Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab Al-Adab : Adab ketika Bersafar/Bepergian Jauh (1)

Posted by Abahnya Kautsar pada 3 September 2008

Adab ketika Bersafar/Bepergian Jauh

Dari Abu Hurairah -Radhiallahu ‘anhu- dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Safar itu merupakan penggalan dari adzab, (karena safar) niscaya akan membuat salah seorang dari kalian terhalang untuk makan, minum dan tidur. Maka jika seseorang telah selesai urusannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”[1]

Di antara adab-adabnya :

  1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi.

bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berkata Ibnu Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan padadoa mereka barakah.”

Berkata Asy-Sya`bi –rahimahullah-: “Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk mengunjungi saudaranya dan menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.”[2]

Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Qaz`ah, dia berkata: Ibnu Umar berkata kepadaku: “Kemarilah, akan saya berpamitan kepada engkau sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpamitan kepadaku, yaitu beliau mengucapkan doa :

“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu, dan akhir amalanmu.”[3]

Sabda beliau, ( Aku titipkan kepada Allah agamamu ), maksudnya yaitu: Aku minta engkau minta engkau menjaga dan aku minta kepada Allah agar menjaga agamamu. Adapun (dan amanahmu ), berkata Al-Khaththabi –rahimahullah-: “Amanat di sini berarti keluarganya/istrinya dan orang-orang yang ditinggalkannya, dan hartanya yang ditinggalkan serta meminta kepada orang yang dipercaya olehnya serta wakilnya dan semua yang semakna dengan hal tersebut untuk menjaga harta tersebut. Penyertaan penyebutan agama bersamaan dengan ucapan berpamitan, disebabkan safar adalah tempat seseorang berada dalam kekhawatiran dan bahaya. Terkadang seseorang akan tertimpa hal-hal yang mneyusahkan dan keletihan yang menyebabkan dia akan mengabaikan beberapa eprkara yang berkaitan dengan agama. Olehnya itu, didoakan baginya agar mendapatkan pertolongan dan taufiq dalam dua keadaan tersebut ”[4]

Dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- berkata: “Seseorang hendak safar, maka ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertaqwa kepada Allah ‘azza wajalla, dan bertakbir setiap melewati jalan yang menaik.”

Setelah orang tersebut berlalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ya Allah, hamparkalah baginya bumi dan mudahkanlah safarnya.”[5]

  1. Dibencinya safar sendirian

Terdapat hadits Abdullah bin ‘Amr -radhiallahu ‘anhuma-, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

“Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidakseoragpun yang akan melakukan safar diwaktu malam sendirian ”[6]

Didalam hadits ini terdapat beberapa faedah, diantaranya:

Pertama: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengabarkan kepada ummat beliau segala marabahaya yang akan terjadi sebagai akibat seseorang bersafar sendirian yang telah beliau ketahui indikasi peringatan beliau bagi seseorang yang bersafar sendirian.

Kedua: Bahwa larangan bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam hadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar.

Ketiga: Bahwa larangan tersebut juga umum mencakup yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki. Seperti pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Niscaya tidak seorangpun yang berkendara diwaktu malam.” Sebagai penyebutan sesuatu yang dominan terjadi. Disebabkan seorang yang berjalan kaki semakna dengan seseorang berkendaraan. Wallahu A`lam.

Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash -radhiallahu ‘anhuma-, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.” [7]

Berkata Al-Khaththabi –rahimahullah-: maknanya bahwa sendirian dan bepergian seorang diri melintasi perjalanan dimuka bumi adalah termasuk perbuatan syaithan, yaitu suatu perbuatan yang muncul dari dorongan syaithan dan ajakannya. Demikian juga dengan safar hanya berdua. Maka jika telah bertiga inilah perjalanan secara fberkelomok dan saling menemani.

Beliau berkata: “Seorang yang safar sendirian, jika ia meninggal tidak ada yang memandikannya, mengkafaninya dan mempersiapkan segala perngurusan jenazahnya. Dan tidak ada seorangpun yang dapat diwasiatkan kepadanya hartanya dan yang mengantarkan warisannya kepada keluarganya dan menyampaikan kabar keberadaaya kepada mereka. Atau tidak ada seorangpun yang menyertainya didalam safar tersebut yang akan menolong bawaanya. Maka jika telah bertiga dalam safarnya, mereka bisa saling tolong-menolong, saling bergiliran dalam menjaga, saling melindungi dan mereka dapat shalat berjamaah serta mereka akan memperoleh penjagaan padanya.”[8]

