Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab Al-Adab : Adab-Adab Mendatangi Masjid ( 2 )

Posted by Abahnya Kautsar pada 16 Juli 2008

  1. Larangan jual beli didalam masjid

Tidak diperbolehkan jual beli dimasjid, karena masjid bukan didirikan untuk jual beli., melainkan dibangun untuk dzikir kepada Allah, mendirikan shalat, pengajaran ilmu-ilmu agama kepada kaum manusia … dan lain sebagainya. Dan barang siapa yang melihat seseorang melakukan transaksi jual belia atau menjual barang dimasjid, hendaklah dia menegurnya dan mengatakan kepada orang tersebut : Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada jual belimu.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Apabila kalian melihat seseorang menjual atau jual beli didalam masjid maka katakanlah : Seoga Allah tidak memberi keuntungan pada jual belimu … al-hadits “[1]

Catatan penting : Seputar jual beli diruangan-ruangan atau teras yang kut kepada masjid atau aula yang dikhususkan untuk shalat. Al-Lajnah Ad-Daimah berpendapat : Tidak diperbolehkan jual beli dan mengumumkan barang yang hilang di aula yang khusus dipergunakan untuk shalat, apabila termasuk bagian dari masjid. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Apabila kalian meliaht seseorang menjual atau membeli didalam masjid maka katakanlah : Semoga Allah tidak menguntungkan jual beli kalian “… – lalu Al-Lajnah lanjut mengatakan – : Adapun uangan-ruangan maka sedikit ada detail : Apabila ruangan tersebut masuk kedalam denah masjid maka ruangan itu tergolong dalam hukum masjid, dan penjabarannya sama dengan penjabaran aula/teras masjid. Adapun jikalau ruangan tersebut diluar denah masjid walaupun pintunya bersatu dengan masji maka hukumnya tidak termasuk hukum masjid. Dikarenakan rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didiami oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, pintunya berada didalam masjid, dan hukumnya tidak menyatu dengan hukum masjid[2].

Faedah : Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bagi siapa yang mendengarkan seseorang menjual atau membeli sesuatu didalam masjid, maka hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi jual belimu. Dan zhahir lafazh pada hadits tidak dibedakan antara seorang alim dan seorang yang jahil.

  1. Larangan mengumumkan barang hilang[3] dimasjid

Masjid Allah dibangun untuk dzikir kepada Allah , bertasbih kepada-Nya, membaca Al-Qur`an, dan mendirikan shala. Bukanlah dibuat untuk dijadikan tempat menanyakan barang hilang atau yang tidak diketahui keberadaannya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang dimasjid hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut kepadamu, karena sesungguhnya masjid tidaklah dibangun untuk tujuan seperti ini “. Dan pada riwayat Ahmad : “ Semoga Allah tidak menunaikan bawang hilang kepadamu “ Dan pada riwayat Ad-Darimi :” Semoga Allah tidak menunaikannya kepadamu “[4]

Olehnya itu, barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang, maka hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut kepadamu atau Allah tidak menunaikannya kepadamu, atau tidak menunaikan nya bagimu. Dan kesemuanya bermakna sama.

  1. Mengeraskan suara didalam masjid

Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu , beliau berkata : bahwa beliau menagih piutang beliau pada Ibnu Abi Hudud , didalam masjid, sehingga suara mereka melengking keras, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara mereka,sedangkan beliau berada didalam rumahnya. Maka beliau keluar menjumpai mereka berdua hingga tabir pintu rumah beliau tersingkap lalu menyeru :” Wahai Ka’ab “. Ka’ab berkata : Wahai Rasulullah saya menyambut seruan anda . Beliau bersabda : “ Kurangilah piutangmu ini “, beliau mengisyaratkan kepadanya yaitu setengah dari piutangnya. Ka’ab mengatakan : Sungguh sudah saya lakukan wahai Rasulullah. Beliau bersabda : “ Jikalau demikian maka berdirilah dan lunasilah “[5]

Dari As-Saa`ib bin Yazid , beliau mengatkan : Saya pernah berdiri didalam masjid, lalu seseorang melempariku dengan batu kecil, kemudian saya menoleh melihatnya ternyata dia adalah Umar bin Al-Khaththab. Beliau berkata : Pergilah dan hadapkan kepadaku dua orang ini. Maka saya menghadapkan keduanya. Beliau berkata : Siapakah kalian berdua ? Atau dari manakah kalian berasal ?

