan bacaan itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa` Ar-Rasyidin sebatas yang kami ketahui, sementara mereka seringkali membaca Al-Qur`an. Dan telah shahih driwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang beramal dengan sebuah amalan yang tidak ada baginya perintah dari kami, maka amalan itu tertolak”. Dan pada riwayat lain: “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang hal tersebut bukan merupakan urusan dari kami, maka tertolak”.[7]

Faedah : An-Nawawi menyebutkan dalam kitab beliau Al-Adzkar, bahwa beliau berkata: “ Disunnahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an jika ia memulainya dari pertengahan surat hendaklah ia memulainya dari awal kalimat-kalimat saling berkaitan sebagian dengan sebagian lainnya. Demikian pula hendaklah ia berhenti pada tempat berhenti pada kalimat yang berkaitan, atau pada akhir kalimat. Dan janganlah dia bergantung dalam masing-masing tempat berhenti , ketika memulai, atau ketika berhenti pada setiap juz, atau setiab hizb bacaan, atau pada setiap ‘usyr juz. Karena sebagian besar tempat-tempat tersebut berada pada pertengahan kalimat … Kemudian beliau berkata, “ Dan semakna dengan pernyataan ini sesuai dengan perkataan ulama: “ Membaca Al-Qur`an dengan menyempurnakan setiap surat itu lebih utama dari pada sebagian surah pada surah-surah yang panjang. Dikarenakan penyesuaian bacaan ayat telah tersamarkan bagi mayoritas kaum muslimin atau bahkan paling banyaknya diantara mereka dia pada beberapa keadaan dan tempat”.[8]

12. Disunnahkan membaca Al-Quran dengan tartil dan makruh membaca al quran secara cepat.

Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca Al-Qur`an secara tartil, sebagaimana firman-Nya :

“ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).

Adapun yang dimaksud dengan tartil dalam membaca adalah membaca dengan teratur dan pelan-pelan serta dengan suara yang jelas tanpa salah. Ibnu Abbas t ketika menjelaskan tafsiran surah ini

“ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).

Beliau mengatakan, “Membaca Al-Qur`an itu dengan sejelas-jelasnya.” Abu Ishaq mengatakan, “Bacaan yang jelas tidak mungkin terwujud dengan tergesa-gesa ketika membaca, adapun untuk mewujudkannya adalah dengan cara mencermati setiap huruf yang dibaca dan memenuhi hak-haknya (ketentuan-ketentuan hukum qira’ah).”[9] Sedangkan faedah yang bisa diambil dari membaca Al-Qur`an dengan cara tartil adalah mengajak kita untuk memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur`an tersebut.

Mayoritas para salaf dari kalangan para sahabat maupun yang sesudah mereka, sangat membenci orang yang membaca Al-Qur`an dengan cara terburu-buru. Penyebab ketidak senangan mereka adalah karena kemaun para qari’ untuk membaca dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat adalah merupakan kelalaian, dikarenakan ingin mendapat pahala besar tapi hilang mashlahat yang lebih besar yaitu tadabbur atau mepelajari serta memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur`an, mengambil faedah darinya, dan pengaruh bacaan Al-Qur`an yang nampak jelas pada diri qari’ itu sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa seseorang yang membaca Al-Qur`an sedangkan dia memikirkan ayat-ayatnya dan menghadirkan atau berusaha memahami makna-maknanya, hal ini jelas lebih baik dari pada orang yang membacanya dengan tergesa-gesa karena ingin cepat menyelesaikan bacaannya atau selesai dan banyak jumlah yang dibaca.

Ibnu Mas’ud memiliki perkataan yang berisikan kritikan beliau terhadap orang yang membaca Al-Qur`an dengan tergesa-gesa, diriwayatkan dari Abi Wail beliau berkata: “ Seorang laki-laki datang menjumpai beliau yang dikenal dengan nama Nuhaik bin Sinan, lalu orang tersebut berkata: “ Wahai Abu Abdurrahman Bagaimanakah anda membaca huruf ini, apakah dengan huruf aliif atau dengan huruf yaa` , yaitu pada firman Allah ta’ala:ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ataukah dengan: ﮎ ﮏ ﮐ ياسِنٍ ?

