Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab Al-Adab : Adab-Adab Makan dan Minum

Posted by Abahnya Kautsar pada 25 Agustus 2008

Bab Adab-Adab Makan dan Minum

Allah ta’ala berfirman :

“ Wahai para Rasul makanlah kalian dari makanan-makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal-amal yang shalih , sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian perbuatan “ (Al-Mukminun : 51 )

Dan Allah ta’ala berfirman :

“ Makan dan minumlah kalian dari rizki Allah dan janganlah kalian berlebihan dimuka bumi sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan “ – Surah al-Baqarah : 60 –

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Wahai anak kecil, makanlah dengan menyebut Bismilah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang terdekat denganmu “[1]

Di antara adab-adab makan dan minum, sebagai berikut :

  1. Larangan Makan dan Minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak.

Ada beberapa hadits yang berisikan ancaman yang amat keras bagi seseorang yang makan di Bejana emas dan perak, ataukah makan dari piring yang terbuat dari emas dan perak. Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :Saya telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Janganlah kalian mengenakan pakaian dari sutra, dan juga pakaian yang bercampur dengan sutra, dan janganlah kalian minum dari bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan dari piring yang terbuat dari emas dan perak. Karena sesungguhnya bejana dan piring seperti itu bagi mereka – ahli kitab – didunia dan bagi kita di surga “[2]

Dari Ummu Salamah – istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Seseorang yang minum dari bejana perak, maka sesungguhnya diperutnya akan didengarkan[3] suara api neraka jahanam “[4]

Para Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan minum dari bejana tersebut[5]. Dan tidak ada satupun nash yang meneangkan sebab dari larangan ini. Dan seorang muslim apabila telah mengetahui suatu dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih tidak sepantasnya dia melanggarnya walau sekecil apapun juga. Dan tidak selayaknya berupaya untuk mentakwilkannya dengan tujuan mendapatkan pembolehan dalam pengerjaannya. Para Ulama telah mengupas hikmah yang terkandung didalam larangan ini dan mereka berbeda persepsi : Diantara hikmah larangan tersebut : Keserupaan dengan penguasa-penguasa yang angkuh dan raja-raja asing,sikap berlebihan dan sombong, karena akan menyakiti hati orang-orang yang shalih dan kaum fakir miskin yang tidak mempunyai sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka itu. Sebagaimana hal tersebut dinyatakan oleh Ibnu Abdil Barr.[6]

Faedah : Al-Isma’ili mengatakan : Sabda beliau : “ Dan bagi kalian di akhirat “ [ pada riwayat lainnya ] : Maksudnya bahwa kalian akan mempergunakannya sebagai penyeimbang karena telah meninggalkannya didunia. Dan mereka dilarang sebagai balasan bagi mereka kaena telah berlaku maksiat dengan mempergunakannya – yaitu didunia, pen -.

Saya ( Ibnu Hajar ) berkata : Dan ada kemungkinan bahwa hadits diatas mengisyaratkan bahwa siapa saja yang mempergunakan hal itu didunia maka dia tidak akan mempergunakannya di akhirat, sebagaimana yang telah terdahulu disebutkan pada pembahasan minum khamar.[7]

  1. Larangan makan sambil bertelekan atau menelungkupkan wajahnya.

Abu Juhaifah meriwayatkan , bahwa beliau berkata : “ Saya pernah berada disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada seseorang yang berada disampingnya : Tidaklah sekali-kali saya makan sambil bertelekan “[8]

Ibnu Hajar mengatakan : “ Cara betelekan yang dilarang telah terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan : Dengan bersandar sewaktu makan dengan posisi apapun juga. Ada yang berpendapat : Duduk serong kesalah satu sisi tubuhnya . Ada yang berpendapat : Duduk dengan menopang kepada tangan karirnya diatas tanah …

Beliau berkata : Ibnu Adiy meriwayatkan dengan sanad yang dha’if : “ Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bersandarkan dengan tangan kirinya ketika makan “

Malik berkata : “ Ini adalah salah satu bentuk bertelekan “

Saya – Ibnu Hajar – berkata : “ Dan ini adalah isyarat dari Malik bahwa makruh setiap yang termasuk dalam bertelekan sewaktu makan, dan tidak mengkhususkannya dengan posisi tertentu …

Ibnu Hajar mengatakan : “ Dan apabila hal ini suatu ketetapan bahwa makruh atau termasuk khilaf aula – menyalahi amalan yang utama – , maka posisi duduk yang sunnah disaat makan adalah dengan duduk berjingkat pada lutut dan menegakkan tumit, dengan melipat kaki kanan dan duduk diatas kaki kiri “[9]

Dan tinjauan makruhnya posisi duduk ini dikarenakan merupakan posisi duduk para penguasa yang angkuh dan raja-raja negeri asing. Dan merupakan posisi duduk orang-orang yang berkeinginan memperbanyak makannya.[10]

Dan posisiyang kedua dari cara makan seseorang yang terlarang adalah makan sambil duduk bersandar/ bertelungkup diatas perutnya.

Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu , beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang orang-orang berbuat tamak, dan melarang duduk diatas meja yang terhidang khamar, dan melarang seseorang duduk bertelungkup diatas perutnya “[11]

Faedah : Cara duduk ketika makan : Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan posisi muq’in dan disebutkan dari beliau, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk ketika makan dengan duduk tawarruk, yaitu duduk diatas kedua lutut dan meletakkan telapak kaki kiri beliau atas punggung kaki kanan beliau, sebagai bentuk sikap tawadhu’ – rendah diri – kepada Rabb-nya ‘azza wajalla. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim[12].

Adapun posisi duduk ketika makan yang pertama adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, belaiu berkata : “ Saya telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dengan posisi muq’in[13], sedang memakan kurma “[14]

Adapun posisi duduk yang kedua : Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi hadiah seekor kambing, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertopang dengan kedua lututnya menyantap kambing tersebut. Maka seorang Arab Badui berkata kepada beliau : Posisi duduk apakah ini ?. Beliau bersabda : Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikan aku sebagai seorang penguasa angkuh lagi pembangkang “[15]

  1. Mendahulukan makan dari pada shalat ketaka makanan telah dihidangkan

Pada hadits Anas radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

“ Apabila hidangan makan malam telah dihidangkan dan shalat telah didirikan makan kalian mulailah denan makan malam “[16]

Dari Ibnu Umar radhiallahu ;anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Apabila makan malam salah seorang diantara kalian telah dihidangkan sementara shalat telah didirikan, maka mulailah dengan makan malam kalian dan janganlah seseorang tergesa-tergesa hingga dia selesai dari makannya “[17]

Dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma , apabila dihidangkan makan malam beliau sementara waktu shalat telah datang, beliau tidak beranjak dari makan malamnya hinga menyelesaikannya. Imam Ahmad meriwayatkan didalam Musnad-nya dari Nafi’ bahwa Inu Umar seringkali mengutus beliau sementara beliau dalam keadaan berpuasa, dan dihidangkan kepada beliau makan malamnya sementara panggilan shalat maghrib telah dikumandangkan, lalu kemudian iqamah shalat dan beliau mendengarkannya, namun beliau tidaklah meninggalkan makan malam beliau dan tidak juga trgesa-gesa hingga beliau menyelesaikan makan malamnya, lalu beliau keluar untuk mengikuti shalat . Dan beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah bersabda :

“ Janganlah kalian tergesa-gesa menyantap makan malam kalian apabila telah dihidangkan bagi kalian “[18]

Dan sebab dari hal tersebut, agar jangan sampai seseorang mengerjakan shalat namun hatinya teringat akan makanannya yang mana akan menyebabkan kerisauan yang menghilangkan rasa khusyu’nya.

Ibnu Hajar mengatakan : Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari hadist Abu Hurairah dan Ibnu Abbas : “ Bahwa mereka berdua tengah menyantap makanan dipemanggangan. Lalu muadzdzin hendak meng-iqamahi shalat, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya : Janganlah engkau tergesa-gesa agar kami tidak berdiri mengerjakan shalat sementara pada hati kami ada ganjalan “Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah : “ Agar tidak memalingkan kami disaat mengerjakan shalat “[19]

Dan perintah semacam ini tidaklah khusus sebatas pada makan malam saja, melainkan pada setiap makanan yang mana hati tertarik untuk menyantapnya. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat disaat makan telah dihidangkan, dan disaat menahan air kencing dan buang air besar. Dan sebabnya sangatlah jelas.