Keduanya menjawab : Kami dari pendudukTha`if. Beliau berkata : Seandainya kalian berdua dari penduduk negeri ini, niscaya saya akan menghukum kalian berdua, karena kalian ebrdua telah mengeraskan suara kalian didalam masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[6]

Bagi yang menelaah kedua hadits diatas, akan mengetahui abhwa kedua hadits diatas zhahirnya saling bertentangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari seseorang yang mengeraskan suaranya didalam masjid , dan hanya memerintahkan Ka’ab untuk mengurangi setengah dari piutangnya. Dan tidaklah mungkin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan suatu penjelasan dikala dibutuhkan. Sedangkanatsar Umar radhiallahu ‘anhu menunjukkan makruhnya mengangkat suara didalam masji, dan Umar adalah orang yang paling tidak layak jika mengingkari seseorang tanpa dasar dalil yang diketahuinya. Dan ini hukumnya tergolong hukum hadits marfu’. Dan kemungkinan nilah yang menguatkan pendapat Malik disalah satu riwayat beliau :” dibedakan antara yangmengeraskan suara untuk ilmu dan kebaikandan suaut yangharus maka diperbolehkan, dan mengeraskan suara dengan gaduh dan semisalnya maka tidak diperbolehkan “. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar[7]

Catatan penting : Al-Lajnah Ad-Daa`iman menyatakan : Meminta-minta adalah perbuatan yang haram didalam masjid atau diselain masjid kecuali pada eadaan darurat. Apabila sipeminta dalam keadaan darurat harus memenuhi keperluannya, dan tidak dijumpai sesuatu yang dapat menghilangkan kefakirannya dan tidak sampai mencekik leher orang-orang, tidak ada keddustaan dari cerita perihal dirinya dan menyebutkan keadaannya, tidak mengeraskan suaranya hingga mengganggu orang-oang yang shalat, seperti memutuskan dzikir mereka ataukah memina sementara khathib sedang khuthbah ataukah meminta kepada mereka sementara mereka mendengarkan ilmu yang memberi mereka manfaat, atau lain sebagainya yang akan merisaukan pelaksana ibadah mereka – maka hal tersebut tidaklah mengapa.

Abu Daud meriwayatkan didalamSuan beliau dari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Apakah diantara kalian ada yang telah memberi makan orang miskin pada hari ini ? “. Maka Abu Bakar mengatakan : Saya masuk kedalam masjid , dan saya mendapati seorang peminta-minta meminta, dan saya menjumpai serpihan roti ada ditangan Abdurrahman, maka saya mengambilnya dan saya berikan kepada sipeminta tersebut.

Al-Mundziri mengatakan : “ Muslim meriwayatkannya didalam Shahihnya, An-Nasa`I didalam Sunannya dari hadits Abu Hazim Salman Al-Asyja’I semisal dengan hadits diatas “.

Hadist ini menunjukkan bolehnya bershadaqah didalam masjid, dan bolehnya meminta disaat butuh. Adapun jikalau permintaan tersebut bukan suatu keperluan yang mendesak atau suaut kedustaan kepada kaum manusia dari apa yang disebutkannya mengenai keadaannya ataukah hingga mendatangkan mudharat dari permintaannya tersebut, maka dia tidak boleh mengajukan permintaannya.[8]

  1. Larangan menyilang jari jemari ketika keluar dari masjid sebelum mengerjakan shalat dan diperbolehkan setelah mengerjakan shalat

Telah shahih diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau lebih dari sekali menyilangkan jari jemarinya didalam masjid maupun diluar masjid, yang mana ini menunjukkan bolehnya menyilangkan jari jemari secara mutlak. Seperti didalam hadits Abu Musa radhialahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda ;

“ Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan yang sebagiannya saling menguatkan dengan sebagian lainnya, kemudian beliau menyilangkan jari jemarinya “[9]

Dan pada hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu – tentang lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat – , beliau berkata : “ Lalu beliau shalat mengimami kami dua raka’at lalu kemudian beliau berdiri menuju tiang kayu yang ada dimasjid dan bersandar kepadanya. Seolah-olah beliau dalam keadaan marah, dan meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya lalu menyilangkan jari jemari beliau, dan meletakkan pelipis kanannya diatas punggung telapak kirinya … al-hadits “[10].

Dan telah shahih diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larangan menyilangkan jari jemari. Ka’ab bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu` maka perbagusilah wudhu`nya, kemudian dengan bersnegaja menuju kemasjid, dan janganlah dia menyilangkan jari jemarinya karena sesungguhnya dia berada dalam keadaan shalat “[11]

Dan penyelarasan antara hadits-hadits itu dengan mengatakan : bahwa larangan menyilangkan jari jemari sebelum shalat adalah bagi yang bersengaja menuju masjid yang berada pada hukum seseorang yang sedang shalat,d an setelah shalat selesai ditunaikan,maka seorang yang shalat adi berada pada hukum seseorang yang berpaling telah menyelesaikannya.

