Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Hukum Memperingati Tahun Baru Islam

Posted by Kautsar pada 5 Desember 2010

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.

Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Pertanyaan :

Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab :

Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 – 1 – 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

– Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

– Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb

وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Sumber : di sini

Artikel Terkait:

3 Tanggapan to “Hukum Memperingati Tahun Baru Islam”

  1. adi is said

    banyak hal yang aneh aneh bagi pemeluk Islam termasuk saya yang Islam keturunan.
    kalau mau dibenarkan adat tersebut, anggap saja segala hal hal yang aneh tersebut sebagai dongeng.
    dongeng tidak pernah diperdebatkan atau dibantah.
    jadi anggap saja isra miraj, selamat hari raya, satu muharam, dllnya sebagai dongeng dalam adat, jadi tidak usah diperdebatkan, kalau mau dipikirkan, tak akan ada penyelesaian.
    tapi kalau dianggap dongeng, selesai, tidak ada yang menyanggah…..

    • Kautsar said

      Pertama kali saya akan meluruskan atau dengan kata lain saya akan berpendapat tentang perkataan Bapak di atas, yaitu perkataan Bapak, “…bagi pemeluk Islam termasuk saya yang Islam keturunan.”
      Ada memang syubhat (kerancuan berpikir) dari seseorang atau kelompok tertentu yang mengatakan bahwa kita adalah muslim atau agama islam kita adalah turunan, konsekuensinya, ketika dikatakan seperti itu, maka ketika lahir kita tidak islam, dan ketika dewasa (baligh) nanti kita harus memperbaharui syahadat kita, bahkan lebih ekstrim lagi, sebenarnya orang tua kitapun harus mengulangi syahadatnya karena mereka juga islam turunan, Allah-lah tempat memohon pertolongan.
      Kemudian, dari sempalan tersebut, mengatakan bahwa jika kita belum memperbaharui syahadat kita maka gugurlah keislaman kita yang keturunan itu sehingga kita sama hukumnya dengan orang kafir.

      Tentunya pemahaman seperti itu keliru, karena sejatinya kita adalah muslim sejak kita dalam kandungan, demikian juga kita sudah muslim ketika kita sudah lahir, sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (belum ternodai) dalam artian masih sebagaimana janjinya kepada Allah ketika dalam perut ibunya sebagai jiwa yang tunduk kepada Allah Ta’ala.
      Nah, tinggal bagaimana orang tuanya membawanya, apakah menjadi tetap Muslim, nasrani, yahudi atau majusi, orang tuanya lah yang akan menjadikannya.
      Kesimpulannya, tidak ada istilah Islam keturunan, karena itu adalah istilah yang keliru, baik secara aqli maupun naqli. Demikian.

      Kembali ke pernyataan bapak, “kalau mau dibenarkan adat tersebut, anggap saja segala hal hal yang aneh tersebut sebagai dongeng.”
      Sudah sunatullah, bahwa akan terjadi perbedaan pendapat pada umat ini, bahkan hal itupun telah terjadi pada jamannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi adalah sebaiknya dan langkah terbaik bagi kita adalah berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang dipahami para shahabat radhiyallahu ‘anhum sehingga kita akan lebih selamat dalam berislam ini. Wallahu a’lam.
      tidak semua yang dianggap adat adalah syariat dan syariat bukanlah adat. untuk pembahasan tentang dongeng silakan buka link ini. Semoga Allah mempertemukan kita dan bisa mendiskusikannya secara langsung.

  2. mukhyidi said

    trims infonya

Tinggalkan komentar