Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kalimat ‘Pengandaian’ Dilihat dari Kacamata Aqidah

Posted by Kautsar pada 10 Maret 2011

Tidak jarang kita mendengar orang berucap ‘seandainya aku tadi berbuat begini, maka akan demikian dan demikian …‘ atau ucapan ‘andaikan aku tadi berbuat begitu, maka pasti akan demikian dan demikian …‘, dan yang semisal dengan kata-kata tersebut. Bahkan mungkin kita sendiri pun juga sering mengucapkannya, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإْنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.

“Jika menimpa padamu sesuatu (musibah), maka jangan kamu mengatakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan terjadi ini dan itu …’,  akan tetapi katakanlah: ‘Ini adalah takdir Allah dan jika Allah kehendaki terjadi pasti terjadi’ karena berandai-andai (ucapan seandainya atau yang semisalnya) itu membuka pintu amalan setan.” (HR. Muslim)

Bermula dari potongan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, ada beberapa pihak yang melarang secara mutlak tentang penggunaan kata ’seandainya’ atau yang semisalnya, dan sebaliknya, ada sebagian orang yang banyak terjatuh ke dalam kesalahan dengan bermudah-mudahannya mereka dalam menggunakan kalimat pengandaian ini.

Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah, bagaimana syari’at memandang permasalahan ini? Apakah benar penggunaan kata ’seandainya’ dan yang semakna dengannya itu dilarang secara mutlak? Dan bolehkah kita bermudah-mudahan mengucapkan kalimat ini tanpa dibatasi oleh keadaan dan kondisi tertentu? Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan permasalahan ini secara gamblang. Beliau membagi penggunaan kata ’seandainya’ atau yang semisalnya pada beberapa keadaan:

1.       Apabila digunakan dalam rangka menentang syari’at, maka yang demikian ini hukumnya haram bahkan bisa mengantarkan pelakunya kepada kekafiran. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat. Yaitu ketika terjadi perang Uhud, ketika itu di tengah perjalanan menuju medan pertempuran, ‘Abdullah Bin Ubay yang merupakan gembong munafikin bersama 300 orang membelot dari pasukan kaum muslimin. Tatkala 70 orang shahabat syahid dalam peperangan tersebut, maka mereka kaum munafikin berkata dalam rangka menentang dan menolak syari’at jihad yang mulia ini -sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala– sebutkan dalam ayat-Nya:

لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا.

“Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.” (Ali ‘Imran: 168)

Yakni mereka bermaksud mengatakan: Kalau seandainya mereka mentaati dan mengikuti kami dan kembali bersama kami, tentunya mereka tidak akan terbunuh, akal dan logika kami kami lebih baik daripada syari’atnya Muhammad.

Ucapan seperti ini bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran.

2.       Apabila digunakan dalam rangka menentang takdir, maka ini juga haram hukumnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menentang takdir Allah ‘azza wajalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَوْ كَانُوا عِنْدَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: Seandainya mereka tetap bersama kita tentunya mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” (Ali Imran: 156)

Allah subhanahu wata’ala mentakdirkan ada sebagian manusia yang meninggal, baik disebabkan karena kecelakaan ataupun terbunuh dalam suatu peperangan. Namun musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafikin mengingkari bahwa itu merupakan takdir dan kehendak Allah ‘azza wajalla, bahkan mereka mengatakan bahwa meninggalnya seseorang itu semata-mata karena keluarnya dia dari rumahnya, kalau seandainya seseorang tetap tinggal di rumahnya, pasti dia tidak akan mati. Inilah persangkaan dusta mereka yang kaum mukminin dilarang untuk meniru dan menyerupai sikap mereka ini. Orang yang beriman yakin bahwa segala yang terjadi dan menimpa umat manusia adalah karena takdir Allah subhanahu wata’ala.

3.       Apabila digunakan dalam rangka meluapkan penyesalan, misalnya seseorang membeli sesuatu untuk dijual kembali dengan anggapan bahwa dia akan mendapatkan keuntungan yang banyak. Namun ternyata yang terjadi dia justru rugi besar, maka kemudian dia berkata: ‘Seandainya aku tidak membeli barang ini tentunya aku tidak akan rugi seperti ini’. Maka yang seperti ini hukumnya haram. Karena seseorang yang selalu diliputi penyesalan, hidupnya akan selalu dipenuhi dengan kesedihan dan hatinya akan merasa sempit, sementara Allah subhanahu wata’ala menginginkan hamba-Nya agar memiliki kelapangan jiwa dan bersemangat dalam menghadapi setiap permasalahan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإْنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk sesuatu  yang bisa bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Allah dan jangan berputus asa. Jika menimpa padamu sesuatu (musibah), maka jangan kamu mengatakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan terjadi ini dan itu …’,  akan tetapi katakanlah: ‘Ini adalah takdir Allah dan jika Allah kehendaki terjadi, pasti terjadi’ karena berandai-andai (ucapan seandainya atau yang semisalnya) itu membuka pintu amalan setan.” (H.R. Muslim)

4.       Apabila digunakan untuk berdalil (beralasan) terhadap maksiat yang dia lakukan, bahwa itu merupakan takdir. Maka ini adalah perkara yang batil. Sebagaimana yang telah diucapkan kaum musyrikin, Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tentang mereka dalam ayat-Nya:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ.

