Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

I’tiqad Al Imam Penghulu para Huffadz : Abu ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats Tsaury

Posted by Abahnya Kautsar pada 14 Juni 2008

Sekilas tentang Al Imam Sufyan bin Sa’id Ats Tsauriy ([1])

Ia adalah Syaikhul Islam, Imam para Hafidh, Pemimpin para ulama yang ‘alim pada zamannya, Abu Abdillah Ats-Tsauriy Al-Kufiy Al-Mujtahid, Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsauriy

Para Ahlul Ilmi sepakat bahwa ia terlahir pada tahun 97 H dan ia menuntut ilmu dalam keadaan masih kanak-kanak dalam asuhan Bapak beliau.

Dan ia wafat pada tahun 126 H .

Dikatakan : Sesungguhnya jumlah syaikhnya (gurunya) mencapai 600 orang syaikh. Adapun orang yang meriwayatkan darinya lebih banyak lagi.

Berkata ‘Abbas Ad-Duuriy : “Aku melihat Yahya bin Ma’in, tidak mendahulukan seorangpun dari pada Sufyan pada zamannya : baik dalam fiqh, dalam hadits, dalam kezuhudannya, dan dalam segala halnya.”

Dan berkata Ayyub As-Sakhtayaniy : ” Tidak ada seorangpun dari Ahli Kufah yang mendahului kami, yang lebih utama dari Sufyan Ats-Tsauriy.”

Dan berkata Syu’bah : ” Sufyan telah mendahului seluruh manusia dengan kewara’annya dan ilmu’nya. “

Berkata Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar jilid 7:241 : ” Sungguh Sufyan adalah yang orang paling zuhud dan ahli ibadah, dan paling takut pada Allah, orang yang paling utama dalam hafalannya, orang yang paling mengerti dalam memahami sunnah Nabi, orang yang paling faham tentang fiqh, dan karena Allah tidaklah Ia takut celaan orang-orang yang mencela, dan ia merupakan seorang Imam Dinul Islam.”

Tentang I’tiqad ini :

Al-Imam Al-Lalikaiy menyebutkannya dalam kitab beliau yang teramat baiknya yakni Syarh Ushul I’tiqad Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah jilid 1:151–154 dengan sanadnya sampai kepada Sufyan Ats-Tsauriy –rahimahullah-.

Dan sungguh Al-Hafidh Adz-Dzahabiy juga telah menyebutkannya dalam Tadzkirah Al-Huffadh jilid 1:206 – 207 secara umum dari I’tiqad ini, kemudian ia berkata dalam jilid 1:207 : “I’tiqad ini benar dari Sufyan, dan ia merupakan Syaikhul Mukhlis yang tsiqah rahmatullah ‘alaihim.

Sanad I’tiqad ini :

  1. Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Al-‘Abbas bin ‘Abdirrahman : Abu Thahir Al-Baghdadiy Al-Mukhlis : Ia merupakan syaikhnya para muhaddits yang dipanjangkan umurnya dan seorang yang shoduq / jujur.

Berkata Al-Khathib : Ia seorang tsiqah

Dilahirkan pada tahun 305 H pada bulan Syawwal, dan wafat pada bulan Ramadhan tahun 393 H.

Lihat kitab Siyaru A’lam An-Nubala 16:478–480, dan Tarikh Baghdad 2:322 – 323, dan Syadzrat Adz-Dzahab 3:144.

  1. Syu’aib bin Muhammad bin Ar-Rajiyan : dan Adz-Dzahabiy mentsiqahkannya dalam At-Tadzkirah 1:207.

  1. ‘Aliy bin Harab Al-Muwashaliy : Imam para Muhaddits, tsiqah dan beradab paling baik, seorang panutan pada zamannya, Abul Hasan.

Lahir pada tahun 175 H.

Berkata Abu Hatim : Shaduq. Dan Berkata Ad-Daruquthniy : Tsiqah.

Ia Wafat pada tahun 256 H.

Lihat kitab As-Siyar:251–253, dan Al-Jarh Wa At-Ta’dil 6:183, dan Tarikh Baghdad 11:418 – 420, dan Thabaqat Al-Hanabilah 1:223, dan Syadzrat Adz-Dzahab 2:150.