Dari Aisyah – ummul mukminin – radiallahu ‘anha, beliau berkata : Saya telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

“ Tidak sempurna shalat disaat makanan telah dihidangkan dan tidak sempurna jikalah seseorang dalam keadaan menahan kencing dan hajat besar “[20]

Faedah : Sebagian ulama mengatakan : Bagi siapa yang makanannya telah dihidangkan kemudian shalat di-iqamahi, maka sepatutnya dia memakan beberapa suap untuk mengatasi rasa laparnya. An-Nawawi membantah hal tersebut , dan beliau mengatakan : “ Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; Da janganlah seseorang tergesa-gesa hingga menyelesaikan makannya, adalah dalil yang menunjukkan bahwa dia makan menyelesaikan kebutuhannya dengan menyempurnakan makannya. Dan inilah pendapat yang shahih. Adapun penafsiran sebagian dari ulama Asy-Syafi’iyah bahwa dia cukup makan sesuap untuk mengatasi rasa laparnya yang amat sangat, bukanlah pendapat yang shahih. Dan hadits ini sangat jelas menolaknya.”[21]

Masalah : Apabila makanan telah dihidangkan sementara shalat telah di-iqamahi, apakah wajib untuk makan terlebih dahulu berdasarkan zhahir hadits ataukah perintah pada hadits sebatas menunjukkan suatu yang Sunnah ?

Jawab : Amalan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, pada riwayat Ahmad dan selainnya menunjukkan pendahuluan makan secara mutlak. Dan sebagian ulama mengkhususkan hal itu apabila hati tertarik dan terbayang dengan makanan tersebut. Apabila hatinya terbayangkan akan makanan tersebut maka yang lebih utama baginya adalah mengambil makanan tersebut hingga dia mengerjakan shalat dalam keadaan khusyu’. Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Ad-Darda`a radhiallahu ‘anhu beliau berkata : “ Diantara bentuk pemahaman seseorang adalah dengan menyelesaikan hajatnya hingga dia menuju shalat dengan hati yang tenang “[22]

Pendapat yang tepat berkaitan dengan masalah itu adalah yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Haja – dimana setelah beliau mengutip atsar Ibnu Abbas dan Atsar Al-Hasan bin Ali : “ Makan malam sebelum mengerjakan shalat akan menghilangkan hati yang tercela“, beliau mengatakan : Pada atsar ini semuanya mengisyaratkan bahwa sebab pengutamaan makan dari pada shalat itu adalah karena bayangan maka sepatutnyalah hukum diikutkan pada sebabnya, baik ketika sebab itu ada atau tidak, dan tidak terikat dengan seluruhnya atau sebagiannya.[23]

  1. Membasuh kedua tangan sebelum dan sesudah makan

Saya tidak menjumpai adanya Sunnah yang shahih yang diriwayatkan secara marfu’ hingga ke Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang menerangkan perihal membasuh kedua tangan sebelum makan. Al-Baihaqi mengatakan : “ Hadits tentang membasuh kedua tangan setelah makan hadits yang hasan, dan tidaklah shahih hadits tentang membasuh kedua tangan sebelum makan[24]. Akan tetapi disenangi hal itu untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kedua tangan dan yang semisalnya yang akan memberi mudharat kepada tubuh. Dan Imam Ahmad berkaitan dengan masalah itu terdapat dua riwayat dari beliau. Yaitu riwayat yang menganggap hal itu makruh dan yang satunya sebagai Sunnah. Dan Imam Malik merinci hal itu, dan mengkaitkan membasuh kedua tangan sebelum makan apabila ada kotoran. Adapun amalan Ibnu Muflih didalam kitab Al-Adab karya beliau, menunjukkan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa amalan tersebut Sunnah sebelum makan, dan ini adalah pendapat sejumlah besar ulama[25].

Dan permasalahan ini suatu yang lapang walhamdu lillah Rabbil ‘Alamiin.

Adapun membasuh kedua tangan setelah makan, tentang hal itu telah diriwayatkan beberapa atsar yang shahih, diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhialahu ‘anhu, bahwa beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang tidur dan pada tangannya masih melekat ghamar[26] dan tidak membasuhnya kemudian dia terkena sesuatu makan janganlah dia menyesali kecuali pada dirinya sendiri “[27]

Dan dari abu Hurairah, beliau berkata :

“ Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan bagian punggung kambing, kemudian beliau berkumur-kumur dan membasuh kedua tangannya lalu shalat “[28]

Dan dari Aban bin ‘Utsman, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu pernah makan roti dengan danging kemudian berkumur-kumur dan membsuh kedua tangannya lalu membasuh wajahnya, dan kemudian beliau mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi “[29]

Faedah : Sebagian ulama menganggap Sunnah wudhu’ yang syar’I sebelum makan apabila dalam keadaan junub. Dan hal itu disebutkan dalam sebuah hadits dan sebuah atsar. Adapun hadits yang dimaksud adalah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam junub dan hendak makan atau tidur beliau terlebih dahulu berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat “[30]