  1. Bolehnya membicarakan perkara-perkara dunia yang mubah didalam masjid

Boleh bagi seseorang bersama saudaranya membicarakan – didalam masjid – perkara-perkara keduniawian yang mubah dan tidak ada dosa bagnya dalam pembicaraan itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut , dan para sahabat beliau memperbincangkan sesuatu di masjid sementara beliau bersama dengan mereka dan membenarkan hal itu. Dan ini menunjukkan akan pembolehan hal tersebut.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘ahu, beliau berkata : Setelah shalat diiqamati dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada seseorang disamping masjid, dan tidaklah dia berdiri mengerjakan shalat hingga kaum yang ada semuanya tertidur “[12]

Dari Simak bin Harb, dia berkata : Saya berkata kepada Jabir bin Samurah : Apakah anda pernah duduk bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Beliau mengatakan : Iya, beliau seringkali tidak berdiri pergi dari mushalla beliau dimana beliau shalat shubuh ditempat tersebut hingga matahari terbit. Apabila matahari telah terbit maka beliau berdiri pergi. Dan para sahabat biasanya berbincang-bincang dan menyebutkan perkara jahiliyah hingga mereka tertawa dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum “[13]

Akan tetapi mestilah diperhatikan beberapa perkara, ketika berbincang-bincang seputar permasalahan duniawiyah didalam masjid.

Pertama : Jangan sampai engganggu orang-orang yang mengerjakan shalat , yang membaca Al-Qur`an, atau yang menyibukkan diri dengan ilmu yang ada diseklilingnya.

Kedua : Tidak menjadikannya sebagai suau kebiasaan

Ketiga : Menjaga jangan sampai mengucapkan perkataan atau melakukan pebuatna yang haram.

Keempat : Pembicaraannya mestilah sedikit dan tidak banyak.

  1. Bolehnya makan dan minum dimasjid

Tidak mengapa makan dan minum didalammasjid, dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan didalam masjid. Dan perbuatan beliau menunjukkan pembolehan.

Abdullah bin Al-Harits bin Juz`I Az-Zubaidi radhiallahu ‘anhu mengatakan : “ Kami pernah makan roti dan daging dizaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam masjid “[14]

Akan tetapi sepatutnya bagi yang mminum atau makan makanan didalam masjid tidak sampai mengotori masjid dengan sisa-sisa makanan atau minuman[15].

  1. Bolehnya melantunkan syair didalam masjid

Diperbolehkan lantunkan syair didalam masjid. Dan ini tempatnya apabila syair tersebut syair yang mubah bukan yang haram. Dan mesti menjaga sesuatu yang harus dijaga pada ucapan. Dikarenakan syair adalah perkataan dimana yang baikmaka baik sedangkan yang buruk juga buruk.

Hassan bin Tsabit radhiallahu ‘anhu telah melantunkan syair didalam masjid dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau memuja Rasulullah dan kaum mukminin dan menghujat orang-orang musyrik dan membantah mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan beliau.

Dari Sa’id bin Al-Musayyab[16] beliau berkata : “ Umar melintas didalam masjid sementara Hassan menggubah sebuah syair, lalu beliau berkata : Saya pernah menggubah sebuah syair didalam masjid dan didalam masjid tersebut diadiri oleh seorang yang lebih baik dari anda “[17]

Kemudian beliau menoleh ke Abu Hurairah, dan mengatakan : “ Saya bersumpah demi Allah, pernahkah anda mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan : Belalah aku, Wahai Allah kuatkanlah dia dengan ruh kudus. Beliau berkata : Benar “[18]