Dia berkata: “ Berkata Abdullah: “ Semua ayat-ayat Al-Qur`a telah anda hitung selain ayat ini? “

Dia berkata: “ Sesungguhnya aku membaca surah al-mufashshal pada satu raka’at. “

Maka Abdullah berkata: “Ini adalah pemenggalan sebagaimana pemenggalan sebuah sya’ir ? Sesungguhnya ada sekelompok kaum yang mereka membaca Al-Qur`an, akan tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Akan tetapi apabila mereka meresapinya dalam hati dan merasakan manfaatnya serta mengambil faedah padanya, barulah mereka berlalu …”[10]

Diriwayatkan dari Abu Jamrah t mengatakan: “Aku berkata kepada Ibnu Abbas, Sesungguhnya aku sangat cepat membaca Al-Qur`an dan aku dapat menyelesaikannya dalam tiga hari.” Maka Ibnu Abbas mengatakan, “ Sesungguhnya aku membaca Al-Baqarah dalam semalam dengan mentadaburinya dan mentartilnya, dan aku lebih menyukainya dari pada aku membaca sebagaimana yang engkau katakan “.

Dalam riwayat lainnya Ibnu Abbas berkata: “Jika kamu memang mesti melakukannya dengan demikan (cepat), maka hendaklah kamu membacanya dengan bacaan yang dapat didengar oleh telingamu dan dipahami hatimu.”[11]

Ibnu Muflih mengatakan: “ Ahmad berkata: Saya menyukai bacaan Al-Qur`an yang mudah dan saya membenci bacan Al-Qur`an dengan cepat. “

Harb berkata: “ Saya bertanya kepada Ahmad tentang bacaan Al-Qur`an dengan cepat, dan beliau tidak menyukainya, kecuali apabila lisan orang tersebut seperti itu. Ataukah dia tidak dapat membacanya perlahan. Lalu ada yang bertanya: Apakah seperti itu berdosa?

Beliau menjawab: Adapun tentang dosanya, saya tidak berani untuk mengomentarinya “[12]

Masalah: Manakah yang lebih utaman bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an, membacanya dengan tenang dan tadabbur ataukah membacanya dengan cepat, namun tanpa mengabaikan sedikitpun huruf-huruf dan harat-harakatnya ?

Jawab: Apabila bacaan yang cepat tersebut tidak sampai mengabaikan aturan qira’ah, sebagian ulama telah mengutamakan bacaan dengan cepat seperti itu dengan harapan banyaknya pahala yang akan diperolehnyadenganbanyaknya bacaan Al-Qur`an. Sementara sebagian ulama lainnya lebih mengutamakan bacaan yan tartiil dan tenang.

Ibnu Hajar mengatakan: “ Pendapat yang tepat, bahwa masing-masin baik itu bacaan yang cepat dan juga bacaan yang tartil memiliki keutamaan tersendiri. Dengan syarat bahwa bacaan yang cepat tersebut tidak sampai mengabaikan hak huruf-huruf bacaan beserta harakat-harakatnya, sukun serta hal-hal wajib lainnya. Jadi tidak ada halangan dalam mengutamakan slaah satu diantara keduanya atau menyatakan keduanya sama dalam hal keutamaan. Karena seseorang yang membaca Al-Qur`an dengan tartil dan menelaah ayat demi ayat, layaknya seseorang yang mendermakan sebuah permata yang sangat bernilai. Dan yang membaca dengan cepat layaknya seseorang yang mendermakan beberapa permata dengan harga yang senilai. Terkadang nilai permata yang satu melebihi nilai permata yang banyak dan terkadang malah sebaliknya “[13]

13. Disunnahkan memanjangkan bacaan Al-Qur`an.

Hal ini shahih keterangannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas radhiallahu ‘anhu ditanya tentang bacaan Al-Qur`an Rasulullah, maka Anas menjawab : ”Beliau memanjangkannya, kemudian membaca basmallah, maka beliau memanjangkan bismillah, memanjangkan ar-rahman, dan memanjangkan ar-rahim.”[14]

14. Disunnahkan membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an dan larangan membaca menyerupai orang bernyanyi.
[15]

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata : ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭼ pada shalat ‘isya’. Tidaklah saya mendengar seorang pun lebih bagus suaranya atau bacaannya dari beliau.”[16]

Adapun tentang disunnahkannya membaguskan suara ketika membaca, beberapa hadits-hadits shahih telah menerangkannya, diantaranya, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”TidaklahAllah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an “[17]