  1. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih

Syariat mengajak untuk bersatu dan melarang perpecahan karena syariat menganjurkan demikian serta menganjurkan hal yang demikian. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri -radhiallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika tiga orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin.”[9]

Apabila pada safar tersebut terdapat perkara-perkara yang adanya kebersamaan sesama yang melakukan safar dan slaign ketergantungan diantara mereka , maka disukai kepada para musafir -yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut- untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atas mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. Apabila mereka telah melakukan yang demikian maka akan dihasilkan persatuan sesama mereka, serta adanya ketenangan di dalam hati mereka. Dan juga kan tercapai penyelesaian segala bentuk urusan dan keperluan mereka dialam safa mereka tanpa adanya kesusahan dan mencegah kebencian terjadi ditengah-tengah mereka. Anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengangkat satu pemimpin di antara mereka ketika bersafar merupakan peringatan untuk bersatu di bawah satu kekuasaan. Wallahu A`lam.

  1. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.[10][11]

Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Terompet adalah merupakan seruling syaithan.”[12]

An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “… Adapun al-jaras (lonceng) dikatakan sebagai sebab berpalingnya atau larinya malaikatdikarenakan menyerupai lonceng gereja atau dikarenakan termasuk gantungan yang terlarang. Diantara ulama ada yang berpendapat sebabnya karena suaranya yang dibenci, yang dikuatkan dengan banyak riwayat dengan lafazh seruling syaithan.[13]

Adapun anjing maka terjadi perbedaan pendapat dalam sebab larangan membawa anjing dalam safar. Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa ketika larangan untuk memelihara anjing – selain anjing penjaga dan pemburu – dimana yang menjadikan anjing sebagai peliharaan akan diberi balasan bahwa para malaikat akan menghindari menemaninya yang kemudian dia akan terhalangi dari barakah para malaikat, ampunan dan bantuan mereka dalam rangka ketaatan kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. Ada yang berpendapat larangan tersebut disebabkan anjing adalah hewan yang najis.[14] Wallahu a`lam.

  1. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram

Syariat yang suci melarang seorang wanita safar sendirian tanpa ditemani mahram. Dikarenakan akan menjadi penyebab terjadinya fitnah pada dirinya dan kaum laki-laki yan berada disekitarnya.

Terdapat hadits-hadits yang shahih yang tidak ada kelemahan padanya serta tidak ada celah untuk melemahkannya atau mentakwilkannya.

Asy-Syaikhan dan selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.”

Dalam lafazh Muslim:

“Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang laki-laki yang merupakan mahramnya.”[15]

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma-, dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak halal setiap laki-laki berkhalwat – berduaan –denganseorang wanita, dan tidak boleh bagi wanita bersafar kecuali bersama mahramnya.”

Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah terdaftar untuk ikut perang ini dan itu sedang istriku akan melakukan haji.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pergilah, temani istrimu berhaji.”[16]

Sebagaimana anda telah lihat bahwa larangan yang melarang seorang wanita safar dalam jarak sehari semalam tanpa mahram demikian jelasnya. Baik itu suaminya, bapaknya, saudaranya ataupun mahram wanita tersebut selain dari mereka. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang telah terdaftar dalam perang untuk berjihadpun agar mendahulukan mengantar istrinya berangkat haji. Ini merupakan dalil yang cukup jelas menunjukkan haramnya safar wanita tanpa ditemani mahramnya.

An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “Dalam hadits tersebut terdapat didapati perintah mendahulukan yang lebih penting pada beberapa perkara yang saling kontardiktif. Karena sewaktu laki-laki tersebut bepergian untuk menunaikan jihat bertabrakan dengan kewajiban untuk mennerjakan haji menemani istrnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan agar laki-laki tersebut berhaji bersama istrinya. Karena berjihad dapat dikerjakan orang selain dirinya berbeda halnya dengan ibadah haji menemani istrinya”[17]

Syubhat:

Seringkali terdengar ddari pembicaraan sebagian kaum muslmin bahwa safarnya wanita sendirian di zaman ini adalah darurat yang tidak dapat terelakkan. Kondisi zamanpun mengharuskan hal itu Mereka berargumen bahwa bersendirinya wanita sewaktu safar telah tertiadakan ketika wantia tersebut bersafar dengan menggunakan pesawat atau kereta api dan yang smeislanya. Salah seorang dari mereka mungkin akan mengatakan: “Apa yang melarang jikalau saya sendiri yang mengantarkan istriku menuju bandara dan memastikannya telah menaiki pesawat kemudian setelah sampai ia dijemput saudaranya di tempat tujuannya?”