  1. Bolehnya bermain dengan tombak dan yang semisalnya didalam masjid

Dari Aisyah adhiallahu ‘anha , beliau berkata : “ Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari dipintu kamarku dan orang-orang Habsyah bermain-main didalam masjid. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan jubah beliau, agar saya dapat menyaksikan permainan mereka “ Pada riwayat lainnya : Saya berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kedalam bilikku dan disisiku ada dua anak kecil wanita sedang bersenandung dengan senandung perang Bu’ats. Maka beliau berbaring dipembaringan dan memalingkan wajahnya. Kemudian masuk Abu Bakar lalu menegurku dan berkata : “Seruling syaithan berada disisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Lalu Nbi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada beliau lalu bersabda : “ Biarkanlah mereka berdua “. Disaat beliau lalai, maka saya memberi isyarat kepada mereka berdua , lalu mereka berdua keluar. Dan pada hari ‘ied orang-orang sudan mengadakan permainan dengan mempergunakan perisai dan tombak. Apakah waktu itu saya yang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah beliau yang mengatakan : Apakah engkau berkeinginan melihat ? , saya berkata : iya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberdirikan aku dibelakangnya, dan pipiku berada bersentuhan dengan pipi beliau, dan beliau bersabda : “ Wahai bani Arfadah sekali lagi , hingga saya merasa jenuh, beliau berkata : “ Cukupkah bagimu ? “ Saya mengatakan : Iya. Beliau bersabda : “ Kalau begitu pergilah “

Permainan yang adapada hadits ini adalah permainan dengan menggunakan tombak pada hari ‘Ied, dan hari ‘Ied adalah hari kegembiraan dan suka cita. Dan permainan dengan mempergunakan tombak bertujuan untuk melatih menusuk dan bertarung. Olehnya itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka dari permainan mempergunakan tombak didalam masjid, bahkan beliau memerintahkan mereka akan hal iu. Dikarenakan pada permainan ini diharapkan memberi faedah, dan bukan sebatas permainan saja[19].

  1. Disenangi menampakkan perhiasan untuk shalat Jum’at dan shalat Iedain – dua hari raya –

Disenangi bagi seorang muslim untuk berhias dengan mengenakan pakaian yang indah pada shalat jum’at dan shalat Iedaindikarenakan mengenakan pakaian yang indah untuk melaksanakan shalat jum’at dan ‘Iedain adalah suatu yang dianjurkan oleh syara’.

Hal mana ditunjukkan pada hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Sesungguhnya Umar bin Al-Khaththab melihat pakaian sutra yang bergaris berada didepan pintu masjid. Maka beliau berkata : Wahai Rasulullah sekiranya anda membeli pakaian ini dan kenakan pada hari jum’at dan untuk menyambut tamu yang berkunjung kepada anda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya pakaian ni adalah pakaian bagi yang tidak mendapatkan bagiannya diakhirat … al-hadits “[20]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari Umar untuk mengenakan pakaian yang indah untuk shalat jum’at dan disaat menyambu tamu, hanya saja beliau mengingkari pakaian semisal dengan pakaian tersebut yang terbuat dari sutra. Dari sini dapat diketahui bahwa berhias untuk shalat jum’at dan ‘Iedain dan untuk menyambut tamu suatu yang dianjurkan.

Diantara perhiasan tersebut adalah seseorang yang hendak menuju masjid untuk shalat jum’at memakai wangi-wangian dan minyak rambut, dan ini sangatlah dianjurkan.

Salman Al-Farisi meriwayatkan , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at, lalu membersihkan diri semampu dia, memakai miyak rambut, atau memakai wangi-wangian dirumahnya kemudian dikeluar menuju shalat dan tidak memisahkan dua orang yng bersmapingan kemudian mengerjakan shalat yang dia inginkan, kemudian diam disaat imam berbicara, kecuali akan diampuni dosanya antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya “[21]

  1. Larangan keluar dari masjid setelah adzan

Dibenci keluar dari dalam masjid bagi seseorang yang telah mendapatkan adzan sementara dia telah berada didalam masjid. Kecuali bagi yang mempunyai udzur yang memaksanya keluar dari dalam masjid, seperti untuk memperbarui wadhu` dan semisalnya.

Dari Abu Asy-Sya`tsa`, beliau berkata : “ Kami pernah duduk didalam masjid bersama dengan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, lalu mu`adzdzin mengumandangkan adzan, maka seseorang berdiri dari dalam masjid berjalan keluar, kemudian Abu Hurairah mengikutinya dengan pandangan matanya hingga orang itu keluar dari dalam masjid. Abu Hurairah berkata : Adapun orang ini, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam [22]

Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang marfu’, dikarenakan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tidaklah akan berijtihad pada masalah seperti ini – sekali-kali tentu tidak -. Maka tidak sepatutnya bagi seseorang yang telah mendapatkan adzan sementara dia berada didalam masjid keluar dari masjid hingga dia mengerjakan shalat yang wajib, kecuali karena udzur. Dikarenakan barang siapa yang keluar setelah adzan tanpa adanya udzur, kemungkinan akan tersibukkan atau terkendali dengan sesuatu yang akan emnghalanginya mendirikan shalat berjama’ah, dan menjadi sebab dia tertinggal dalam pelaksanaan shalat jama’ah.