Adapun atsar , adalah asar dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa apabila beliau hendak tidur atau makan dalam keadaan junub, beliau mencuci wajahnya, kedua tangannya hingga sampai ke siku, dan membasuh kepadalnya, lalu beliau makan atau tidur “[31]

Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Dan kami tidak mengetahui seorangpun yang beranggapan sunnahnya berwudhu’ sebelum makan, kecuali apabila dia dalam keadaan junub.[32]

Perhatian :Al-Muhadist Al-Albani beragumen denga hadits ‘Aisyah : “ apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu’ dan apabila hendak makan maka beliau membasuh kedua tangannya “[33]

Bahwa disyariatkan untuk membasuh kedua tangan sebelum makan secaa mutlak berdasarkan hadits ini[34].

Akan tetapi hukum secara mutlak ini perlu diteliti lagi, dikarenakan beberapa hal :

Pertama : Hadits tersebut menerangkan tentang amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disaat beliau junub ketika tidur, makan dan minum.

Kedua : Sebagian riwayat-riwayat hadits tersebut datang dengan lafazh wudhu’ dan sebagian lainnya dengan penyebutan membasuh kedua tangan yang menerangkan boleh kedua amalan itu. As-Sindi didalam Hasyiyah-nya mengatakan : “ Sabda beliau : (( membasuh kedua tangan )) yaitu terkadang beliau mencukupkannya dengan hal itu untuk menerangkan pembolehan, dan terkadang beliau berwudhu’ sebagai keadaan yang lebih sempurna “[35]

Ketiga : Bahwa para Imam Ahlul Hadist, seperti Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyah, An-Nasa`I rahimahumullah [36] dan juga selain mereka – dan kami telah mengutip perkataan mereka – tidaklah berpendapat bahwa hadits Aisyah diatas berlaku secara mutlak sebagaimana pendapat Al-‘Allamah Al-Albani – rahimahullah – yang menganggap berlaku secara mutlak, sedangkan mereka meriwayatkan hadits ini, yang menguatkan bahwa permasalahan ini menurut mereka hanya berlaku pada saat junub, sehingga wudhu’ dan membasuh tangan sebelum makan pada hadits ini berlaku hanya pada saat junub. Wallahu a’lam.

Terjemahan dari kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.


[1] HR. Al-Bukhari ( 5376 ) dan ini merupakan lafazh Al-Bukhari, dan Muslim ( 2022 ), Ahmad ( 1589 ), Abu Daud ( 3777 ), Ibnu Majah ( 3276 ), Malik ( 1738 ) dan Ad-Darimi ( 2045 )

[2] HR. Al-Bukhari ( 5426 ), Muslim ( 2067 ), Ahmad ( 22927 ), At-Tirmidzi ( 1878 ), An-Nasa`I ( 5301 ), Abu Daud ( 3723, Ibnu Majah ( 3414 ) dan Ad-Darimi ( 2130 )

[3] Makna al-jarjarah, didalam Lisan Al-Arab : adalah suara.

[4] HR. Al-Bukhari ( 5634 ), Muslim ( 2065 ), Ahmad ( 26028 ), Ibnu Majah ( 3431 ), Malik ( 1717 ) dan Ad-Darimi ( 2129 ).

[5] Diantara yang mengutip adanya ijma’ ini Ibnu Abdil Barr didalam At-Tamhid ( 16/ 104 ) dan Ibnu Al-Mundzir, lihat didalam Fathul Bari ( 10 / 97 ). Dan tidak disangsikan bahwa makan serupa hukumnya dengan minum.

[6] At-Tamhid ( 16 / 105 ) dan lihat pula Fathul Bari (10 / 97 )

[7] Fathul Bari ( 10 / 98 )

[8] HR. Al-Bukhari ( 5399 ), dan lafazh diatas adalh lafazh hadits Al-Bukhari, Ahmad ( 18279 ) , At-Tirmidzi ( 1830 ), Abu Daud ( 3769 ), Ibnu Majah ( 3262 ) dan Ad-Darimi ( 2071 ).

[9] Fathul Bari ( 9 / 452 ), Saya berkata : Posisi ini yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan duduk diatas kaki kiri, diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Muqriy didalam Asy-Syamail dari hadits beliau – Abu Juhaifah – :” Apabila beliau duduk, maka beliau melipat lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanannya … “ Sanadnya dha’if. Al-‘Iraqi mengatakannya didalam Takrij Ihya’ ‘Ulumuddin 2 / 6, cet. Daar Al-Hadith, cet. I 1412.