  1. Syu’aib bin Harb : Seorang Imam Teladan, ahli ibadah, Syaikhul Islam, Abu Shalih Al-Madainiy.

Berkata An-Nasaiy : Tsiqah. Dan berkata Ibnu Ma’in dan Abu Hatim : Tsiqah yang ma’mun / terpercaya.

Lihat kitab As-Siyar 9:188-191, dan Thabaqat Ibni Sa’ad 7:320, dan Al-Jarh 4:342, dan Al-Mizan 2:275, dan At-Tahdzib At-Tahdzib 4:350, dan Syadzrat Adz-Dzahab 1:349.

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Al-‘Abbas, ia berkata : “Telah menyampaikan kepada kami Abu Al-Fadhl Syu’aib bin Muhammad bin Ar-Rajiyan, ia berkata : Telah menyampaikan kepada kami ‘Aliy bin Harbi Al-Muwashaliy di Sarma Raa pada tahun 257 H , beliau berkata : Saya mendengar Syu’aib bin Harb berkata : Aku berkata kepada Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauriy : Kabarkanlah kepadaku suatu hadits dari sunnah Rasulullah yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengannya jikalau aku telah berada dihadapan-Nya dan Ia menanyaiku tentangnya. Dan Allah berfirman kepadaku : Dari mana engkau dapatkan hal itu ?

Aku akan katakan : Ya Rabb, Sufyan Ats-Tsauriy memberitahukan kepadaku perkataan tersebut, maka aku mengambilnya darinya, dan akupun terbebaskan dan engkaulah yang akan dimintai pertanggung jawabannya.

Kemudian beliau –Ats Tsauriy- berkata : Ya Syu’aib, ini adalah sebuah penegasan, sungguh-sungguh suatu penegasan. Tulislah ! :

بسم الله الرحمن الرحيم

Al-Quran adalah kalam (firman) Allah, bukan makhluk ([2]). Dari-Nya Al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya ia kembali. Barang siapa mengatakan selain seperti ini maka dia adalah kafir.

Dan Iman terdiri dari perkataan, perbuatan dan niat, dan iman dapat bertambah dan berkurang ([3]) : bertambah dengan ketaatan kepada Allah dan berkurang dengan kema’shiyatan kepada-Nya. Dan tidak diperbolehkan perkataan kecuali harus diiringi dengan perbuatan, dan tidak diperbolehkan perkataan dan perbuatan kecuali diawali dengan niat, dan tidak diperbolehkan perkataan dan perbuatan dan niat kecuali dengan hal-hal yang sesuai sunnah.

Berkata Syu’aib : Kemudian aku berkata kepada beliau : ” Wahai Abu Abdillah, apa yang dimaksud dengan kesesuaian diatas Sunnah ? “

Ia berkata : ” Yaitu mengedepankan keutamaan dua Syaikh kita: Abu Bakar dan ‘Umar – radhiyallahu ‘anhuma ([4]).

Wahai Syu’aib, tidaklah bermanfaat untukmu apa-apa yang engkau tulis sampai engkau mendahulukan ‘Utsman dan ‘Ali atas semua yang setelah mereka berdua. “

Wahai Syu’aib bin Harb, tidaklah bermanfaat untukmu apa yang engkau tuliskan terkecuali engkau tidak memberikan persaksian bagi seseorang ia sebagai penghuni Sorga ataukah neraka ([5]), kecuali untuk sepuluh orang yang Rasulullah telah bersaksi kepada mereka, dan mereka semuanya dari kaum Quraisy ([6])

Wahai Syu’aib bin Harb, tidaklah bermanfaat untukmu apa-apa yang engkau tulis sampai engkau berpendapat bahwa mengusap dua khuf (sepatu) tanpa menaggalkannya lebih utama bagimu daripada mencuci kedua kakimu ([7])

Wahai Syu’aib bin Harb, dan tidaklah bermanfaat apa yang engkau tulis, sampai engkau membacakan dengan lirih ” Bismillahirrahmanirrahim ” dalam shalat, lebih utama bagimu daripada engkau mengeraskannya ([8]).

Wahai Syu’aib bin Harb, tidaklah bermanfaat bagimu apa yang engkau tulis sampai engkau beriman kepada Al Qadar, yang baik maupun yang buruk, yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, bahwa kesemuanya berasal dari Allah ‘azza wa jalla ([9]).