  1. Termasuk Sunnah, shalat degan memakai sandal didalam masjid

Telah shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari banyak riwayat bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat dengan memakai sandal, bahkan beliau memerintahkan untukmelakukan hal tersebut.

Anas bin Malik telah ditanya : “ Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan mengenakan kedua sandalnya ? Beliau menjawab : Iya “[23]

Dan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “ Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat bagi para sahabatnya, kemudian beliau melepaskan kedua sandlnya, dan meletakkan kedua sandal beliau disamping kirinya. Dan sewaktu para sahabat melihat hal itu, merekapun melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda : “ Apakah yang menyebabkan kalian melepaskan sandal kalian ? “. Para sahabat mengatakan : “ Kami melihat anda melepaskan sandal anda, maka kamipun melepaskannya sandal kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab : “ Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran atau dia berkata : najis “.

Dan beliau bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian mendatangi masjid hendaknya dia melihat kedua sandalnya, apabila pada sandalnya terdapat kotoran atau najis hendaknya dia membasuhnya dan kemudian shalat dengan memakai kedua sandalnya “. Pada riwyat Ahmad : “ Apabila seseorang diantara kalian datang ke masjid, hendaknya dia membalikkan sandalnya dan memperhatikan sandalnya. Apabila dia melihat ada najis maka hendaknya dia membasuh/menggosokkannya ketanah, kemudian shalat denganmengenakan kedua sandalnya “[24]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Shalat denganmengenakan sandal adalah suaut sunah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah perintahkan, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan apabila pada kedua sandal tersebut terdapat najisu untuk mengosokkannya ketanah, karena tanaha akan mensucikannya. Dan inilah pendapat yang shahih diantara dia pendapat dikalangan ulama. Dan shalatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dengan memakai sandal didalam masjid, bersamaan dengan itu mereka sujud ditempat yang dilewati oleh sandal mereka, kesemuanya itu menunjukkan bahwa bagian bawah sandal adalah sautu yang suci. Sementara merekapun memakai sandal ketika pergi untuk buang hajat besar, apabila mereka melihat ada bekas najis maka merekapun menggosokkannya ketanah dengan demikian sandal mereka menjadi bersih “[25]

Catatan penting : Pada zaman belakangan ini , masjid-masjid dialasi dengan karpet yang dinamakan : Sajadah. Dan telah menjadi kebiasaan mereka agar tidak masuk kedalam masjid dengan mengenakan sandal dan sepatu mereka dan tidak mengotori dengan sandal tersebut karpet mereka. Apabila keadaannya seperti itu, maka bagi orang-orang yang punya ghirah.semangan untuk mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak terlupakan, dan yang bersemangat untuk merealisasikan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar mereka tidak masuk kedalam masjid denganmengenakan sandal dansepatu mereka, supaya tidak timbul mafsadat ketika hendak mencapai suatu mashlahat. Dikarenakan sebagian besar kaum awam tidak mengetahui perihal Sunnah ini, dan disebabkan karena Kebodohan mereka, seseorang yang masuk kedalam masjid denganmengenakan sandalnya, tidaklah aman dari pengingkaran kaum awam tersebut. Lalu suara mereka akan melengkung dan juga teriakan mereka didalam masjid. Dan juga sandal atau sepatu ini akan menyebabkan kotornya karpet tersebut dimana mereka begitu sangat memperhatikannya.

Dan bagi yang berkeinginan untuk merealisasikan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengenakan dua sandalnya, agar dia shalat memakai snadalnya dirumah dia atau ketika keluar bertamasya atau disaat bepergian atau dimasjid yang jama’ahnya shalat dengan mengenakan sandal dan sepatu mereka.

  1. Adab-adab wanita menghadiri masjid

Seorang wanita tidaklah dihalangi menghadiri masjid, dan tidak sepatutnya untuk dilaang. Selama wanita tersebut tidak melakukan suatu yang terlarang dalam tinjauan syara’. Dan hal tersebut dengan sangat jelas disebutkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

“ Apabila istri salah seorang diantara kalian meminta izin untuk kemasjid maka janganlah dia melarangnya “[26]

Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan : “ Diperbolehkan bagi seorang wanita muslimah untuk mengerjakan shalat dimasjid, dan tidaklah diperkenankan suaminya apabila wanita tersebut meminta izin untuk melarangnya dari keinginan itu, selama wanita itu dalam keadaan tertutup dan tidak nampak bagian badannya yang haram terlihat oleh laki-laki asing … [ lalu Al-Lajnah menyatakan setelah melampirkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah ] : Dan ini adalah nash-nash yang menunjukkan dengan argument yang sangat jelas bahwa seorang wanita muslimah yang telah iltizam dengan adab-adab Islam, dalam pakaiannya dan menghindarkan dari segala perhiasan memikat yang dapat menimbulkan fitnah dan menjadikan orang-orang yang lemah iman menjadi cenderung kepadanya, agar wanita itu tidak dilarang mengerjakan shalat dimasjid. Dan apabila wanita tersebut berada pada keadaan yang menjadikan oran-orang yang berkeinginan jahat terpiakt dan mendatangkan fitnah pada hati yang bimbang, maka wanita tersebut dilarang masuk kedalam masjid, bahkan dia dilarang keluar dari rumahnya dan mendatangi tempat-tempat umum … “[27]

Kaum wanita berlaku beberapa ketentuan khusuh yang membedakannya dengan kaum pria ketika hadir dimasjid :

a. Tidak memakai wangi-wagian dan perhiasan yang akan mengundang fitnah

Seperti mengenakan pakaian yang memikat, atau mengenakan gelang kaki. Kapan seperti in dijumpai atau sebagiannya,maka wanita tersebut terlarang mendatangi masjid.

Adapun wangi-wangian , telah disebutkan dalam nash yang khusus. Zainab istri Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami :

“ Apabila salah seorang diantara kalian – para wanita – mendatangi masjid, maka janganlah memakai wangi-wangian “[28]

Dan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Wanita siapapun, yang memakai bakhur – sejenis wangian berbentuk asap – maka janganlah dia mendatangi kami mengerjakan shalat isya` “[29]

Adapun perhiasan lainnya, kapan seorang wanita mengenakan perhiasan itu untuk berhias yang akan menimbulkan gairah syahwat, dan mengobarkan fitnah, maka wanita tersebut dilarang untuk menghindari fitnah danmenutup segala celah-celah keburukan.

b. Wnita haidh dan nias tidak berdiam didalam masjid

Tidak diperbolehkan wanita yang tengah haidh dan nifas dan juga seorang yang sedang junub memasukmasjid, kecuali jikalau mereka sekedar melintas saja, berdasarkan firman Allah ta’ala :

“ Dan tidak juga seorang yang junub, kecuali dia hanya melintas , hingga kalian mandi “ – surah an-Nisaa` : 43 –

Dan diantara dalil-dalil yang melarang wanita haidh masuk kedalam masjid – adapun wanita nifas dianalogikan kepada wanita haidh – , hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : Ambilkanlah tikar kecil dari dalam masjid “. Aisyah berkata : saya bertanya : Sesungguhnya saya lagi haidh ? Beliau bersabda : Haidhmu bukan pada tanganu “[30]

Perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha : “ Sesungguhnya saya haidh “ menunjukkan bahwa wanita haidh tidak masuk kedalam masjid dan tidak juga berdiam didalam masjid selain yang dikecualikan. Dan sebab larangan tersebut kekhawatiran salah satu bagian masjid dikotori dengan najisnya darah haidh.

Faedah : Diperbolehkan bagi wanita yang mustahadhah untuk masuk kedalam masjid dan I’tikaf didalam masjid. Akan tetapi mesti menjaga agar jangan sampai mengotori masjid dengan najis. Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan : “ Bahwa sebagian dari ummahatul mukminin melakukan I’tikaf dalam keadaan mustahadhah “[31]

c. Shalat dibelakang shaf laki-laki dan tidak bercampur baur dengan mereka.

Shaf kaum wanita didalam masjid berada dibelakang shaf kaum laki-laki, dan semakin jauh shaf wanita dari shaf laki-laki maka akan semakin utama dan lebih bagi wanita tersebut. Hal itu seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling pertama dan seburuk-buruknya shaf laki-laki adalah yang paling terakhir, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling depan “[32]

Dikarenakan dekatnya laki-laki kepada wanita akan membangkitkan gejolak syahwat dan menggerakkannya. Dan dengan begitu akan menghilangkan inti dari ibadah shalat yaitu khusyu’ didalam pengerjaannya. Oleh karena itu, syara’ menganjurkan agar laki-laki semakin menjauh dari wanita dan juga wanita dijauhkan dari laki-laki, walau itu didalam masjid.