[10] Lihat : Zaad Al-Ma’ad ( 4 / 222 ) dan Fathul Bari ( 9 / 452 )

[11] HR. Abu Daud ( 3774 ) dan Al-Albani menshahihkanya dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah ( 3370 )

[12] Zaad Al-Ma’ad ( 4/ 221 )

[13] Yaitu duduk diatas kedua dubur nya dengan menegakkan kedua lutut beliau. Syarh Muslim Jilid 7 ( 13/ 188 )

[14] HR. Muslim ( 2044 ), Ahmad ( 12688 ), Abu Daud ( 3771 ) dan Ad-Darimi ( 2062 )

[15] HR. Ibnu Majah ( 3263 ) dan lafazh hadits tersebut lafazh riwayat Ibnu Majah. Ibnu Hajar didalam Al-Fath ( 9 / 452 ) menghasankan sanadnya. Al-Albani berkata : Shahih ( 5464 ). Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Abu Daud ( 3773 ) tanpa menyebutkan kedua lutut.

[16] HR. Al-Bukhari ( 5464 ), Muslim ( 557 ), Ahmad ( 12234 ), At-Tirmidzi ( 353 ), An-Nasa`I ( 853 ) dan Ad-Darimi ( 1281 )

[17] HR. Al-Bukhari ( 673 ), Muslim ( 559 ), ahmad ( 5772 ), At-Tirmidzi ( 354 ), Abu Daud (

[18] Al-Musnad ( 6323 )

[19] Fathul Bari ( 2 / 189 )

[20] HR. Muslim ( 560 ), Ahmad ( 23646 ) dan Abu Daud ( 89 )

[21] Muslim dengan Syarh An-Nawawi Jilid 3 ( 5 / 38 )

[22] Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Al-Bukhari didalam Kitab Al-Adzan, bab. Idzaa Hadhara Ath-Tha’am wa Uqiimat Ash-Shalat. Ibnu Al-Mubarak meriwayatkan atsar ini secara maushul didalam kitab Az-Zuhd. Dan Muhammad bin Nashr Al-Marruzi meriwayatkannya didalam Kitab Ta’dziim Qadri Ash-Shalat, dari jalan Ibnu Al-Mubarak. Sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar didalam Fathul Bari ( 2 / 187 )

[23] Fathul Bari ( 2 / 189 – 190 )

[24] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 3 / 214 )

[25] Lihat : Al-Adab ( 3 / 212 )

[26] Didalam LisanArab : Al-Ghamar yaitu bau daging dan lemak yang melekat pada tangan ( 5 / 32 ) , pada pembahasan ; Ghamara

[27] HR. Ahmad ( 7515 ),Abu Daud ( 3852 ), Al-Albani menshahihkannya. Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ( 1860 ), Ibnu Majah ( 3297 ) dan Ad-Darimi ( 2063 )

[28] HR. Ahmad ( 27487 ), Ibnu Majah ( 493 ) dan Al-Albani menshahihkannya ( 498 )

[29] HR. Malik ( 53 )

[30] HR. Al-Bukhari ( 286 ), Muslim ( 305 ), dan lafazh hadits ini adalah lafazh riwayat Muslim, Ahmad ( 24193 ), An-Nasa`I ( 255 ), Abu Daud ( 224 ), Ibnu Majah ( 584 ) danAd-Darimi ( 757 )

[31] HR. Malik ( 111 )

[32] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 3 / 214 )

[33] HR. An-Nasa`I ( 256 ), Ahmad ( 24353 ) dan selain mereka berdua.

[34] Lihat : As-Silsilah Ash-Shahihah ( 1 / 674 ) no. ( 390 ).

[35] Syarh Sunan An-Nasa`I karya As-Suyuthi dan Hasyiyah As-Sindi, Daar Al-Kitab Al-Arabi ( 1 / 138 – 139 )

[36] Yang mencantumkan hadits ini pada tiga judul bab, yaitu : Pertama : Wudhu’ seorang yang junub apabila hendak makan. Kedua : Seorang yang junub mencukupkan dengan membasuh kedua tangan apabila hendak makan. Ketiga : Seorang yang junub mencukupkan mencuci kedua tangan apabila hendak makan atau minum. Lhat : Kitab Ath-Thaharah pada Sunan An-Nasa’i

Tinggalkan komentar