Wahai Syu’aib bin Harb, Demi Allah, tidaklah Al-Qadariyyah berpendapat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh para malaikat, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh para Nabi, tidak sebagaimana yang dikatakan para penghuni surga, tidak sebagaimana yang dikatakan para penghuni neraka, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh saudara mereka , Iblis – semoga Allah melaknat-nya –

Allah berfirman :

{ أَ فَرَأَيْتَ مَنْ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ، وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً، فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ ؟ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ }[10]

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Dan Allah berfirman :

{ وَمَا تَشَا ؤُوْنَ إِلاّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ }[11]

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”

Dan berkata malaikat :

{ سُبْحَانَكَ لاَعِلْمَ لَنَا إِلاَّّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ }[12]

“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Dan berkata Musa ‘alaihissalam :

{ إِنْ هِيَ إِلاَّ فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ }[13]

“..Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki…”

Dan berkata Nuh ‘alaihissalam :

{ وَلاَ يَنْفَعُكُمْ نُصْحِيْ إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ اللهُ يُرِيْدَ أَنْ يَغْوِيَكُمْ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ }[14]

“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.

Dan berkata Syu’aib ‘alaihissalam :

{ وَمَا يَكُوْنُ لَنَا أَنْ نَعُوْدَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّنَا, وَسِعَ ربُّـنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا}[15]

“Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki (nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.”

Dan berkata penghuni surga :

{الحَمْدُ للهِ الذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَانَا اللهُ}[16]

“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. “

Dan berkata penghuni neraka :

{غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنّا قَوْمًا ضَالِّيْن}[17]

“kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat.”

Dan berkata saudara ahli neraka – Iblis – la’anahullah

{رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِيْ}[18]

“Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi “

Wahai Syu’aib, tidaklah bermanfaat apa yang engkau tulis sampai engkau mengetahui bahwa :

o Sholat diperbolehkan (bermakmum kepada) orang yang baik dan orang fajir.([19])

o Dan perkara jihad disyari’atkan hingga datangnya hari kiamat.([20])

o Dan bersabar di bawah kepemimpinan seorang penguasa baik yang lalim ataukah yang adil. ([21])

Berkata Syu’aib : “Kemudian aku bertanya pada Sufyan:”Wahai Abu ‘Abdillah, apakah sholat keseluruhannya?”

Maka ia menjawab : “Tidak, melainkan sholat berjama’ah dan sholat ‘ied pada dua hari raya. Shalatlah di belakang orang-orang yang telah engkau ketemui, adapun keseluruhan sholat maka engkau boleh memilih dan janganlah engkau shalat kecuali di belakang orang yang engkau percaya kepadanya, dan engkau keetahui bahwa ia termasuk dalam golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Wahai Syu’aib, saat engkau berada dihadapan Allah –’azza wa jalla, dan Ia menanyaimu tentang perkataan ini, maka katakanlah : “Wahai Rabb-ku, perkataan ini disampaikan kepadaku oleh Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauriy”.

Kemudian tinggalkanlah perkara itu menjadi urusanku dengan Rabbku –’azza wa jalla.


[1] Lihat lebih lanjut mengenai beliau dalam Siyaru A’lamin Nubala 5 : 229–279, dan Tabaqat Ibni Sa’ad 6 : 371-374, dan Hilyah Al-Auliya’ 6 : 365 s/d 7 : 144, dan Tadzkirah Al-Huffadh 1 : 203-207, dan At-Tahdzib At-Tahdzib 4 : 111-115, dan Syadzrat Adz-Dzahab 1 : 250 – 251.

[2] Al-Quran Al-Karim adalah kalamullah dan sesuatu yang diturunkan dari-Nya. Al-Quran bukanlah makhluk. Tatacara dituliskannya, saat dibacakannya, dan pada setiap tempat dibaca, di langitkah ia berada atau di bumi, ketika dihafalkan. di Lauhul Mahfudh ketika dituliskan, atau tertera di lembaran-lembaran-lembaran tulisan para kanak-kanak dan di batu ia dipahatkan, di kertas ia dituliskan, atau di dalam hati ia dihafalkan, atau dengan lisan ia dilafadhkan. Barang siapa yang mengatakan selain demikian, atau menyatakan bahwa Al-Quran berada di bumi, atau yang di langit selain Al-Quran yang kita baca dengan lisan kita, dan kita tulis pada buku-buku kita, atau meyakini yang demikian dalam hatinya, atau menyembunyikannya dalam jiwanya, atau mengatakan dengan lisannya sebagai kepercaWahain, maka ia adalah kafir yang halal darah dan hartanya. Ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri pula darinya. Sebagaimana dikatakan oleh Ath-Thabariy dalam Sharih As-Sunnah hal 24-25.