Ibnu Katsir mengatakan :”Maknanya adalah bahwa Allah tidak mendengar sebagaimana Allah mendengar bacaan Nabi yang mana beliau mengeraskan bacaannya dan membaguskannya. Hal ini disebabkan pada bacaan para Nabi terkumpul suara yang bagus karena kesempurnaan ciptaan mereka serta rasa khusyu’ yang sempurna. Inilah tujuan dari hal itu semua. Allah mendengar suara selurh hamba-Nya, yang taat maupun yang ingkar. Imam Ahmad mengatakan : ”Seorang qari’ sepatutnya membaguskan suara bacaan Al-Qur`annya, membacanya dengan penuh penghayatan, dan mentadaburinya, dan inilah makna sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”TidaklahAllah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an “[18]

Dalil yang lain adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Bukan golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur`an.”[19]

Juga dari hadits Al-Barra’ bin ‘Azib yang berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Perbaguslah suara kalian dengan bacaan Al-Qur`an!”[20]

Yang dimaksud membaguskan suara disini yaitu memperindah, menghayati, dan khusyu’ ketika membacanya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Katsir mengatakan. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar bacaan Abu Musa Al Asy’ary, beliau mengatakan kepadanya: ” Seandainya engkau menyaksikanku disaat saya mendengar bacaanmu semalam ! Sungguh engkau telah diberi keindahan suara sebgaiman keindahan suara Daud”.[21]

Pada salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la terdapat tambahan dari eprkataan Abu Musa: “ Sekiranya saya mengetahui keberadaan anda, niscaya saya memperbagusnya untuk anda “. Perkataan Abu Musa menunjukkan bolehnya berusaha membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an, akan tetapi perkataan ini berarti mengeluarkan bacaan Al-Qur`an dari ketentuannya yang disyariatkan, seperti berlebihan memanjangkan bacaan, menyambung ayat tanpa jeda, dan berlebih-lebihan sampai terjadi lahn dalam bacaannya. Yang demikian ini sama sekali tidak disyariatkan. Imam Ahmad membenci membaca Al Qur’an dengan bacaan yang lahn, bahkan beliau mengatakan :”Yang seperti itu bid’ah.”[22]

Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan :”Membaca al Qur’an dengan cara melagukannya/lahn seperti nyanyian adalah makruh yang bid’ah sebagaimana disinyalir dalam perkataan Imam Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hambal, dan para imam selain mereka.[23]

15. Menangis ketika membaca al Qur’an atau ketika mendengarnya.

Kedua hal ini telah disebutkan didalam As-Sunnah. Yang pertama sesuai dengan hadits riwayat Abdullah bin Syuhair radhiallahu ‘anhu, bahwasannya beliau berkata: ”Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang shalat, dan dari dalam tenggorokan beliau terdengar suara mendesis seperti berdesisnya periuk. Ternyata beliau sedang menangis.” [24] Abdullah bin Syadat mengatakan :”Aku mendengar Umar radhiallahu ‘anhu tersedu-sedu, sedangkan aku berada di shaf terakhir, beliau (Umar radhiallahu ‘anhu) membaca :

“ Sesungguhnya saya mengadukan kegundahan dan kesedihanku kepada Allah “ (Yusuf : 86 ).

Yang kedua (menangis ketika mendengar) adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dia mengatakan : ”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku :“Bacakanlah Al-Quran untukku!” Lalu aku berkata :”Ya Rasulullah, aku membaca al Qur’an untukmu sedangkan Al-Qur`an diturunkan kepadamu?” Beliau berkata :”Ya.” Maka aku membaca surat an Nisa’, dan ketika aku sampai pada ayat :

“ Dan bagaimanakan apabila Kami mendatangkan kepada masing-masing umat seorang saksi dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka “ (An-Nisaa` : 41 ), beliau berkata:”Cukup!”. Kemudian beliau berpaling dan kedua mata beliau bercucuran air mata.”[25]

Adapun yang sebagian orang lakukan pada hari ini berupa teriakan, ratapan, dan menangis keras-keras, maka ini telah keluar dari jalan yang lurus. Akan tetapi jangan sampai setiap orang menyangka bahwa kami menempatkan hukum ini secara umum, sekali-kali tidak ! Bahkan kami katakan, diantara mereka ada yang benar, tapi ada juga yang tidak seperti itu. Yang sangat mengherankan pada diri orang-orang yang berlebih-lebihan tersebut, bahwa mereka mencurahkan ibarat demi ibarat ketika mendengarkan doa imam ketika membaca doa qunut, akan tetapi air mata boleh dikatakan tidak keluar sama sekali dari lekuk mata mereka ketika mendengarkan Kalamullah dan ayat-ayat-Nya ! Kami katakan kepada mereka yang berlebih-lebihan ini: Hendaknya kalian memperhatikan,bahwa sesungguhnya manusia yang paling sempurna keadaannya adalah mereka yang Allah sifatkan dalam firmannya :

“ Dialah Allah yang telah menurunkan perkataan yang paling baik, yakni sebuah Kitab yang serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang. Kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka akan gemetar karenanya dan menjadi tenang dan hati mereka akan kembali mengingat Allah “(Az-Zumar : 23 ).