Dan diantara anjuran pembawa syariat yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , untuk menjauhkan laki-laki dari kaum wanita didalam masjid, apabila beliau shalat, beliau berdiam diri ditempat shalat beliau sejenak, agar supaya kaum wanita berpaling pergi sebelum laki-laki dan mereka pulang kerumah-rumah mereka sebelumkaum laki-laki mendapati mereka disaat keluar meningalkan masjid sehingga akan menimbulkan campur baur dengan kaum wanita.

Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha , istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berkata : “ Bahwa kaum wanita dizaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila mereka telah mengucapkan salam pada shalat wajib, mereka beanjak berdiri , dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan kaum laki-laki yang ikut mengerjakan shalat hingga yang Allah kehendaki. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri maka kaum laki-laki ikut berdiri “[33]

Dan kaum manusia seharusnya menjadikan Rasulullah sebagai salaf panutan mereka, sepatutnya mereka mengakhirkan keluar dari mushalla mereka sejenak, menunggu hingga kaum wnait apergi. Dan bagi kaum wanita agar mereka tidak mengakhirkan keluar dari tempat shalat mereka setelah berpalingnya imam, bahkan mereka keluar dengan segera dan pulang kerumahm merek. Dan itu lebih baik bagi mereka – kaum laki-laki – dan bagi kaum wanita.

Akan tetapi apabila tempat keluarnya wanita jauh dari tempat keluarnya laki-laki dan dengan begitu tidak akan terjadi campur baur , maka tidaklah mengapa kaum laki-laki keluar segera setelah imam berpaling ataukah kaum wanita menunggu sejenak ditempat shalat mereka , karena sebab larangan telah tertiadakan. Wallahu a’lam.

Catatan penting : Apabila tempat shalat wanita terpisah dengan tempat shalat laki-laki, maka sebaik-baik shaff wanita ketika itu adalah yang paling depan, dan seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling akhir. Dan hal itu disebabkan alasan yang menjadikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling depan telah tertiadakan dengan terpisahnya shaf laki-laki dari shaf wanita, maka kebaikan pada shaf shalat kembali pada shaf terdepan.


[1] HR. At-Tirmidzi ( 1321 ), dan beliau berkata : hadits ini hadits hasan gharib, dan yang diamalkan oleh sebagian ulama : Adalah membenci jual beli didalam masjid, dan ini merupakan pendapat Ahmad dan Ishaq. Dan sebagian ulama memberi rukshah untuk melakukan jual beli didalam masjid, dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad-Darimi ( 1401 )

[2] ( 6 / 283 ) Fatwa no.( 11967 )

[3] Yaitu menyerukan dan menanayakan tentang barang hilang ( Lisan Al-‘Arab 2 / 421 ) bahasan : نشد

[4] HR. Muslim ( 568 ), Ahmad ( 8382 ) ( 9161 ), dengan dua lafazh semuanya, At-Tirmidzi ( 1321 ), Abu Daud ( 473 ), Ibnu Majah ( 77 ) dan Ad-Darimi ( 1401 )

[5] HR. Al-Bukhari ( 4587 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat Al-Bukhari, Muslim ( 1558 ), Ahmad ( 15364 ), An-Nasa`I ( 5408 ), Abu Daud ( 3595 ), Ibnu Majah ( 2429 ) dan Ad-Darimi ( 2587 )

[6] HR. Al-Bukhari ( 470 )

[7] Fathul Bari (

[8] ( 6 / 285 – 286 )

[9] HR. Al-Bukhari ( 481 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat Al-Bukhari, Muslim ( 2585 ), Ahmad ( 19127 ), At-Tirmidzi ( 1928 ) dan An-Nasa`I ( 2560 ).

[10] HR. Al-Bukhari ( 482 ) dan lafazh daiatas adalah lafazh riwayat Al-Bukhari, Muslim ( 573 ), Ahmad( 9609 ), At-Tirmidzi ( 399 ), An-Nasa`I ( 1224 ), Abu Daud ( 1008 ), Ibnu Majah ( 1214 ), Malik ( 210 ) dan Ad-Darimi ( 1499 )

[11] HR. Abu Daud ( 567 ). Al-Albani mengatakan : Shahih, Ahmad ( 17637 ) dan Ad-Darimi ( 1404 )

[12] HR. Al-Bukhari( 642 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat Al-Bukhari, Muslim ( 376 ), Ahmad ( 11576 ), At-Tirmidzi ( 518 ), An-Nasa`I ( 791 ) dan Abu Dud ( 201 )

[13] HR. Muslim ( 2322 ), Ahmad ( 20333 ) dan An-Nasa`I ( 1358 )

[14] HR. Ibnu Majah ( 2300 ), al-Albani mengatakan : Shahih. No. ( 2685 ) – ( 2363 )

[15] Dan ini sering terjadi pada bulan Ramadhan, ketika orang-ornag berkumpul untuk berbuka puasa, maka hal ini mesti diperhatikan.