Jawab:

Pertama, Fitnah wanita merupakan sbesar-besar finah yang telah menimpa umat-umat yang telah lampau. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang serta memperingatkan kita dalam sabdanya:

“Sesungguhnya dunia itu suatu yang indah dan menarik. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian sebagai khalifah diatas dunia ini maka lihatlah bagaimana kalian beramal. Takutlah kalian kepada wanita karena awal fitnah yang telah menimpa Bani Israel adalah karena fitnah wanita.”[18]

Maka jika dibiarkan wanita safar sendirian tanpa mahram dan bekerja bersama dengan kaum laki-laki yang berada disisinya, lalu wanita tersebut memegang tampuk kepemimpinan, sesungguhnya hal itu merupakan peringatan suatu musibah akan menimpa kita sebagaimana musibah yang telah menimpa Bani Israil –kita mohon perlindungan kepada Allah –

Kedua, terlebih dahulu perlu untuk mendudukkan persoalan yang sebenarnya tanpa melebarkannya. Yakni bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, cepat terpengaruh, mudah terpedaya, dan senantiasa butuh perlindungan laki-laki dan bantuannya dalam segala aspek kehidupannya.[19]

Apabila hal itu juga disertai kelemahan iman dan agama yang ada didalam hati sebagian besar kaum laki-laki, perkara ini akan semakin bertambah berbahaya dan fitnahnya akan semakin besar. Dan siapa saja yangmengatakan khalwat akan tertiadakan dengan menaiki pesawat maupun sejenisnya yang merupakan alat angkut umum. Pendapat tersebut akan terbantahkan bahwa duduknya wanita tersebut berada disampin laki-laki asing, berbicara langsung dengan mereka ketika hendak memenuhi kebuuhannya terdapat hal yang diinginkan. Orang-orang yang hatinya sakit sangatlah banyak, serta mereka yang matanya penuh dengan pengkhianatan sangatlah banyak. Sementara diluar itu semua, wanita tersebut tidak seorangpun yang mengawasinya – berupa mahramnya – dan menjaganya.

Adapun mengantarkannya sendirian mengendarai pesawat misalnya sebagai sebagai sarana bepergian menuju negeri lainnya dan dijemput di negeri tujuan, pemisalan seperti ini dan yang semisalnya dapat dijawab : Apakah anda mengetahui jikalau pesawat yang ditumpanginya dengan terpaksa mesti mendarat kesebuah negeri lain selain tujuan yang dimaksud karena adalah kerusakan pada pesawat tersebut – yang mana hal ini seringkali terjadi -. Lebih buruknya lagi sekiranya para musafir tersebut dengan sangat terpaksa mesti menginap sehari atau dua hari dinegeri ini, maka dimanakah muhrimnya ? Dan siapakah yang akan melayaninya mengurusi penginapan, makan dan minumnya ?!

  1. Disunnahkan safar pada pagi hari kamis.

Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sekian banyak safar beliau bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar untuk safar pada pagi hari kamis.

Dari Ka`ab bin Malik -radhiallahu ‘anhu-: “Bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari kamis pada waktu Perang Tabuk dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar bersafar pada hari kamis.”

Pada riwayat Ahmad: “ Sangatlah jarang apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak keluar untuk suatu perjalanan kecuali beliau lakukan pada hari kamis “[20]

Dari Shakhr Al-Ghamidi -radhiallahu ‘anhu- dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata:

“Ya Allah, berikan barakah pada ummatku di waktu pagi mereka.”

Dan jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, mereka diutus pada waktu pagi hari. Dan Shakhr sendiri adalah seorang pengusaha dan sering mengutus perdagangannya pada waktu pagi hari. Sehingga dia menjadi kaya raya dan hartanya menjadi sangat banyak.[21]

Masalah: Apa hukum safar di hari jumat?

Jawab: Mazhab Hanabilah berpendapat: Tidak diperbolehkan bagi seseorang yang dikenai kewajiban shalat jum’at melakukan safar pada hari jumat setelahmatahari tergelincir. Sekiranya dikatakan: setelah terdengar adzan shalat jumat adalah lebih utama, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- memerintahkan untuk memenuhi pangilan adzan pada hari jumat setelah terdengan adzan shalat jumat dan meninggalkan jual beli.Berarti hukum safar terseut bergantung dengan adzan.

Allah -Subhanahu wa Ta`ala- berfirman:

“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diserukan adzan untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli kalian. Hal itu akan lebih baik bagi kalian apabila kalian mengetahuinya “ ( Al-Jumu’ah : 9 )

Akan tetapi dapat dikatakan: Bahwa tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat jumat dan dengan berpedoman pada tergelincirnya matahari maka masuklah waktu shalat jumat.[22]

Terjemahan dari kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.