Dan orang yang paling sempurna adalah orang yang keadaannya seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu yang tangisannya mendesis seperti berdesisnya periuk.

Akan tetapi jika ada yang berdalih/beralasan bahwasannya sebagian orang terdahulu mereka pingsan bahkan meninggal ketika dibacakan kepada mereka Al-Qur`an atau mereka mendengarkan bacaannya. Dan jawaban atas alasan ini adalah bahwa sesungguhnya kami tidak mengingkari cerita itu dari sebagian generasi terdahulu seperti tabi’in dan generasi setelah mereka, akan tetapi tidak diketahui apakah para sahabat semoga Allah meridhainya melakukannya. Dan sebab dari itu, karena yang menyentuh – hati mereka – adalah sesuatu yang kuat , dan menghantam tempat yang sangat lemah yakni hati mereka, sehingga tidak mampu menahannya, maka terjadilah apa yang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang benar dari apa yang mereka hayati, dan mereka juga diberi udzur.

Ibnu Muflih berkata: “Keadaan ini seringkali terjadi pada Imam baik dari sisi ilmu maupun amal – yaitu syaikh Imam Ahmad – yakni Yahya bin Al-Qahthan. Imam Ahmad berkata, “Apabila seseorang mampu menahannya maka niscaya Yahya akan sanggup menahannya. Dan hal itu juga telah terjadi pada selain mereka. Di antara mereka ada yang benar pada keadaan mereka da ada juga yang selain itu. Dan saya bersumpah, bahwa yang bberlaku jujur diantara mereka sungguh dia mendapatkan kedudukan yang adung. Karena jika bukan disebabkan hati yang hidup dan mengetahui makna yang dibacanya serta kedudukannya, serta menghadirkan makna yang dibacanya tersebut lalu diresapi, hal itu tidak akan tercapai. Akan tetapi keadaan generasi awal jauh lebih sempurna. Dimana seseorang akan mencapai segala yang mereka capai, bahkan lebih agung lagi, bersamaan dengan keteguhan hati mereka serta kekuatan sanbari mereka. Semoga Allah meridhai mereka semua.[26]

Faedah : Dsunnahkan meminta untuk dibacakan Al-Qur`an dari Qari’ yang baik bacaannya (tajwidnya) lagi bagus suaranya. Hal ini akan semakin jelas dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Mas’ud untuk membacakan Al-Qur`an. Ibnu Mas’ud mengatakan :”Nabi berkata kepadaku :”Bacakanlah (Al-Qur`an) untukku!” Aku berkata : ”Aku membaca Al-Qur`an untukmu sedangkan Al-Qur`an diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabsa : ”Aku senang jika aku mendengarnya dari selainku.”[27]

Adapun Ibnu Mas’ud adalah sahabat yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang diri beliau : ”Barang siapa yang hendak membacakan Al-Qur`an dengan jelas lagi merdu sebagaimana ketika Al-Qur`an diturunkan, maka hendaklah dia membacanya sebagaimana Ibnu Ummi ‘Abdin membacanya.”

Ibnu Mas’ud termasuk salah satu dari empat sahabat yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan untuk mengambil Al-Qur`an dari mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Mintalah bacaan Al-Qur`an dari empat orang, Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim maula Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabbal!”[28]