[16] Gambaran sanad ini gambaran hadits mursal, akan tetapi hadits ini diriwayatkan secara maushul oleh Al-Bukhari ( 453 ) dan selainnya. Sa’id bin Al-Musayyib telah mendengarnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. [ Saya katakan – , pen – : Bahkan bukanlah gambaran hadits mursal, melainkan tergolong hadits marfu’ hukman, karena Sa’id bin Al-Musayyib meriwayatkan dari perbincangan Hassan dan Umar , bukan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ]

[17] Sebab mengapa Hassanmengatakan perkataan ini, dikarenakan Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengingkari syair yang digubah oleh Hassan didalam masjid. Pada riwayat an-Nasa`I ( 716 ), hal ini semaki jelas. Beliau – Sa’id bin al-Musayyab mengatakan : “ Umar melewati Hassan bin Tsabit dimana beliau sedang menggubah syair didalam masjid , lalu beliau meliriknya … al-hadits “

Makna lahidhza ilaihi : memandang dengan sudut matanya atau dari sisi kanan atau kirinya. Dan ini lebih dicondongkan dari asy-syazaru –melirik – ( Lisan Al-Arab 7 / 458 ) Bahasan: ل ح ظ

[18] HR. Al-Bukhari ( 2312 ), Muslim ( 2485 ),Ahmad ( 21429 ) dan An-Nasa`I ( 716 )

[19] Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa`imah ( 6 / 305 – 306 )

[20] HR. Al-Bukhari ( 886 ), Muslim ( 2068 ), Ahmad ( 4699 ), An-Nasa`I ( 1382 ), Abu Daud ( 1076 ), Ibnu Majah ( 3591 ) dan Malik ( 1705 )

[21] HR. Al-Bukhari ( 882 ), Ahmad ( 23198 ), An-Nasa`I ( 1403 ) dan Ad-Darimi ( 1541 )

[22] HR. Muslim ( 655 ), Ahmad ( 9118 ), At-Tirmidzi ( 204 ), An-Nasa`I ( 683 ), Abu Daud ( 536 ), Ibnu Majah ( 733 ) dan Ad-Darimi ( 1205 )

[23] HR. Al-Bukhari ( 386 ), Muslim ( 255 ), Ahmad ( 11565 ) At-Tirmidzi ( 400 ), An-Nasa`i ( 775 ), dan Ad-Darimi ( 1377 ).

[24] HR. Abu Daud ( 650 ), AlAlbani mengatakan : Shahih. Ahmad ( 10769 ), dan Ad-Darimi ( 1378 )

[25] Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ( 3 / 69 ), jam’u wa tartiib : Asy-Syaikh Abdurrahman bin Qasim – hafidzahullah -, cet. Pertama 1418.

[26] HR. Al-Bukhari ( 5238 ), Muslim ( 442 ), Ahmad ( 4542 ), At-Tirmidzi ( 570 ), An-Nasa`I ( 706 ), Abu Daud ( 568 ), Ibnu Majah ( 16 ) dan Ad-Darimi ( 1278 )

[27] ( 7 / 330 – 332 )

[28] HR. Muslim ( 443 ), ahmad ( 26507 ) dan an-Nasa`I ( 5129 )

[29] HR. Muslim ( 444 ), Ahmad ( 7975 ), danAn-Nasa`I ( 5128 )

[30] HR. Muslim ( 298 ), Ahmad ( 23664 ), At-Tirmidzi ( 134 ), An-Nasaa`I ( 271 ), Abu Daud ( 261 ), Ibnu Majah ( 632 ) dan Ad-Darimi ( 771 )

[31] ( HR. Al-Bukhari ( 311 ), Ahmad ( 24477 ), Abu Daud ( 2476 ) dan Ibnu Majah ( 1780 ) dan Ad-Darimi ( 877 )

[32] HR. Muslim ( 440 ), Ahmad ( 7351 ), At-Tirmidzi ( 224 ), An-Nasa`I ( 820 ), Abu Daud ( 678 ), Ibnu Majah ( 1000 ), dan Ad-Darimi ( 1268 )

[33] HR. Al-Bukhari ( 866 ), Ahmad ( 1600 ), An-Nasa`I ( 1333 ) Abu Daud ( 1040 ) dan Ibnu Majah ( 932 ).

Tinggalkan komentar