“Orang-orang yang berbuat kesyirikan akan mengatakan: “Seandainya Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu apapun.” (Al-An’am : 148)

وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ.

Dan mereka (kaum musyrikin) berkata: “Seandainya Allah yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak beribadah kepada mereka (malaikat).” (Az Zukhruf : 20)

5.       Apabila digunakan untuk berangan-angan. Maka hukumnya tergantung pelakunya. Jika dia berangan-angan kebaikan maka baginya kebaikan, dan jika dia beangan-angan kejelekan maka baginya kejelekan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ حَقَّهُ قَالَ فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ قَالَ وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا قَالَ فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ قَالَ وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقَّهُ فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ قَالَ وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ هِيَ نِيَّتُهُ فَوِزْرُهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ.

“Sesungguhnya dunia ini untuk 4 orang:

(1) Seorang hamba yang Allah rizkikan baginya harta dan ilmu kemudian dia gunakan rizki tersebut untuk bertaqwa kepada Allah, menyambung tali persaudaraan, dan dia mengetahui bahwa Allah punya hak atas itu semua. Maka ini adalah derajat yang paling baik.

(2) Seorang hamba yang Allah rizkikan padanya ilmu namun tidak diberi harta kemudian dia berkata: Seandainya aku punya harta, aku akan beramal seperti amalannya si fulan[1]. Maka bagi keduanya ini sama pahalanya.

(3) Seorang hamba yang Allah rizkikan padanya harta namun tidak Allah beri ilmu maka dia hambur-hamburkan hartanya tanpa didasari ilmu, tidak dia gunakan untuk bertaqwa kapada Allah, tidak digunakan untuk menyambung tali persaudaraan, dan tidak tahu bahwa di situ ada hak Allah yang harus dia tunaikan. Maka ini adalah derajat yang paling buruk.

(4) Seorang hamba yang Allah tidak berikan harta dan ilmu padanya, namun kemudian dia berkata: Seandainya aku memiliki harta, aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan[2]. Maka bagi keduanya sama dosanya.” (HR Ahmad)

6.       Apabila digunakan dalam rangka menyampaikan kabar berita, maka yang demikian ini hukumnya boleh. Misalnya seseorang berkata: Seandainya kamu hadir di pelajaran, kamu pasti akan mendapatkan faidah. Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لأحللت معكم.

“Kalaulah seandainya aku mendapati kembali dari urusanku (yakni haji) seperti apa yang telah lalu, maka aku tidak akan membawa Al-Hadyu (yakni hewan sembelihan ketika menunaikan ibadah haji) dan aku akan bertahallul bersama kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkabarkan rencana beliau kalau seandainya bisa menunaikan ibadah haji tahun berikutnya, beliau tidak akan membawa Al-Hadyu karena beliau melihat apa yang dialami oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum[3]. Wallahu A’lam.

Sumber:

Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid (II/361-363), Bab Ma Ja’a Fi Al-Law, Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, cetakan Dar Ibnil Jauzy.

Dipaparkan oleh Al-Ustadz ‘Abdullah Imam.


[1] Ini adalah angan-angan yang baik, yakni kalau seandainya dia memiliki harta, dia akan menggunakannya untuk amalan ketaatan sebagaimana yang digambarkan dalam amalan orang yang pertama dalam hadits tersebut.

[2] Ini adalah angan-angan yang buruk, yakni kalau seandainya dia memiliki harta, dia akan menghambur-hamburkan hartanya tersebut dan tidak dibelanjakan untuk sesuatu yang diridhai Allah ‘azza wajalla sebagaimana yang digambarkan pada perbuatan orang yang ketiga dalam hadits tersebut.

[3] Hadits ini terkait dengan kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhaji bersama para shahabatnya ke Makkah. Pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa shahabatnya membawa hewan sembelihan (Al-Hadyu), dan sebagian shahabat yang lain tidak membawanya. Di tengah perjalanan turun perintah dari Allah subhanahu wata’ala bagi orang-orang yang tidak membawa hewan agar bertahallul dan hajinya dihitung haji tamattu’, sedangkan yang membawa dihitung haji qiran. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa haji tamattu’ lebih afdhal daripada haji qiran maupun ifrad, sebagaimana yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini. Masalah seperti ini secara lebih rinci bisa dilihat dalam pembahasan tentang haji

Sumber : dari sini

2 Tanggapan to “Kalimat ‘Pengandaian’ Dilihat dari Kacamata Aqidah”

  1. Sa'iid Abu Ibrohiim said

    http://kebenaranhanya1.wordpress.com/2011/03/10/jawaban-ringkas/

    • Kautsar said

      menirukan perkataan teman ana yang baru pulang dari Yaman, “Isy fi?”
      dengan kata lain, buat apa antum buat/menukil tulisan-tulisan seperti itu?

Tinggalkan komentar