16. Disunnahkan untuk mengeraskan bacaan Al-Quran jika tidak mendatangkan mafsadah.

An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Adzkar : ”Sejumlah atsar tentang keutamaan menjahrkan (mengeraskan suara) dan mensirrkan (membaca dengan suara yang sangat pelan) ketika membaca Al-Qur`an. Para ulama mengatakan : Untuk menyelaraskan kedua hadits tersebut, bahwasannya membaca dengan sirr akan menjauhkan seseorang dari sifat riya’. Dan ini lebih utama ketika seseorang khawatir akan terjatuh kepada hal itu. Apabila tidak ditakutkan akan terkena sifat riya’, maka mengeraskan suara itu lebih utama, dengan syarat, tidak mengganggu orang lain yang mungkin sedang shalat, tidur, atau selainnya.” Mengeraskan bacaan Al-Qur`an ini merupakan amalan yang sangat besar karena akan memberikan manfaat kepada orang yang mendengarnya dan akan memantapkan hati orang yang membacanya serta akan dapat menyatukan segala keinginannya untuk memikirkan Al-Qur`an dan pendengarannya tertuju kepada bacaan Al-Qur`an. Dan bacaan itu dapat mengusir kantuk serta akan menambahkan sifat rajin dan giat. Apabila salah satu dari sekian niat ini menyertai bacaan Al-Qur`an dengan keras, maka membaca dengan jahr lebih utama.[29]

Akan tetapi ada baiknya bagi kami untuk mengisyaratkan kepada suatu perkara yang penting, yaitu bahwa seseorang yang menjaharkan bacaan Al-Qur`an sepatutnya memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti orang yang sedang shalat, atau orang yang sedang membaca Al-Qur`an dan atau orang yang sedang tiduragar jangan sampai mengganggu mereka dengan bacan yang diekraskan tersebut..

Telah diriwayatkan oleh Abu Said radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang I’tikaf di masjid. Lalu beliau mendengar orang orang membaca Al-Qur`an dengan suara yang keras. Lalu beliau menyikap tabir dan mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya masing-masing kalian itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka janganlah kalian sebagian diantara kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaannya hingga mengganggu bacaan sebagian yang lain “.Atau dengan tambahan beliau bersabda :”Ketika sedang shalat.”[30]

Catatan penting : Tidak boleh bagi seorang perempuan membaca Al-Qur`an dengan jahar, sementara ada laki-laki lain (bukan muhrim) didekatnya. Karena dikhawatirkan akan mendatangkan fitnah kepada wanita tersebut. Syariat Islam telah mengutamakan sadd adz-dzaraa’I – yakni menutup segala wacana – yang akan mengantarkan kepada suatu yang haram.[31]

Faedah: Seahrusnyalah seseorang mengucapkan dan melnatunkan bacaan Al-Qur`an agar memperoleh pahala. Adapun sebagian kecil kaum muslimin yang membaca Al-Qur`an tanpa menggerakkan kedua bibirnya (yakni membaca dalam hati. pent) tidak akan mendapatkan keutamaan membaca Al-Qur`an.

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam salah satu fatwa beliau, mengatakan: “Tidak mengapa seseorang memandang Al-Qur`an tanpa membacanya dengan tujuan tadabbur, menelaah dan memahami maknanya. Akan tetapi dia tidak tergolong sedang membaca Al-Qur`an dan tidak mendapatkan pahala keutamaan membaca Al-Qur`an kecuali apabila dia melafazhkan bacaan Al-Qur`an walau dia tidak memperdengarkan orang-orang yang berada disekitarnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bacalah oleh kalian Al-Qur`an, sesugguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi para pembacanya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim . Yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ para pembacanya “, adalah mereka mengamalkannya sebagaimana yang terdapat pada dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur`an maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan Ad-Darimi dengan sanad shahih. Seseorang itu tidak termasuk membaca Al-Qur`an jika tanpa melafazhkannya. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh ulama. Wallahu waliyyut-taufik.[32]

[1] Hamzihi : hamaza asy-syaithan al-insaana hamazan, maknanya: meniupkan didalam hatinya perasaan was-was. Hamzaah asy-syaithan : Adalah segala was-was yang terbersit didalam hati seorang manusia. ( Lihat Lisan Al-‘Arab 5 / 426 ), bahasan: همز.

Nafkhihi: an-nafkhu maknanya adalah keangkuhan. Pada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Saya berlindung dari hamzihi, wa nafkhihi wa naftsihi , … dikarenakan seorang yang angkuh merasa tinggi hati dan menyatukan hawa nafsu dan kehendaknya yang dia sombongkan. ( Lisan Al-‘Arab 3 / 64 ), bahasan: نفخ

Naftsihi: Sedangkan an-naftsu, penafsiran kalimat ini didalam hadits diatas adalah sya’ir. Abu ‘Ubaid mengatakan: Dan an-naftsu ditafsirkan sebagai sya’ir dikarenakan seumpama sesuatu yang dilontarkan yang ada padanya seperti juga halnya dengan ruqyah. ( Al-Lisan 2 / 196 ) bahasan: نفث