[1] . HR. Al-Bukhari, no. 1103, Muslim, no. 1927, Ahmad, no. 7184, Ibnu Majah, no. 2886, Malik, no. 1835, dan Ad-Darimi, no. 2670.

[2] . Al-Adab Asy-Syar`iyyah (1/450).

[3] . HR. Abu Daud, no. 2600, dan di shahihkan oleh Al-Albani –rahimahullah-. Ahmad, no. 4510, At-Tirmidzi, no. 3442, dan Ibnu Majah, no. 2826.

[4] . ‘Aunul Ma`bud Syarh Sunan Abu Daud, jilid 4 (7/187).

[5] . HR Al-Baghawi, dan beliau –rahimahullah- menghasankannya. No. 1346 (5/143).

[6] . HR Al-Bukhari no. 2998, Ahmad, no. 4734, At-Tirmidzi, no. 1273, Ibnu Majah, no. 3768, dan Ad-Darimi, no. 2679.

[7] HR. Abu Daud, no. 2607, dan dihasankan oleh Al-Albani –rahimahullah-. Ahmad, no. 2709, At-Tirmidzi, no. 1674, dan Malik, no. 1831.

[8] ‘Aunul Ma`bud, jilid keempat, 7/191.

[9] HR. Abu Daud, no. 2607, dan berkata Al-Albani –rahimahullah-: “Hadits hasan shahih.”

[10] . Alat musik (Al-Jaras), yaitu alat yang ditabuh. Dan ajrasahu yaitu menabuhnya. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak akan menemani musafir yang membawa alat musik dan menabuhnya….” (Lisanul Arab 6/36) dalam kata: jarasa.

[11] . HR. Muslim, no. 2113, Ahmad, no. 7512, At-Tirmidzi, no. 1703, Abu Daud, no. 2555, dan Ad-Darimi, no. 2676.

[12] . HR. Muslim, no. 2114, Ahmad, no. 8565, dan Abu Daud, no. 2556.

[13] . Syarh Muslim Jilid keenam (14/78).

Saya Katakan: “Jika sebab keenggan para malaikat menemaninya dalam safarnya, karena dia membawa serta lonceng yang merupakan seruling syaithan. Kemudian apakah bisa dikatakan jika ia membawa alat musik, maka malaikat tidak akan menuyertai?

Yang nampak bagiku –wallahu a`lam- bahwa hal itu tidak ada bedanya.

[14] . Lihat Aunul Ma`bud jilid 4 (7/162).

[15] . HR. Al-Bukhari, no. 1088, Muslim, no. 1339, Ahmad, no.7181, At-Tirmidzi, no. 1170, Abu Daud, no, 1733, Ibnu Majah, no. 2899, dan Malik, no. 1833.

[16] . HR. Al-Bukhari, no. 3002, Muslim, no. 1341, Ahmad, no. 1935, dan Ibnu Majah, no. 2900.

[17] . Syarh Shahih Muslim jilid 5 (9/93).

[18] . HR. Muslim, no. 2742, Ahmad, no. 10759, At-Tirmidzi, no. 2191, dan Ibnu Majah, no. 4000.

[19]. Sampai jika ia mengingkari yang demikian penyeru emansipasi wanita di zaman ini sedangkan ia tahu hakikat dirinya, dan tahu taqdir lemahnya. Yang ini merupakan sunnatulllah dalam hal penciptaannya, yang tidak ada ada bandingannya. Akan tetapi yang dikhawatirkan olehnya hanyalah kemunduran dan penyelesihan. Hingga mengikuti perkembangan zaman seperti halnya wanita eropa yang maju !! Harus dapat bepergian sendiri seperti mereka, berpakaian layaknya mereka berpakaian, bekerja disamping kaum laki-laki, apabila seorang wanita tidak melakukannya maka diapun tertuduh telah menyelisihih emnasipasi !. Semoga Allah memberi kami dan mereka rizki untuk konsisten dijalan yang lurus.

[20] . HR. Al-Bukhari, no. 2950, dan Ahmad, no. 15354.

[21] . HR. Abu Daud, no. 2606, dan ini merupakan lafazhnya, dan dishahihkan Al-Albani –Rahimahullah-. Ahmad, no. 15012, At-Tirmidzi, no. 1212, Ibnu Majah, no. 2236, dan Ad-Darimi, no. 2435.

[22] . Syarh Al-Mumti` (5/27-29).

Tinggalkan komentar