[2]  HR. Abu Daud ( 775 ), Al-Albani mengatakan: Shahih. Ibnu Katsir mengatakan: Hadit sini telah diriwayatkan oleh para penulis As-Sunan yang empat. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist ini yang paling populer dalam pembahasan ini . ( Tafsir Al-Qur`an Al-‘Adzhim 1 / 13 ). Cet. Maktabah Al-Harmiy

[3] Telah dijelaskan oleh Abu Daud tentang bentuk kalimat ta’aawudz pada no.785 dan Imam Al-Albaniy belum menshahihkan riwayat ini, dan Syeikh Utsaimin memberikan syahid (penguat terhadapnya) dalam Syarh Al-Mumti’ ‘ala matni Zaad Al-Mustaqani’ yang menujukkan atas shahihtnya riwayat ini menurut beliau. Lihat Asy-Syarh (3/71) terbitan Mu`asasah Aasaam.

[4] Asy-Syarh Al Mumti’ (3/71)

[5] HR.Muslim (400)

[6] HR. Al-Bukhari no.5055 dan lafazh ini lafazh riwayat beliau, Muslim no.800

[7] Fatwa no.4310 (4/118) dan kami telah meringkas masalah ini dan menyebarkannya kepada orang-orang yang melakukannya dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya. Wallahulmusta’an.

[8] Al-Adzkar hal.163

[9] Liasn Al ‘Arab Karangan Ibnu Mandzur (11/265) cetakan Daar Ash-Shaadir.

[10] HR. Al-Bukhari no.775 dan Muslim no722 dan lafazh ini adalah lafazh pada riwayat beliau..

[11] Dikeluarkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Fadhaail Al Qur’an hal.236. Muhaqqiq berkata, “Isnadnya Shahih. Dan Al-Baihaqy menambahkan dalam Asy-Sya’bi dari hadits Syu’bah. Dan berkata Muhaqqiq Al-Fadhaail, sanadnya shahih. Lihat al-Hasyiah hal.237.

[12] Al-AdabAsy-Syar’iyah ( 2 / 297 _

[13] Fathul Baari ( 8 / 707 )

[14] HR. Al-Bukhari no.5145

[15] Yang dimaksud menyerupai orang bernyanyi yaitu yang mirip dengan nyanyian, dan pada zaman kita sekarang ini, sebagian imam masjid kebanyakan seperti ini, sedang mereka ada yang mengetahui dan ada yang tidak, dan kamu akan terbuai oleh khayalan ketika mendengar bacaan mereka.

[16] HR. Al-Bukhari no.769

[17] HR. Al-Bukhari no.5023 dan Muslim (7920

[18] Fadhaail Al-Qur`an hal.179,180

[19] HR. Abu Daud (1469) Al-Albani berkata “shahih”

[20] HR. Abu Daud (1468) Al-Albani berkata “shahih”

[21] HR.Muslim (793) dan Al-Bukhari (5048) syarat yang kedua darinya saja.

[22] Al-Adab Asy-Syar’iyah (2/301)

[23] Al-Adab ( 2 / 302 )

[24] Syarh As-Sunnah oleh Al-Baghawiy (729) Muhaqqiq berkata, “Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Asy-Syamaail, dan Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’I dan sanadnya kuat” (3/245) terbitan Al-Maktab Al-Islami

[25] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Shahih beliau secara mu’allaq, dan menempatkannya pada judul bab. Idzaa Bakaa Al-Imam fii Ash-Shalat.

Ibnu Hajar : “ Atsar ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Ibnu ‘Uyainah dari Isma’il bin Muhammad bin Sa’ad, beliau telah mendengar Abdullah bin Syaddad hadits ini dan menambahkannya: Pada shalat shubuh “ ( Fathul Baari 2 / 241, 242 )

[26] Al-Adab Asy-Syar’yah ( 2 / 305 )

[27] HR. Al-Bukhari no.5056

[28] HR. Ahmad dalam Musnadnya (35) muhaqqiq berkata, “sanadnya hasan (1/211) terbitan Muasasah Ar-Risalah.

[29] Al-Adzkar halaman 162.

[30] HR. Abu Dawud no.1332, Al-Albani mengatakan :”Hadits ini shahih.”

[31] Fatwa Al-Lajnah ad-Daa`imah no.5413. (4/127)

[32] Majalah Al Buhuts Al-Islamiyah no.51. Tahun 1418H hal.140.

Tinggalkan komentar