Dan lihat kitab As-Sunnah oleh Al-Imam ‘Abdillah 2:18, dan Syarh Ushul Al-I’tiqad 2: 216 sampai akhir dan 3:378 -385, dan Sharih As-Sunnah oleh Ath-Thabari hal 24-29, dan Al Hujjah oleh Al-Ashbahaniy 1:334-359 dan 2:198, dan Al-Ajuriy dalam Asy-Syari’ah hal 75-96, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asma Wa Ash-Shifat 1:299-422, dan Al-I’tiqad hal 94-110, dan Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyah hal 132-170, dan Ar-Rad ‘ala Basyar Al-Muraisiy hal 464, dan Mukhtashar Ash-Shawa’iq 2:277 -332, dan Syarh Ath-Thahawiyah (tahqiq Ahmad Syakir rahimahullah) hal 107-127.

[3] Iman adalah perkataan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang, pada hal-hal yang umat telah sepakat atasnya. Dalil-dalil tentang aqidah ini, dan bantahan terhadap Ahlul Ahwa dan Bid’ah dapat dilihat dalam kitab Sharihus Sunnah hal 42-45, dan Asy-Syari’ah oleh Al-Ajuriy hal 103-118 dan hal 130-132 dan As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Ashim hal 449-151, dan Syarh Ushul Al-I’tiqad 3:380 dan 5:890-964, dan Al-I’tiqad oleh Al-Baihaqiy hal 174-185, dan Al-Hujjah oleh Al-Ashbahany 1:405-406, dan Al-Iman oleh Abu ‘Ubaid hal 72.

[4] Umat telah bersepakat bahwa sesungguhnya sebaik-baik shahabat Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-Siddiq, kemudian sesudahnya Al-Faruq ‘Umar bin Al-Khaththab, kemudian Dzu-An-Nuraini (Orang yang mempunyai dua cahaya) ‘Utsman bin ‘Affan, kemudian Amirul Mu’minin dan Imamul Muttaqin ‘Ali bin Abi Thalib – Radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Lihat Sharih As-Sunnah hal 38-39.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Adapun pengutamaan Abu Bakar, kemudian ‘Umar, di atas ‘Utsman dan ‘Ali, maka bersepakat dalam hal ini penjelasan para Imam kaum muslimin dan orang-orang yang termasyhur dengan keimamannya dalam hal ilmu dan agama dari golongan para shahabat dan tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Kemudian ia berkata : ” Imam Malik telah menyebutkan bahwa Ahlu Madinah telah sepakat atas hal tersebut, ia berkata : Tidaklah aku mengetahui seorang pun yang saya jadikan qudwah, sedangkan ia ragu dalam pengutamaan Abu Bakar dan Umar.

Lihat Al-Fatawa hal 421-428, dan Fath Al-Bariy 7:16, dan Lawami’ Al-Anwar 2:310 dan Syarh Ushul Al-I’tiqad 7:1363 – 1372.

[5] Berkata pensyarah Ath-Thahawiyah pada hal 378 :”Sesunggunhnya tidaklah kami mengatakan tentang seseorang tertentu dari golongan ahli Kiblat : Bahwa ia merupakan penghuni surga atau penghuni neraka (ia masuk surga atau masuk neraka), kecuali yang telah dikhabarkan oleh Ash Shodiq shollallahu ‘alaihi wasallam, bahwa ia termasuk golongan penghuni surga, sebagaimana sepuluh orang shahabat – radhiyallahu ‘anhum -. Dan walaupun kami mengatakan, bahwa mestilah akan masuk neraka orang-orang yang melakukan Al-Kabair (dosa-dosa besar) jikalau Allah kehendaki ia akan masuk ke neraka, kemudian ia keluar dari neraka dengan syafa’at Asy-Syafi’in (yang memberi syafa’at), akan tetapi kita tidaklah memastikan seseorang, ia masuk sorga atau nereka.

Maka kami tidak memberi persaksian kepadanya dengan surga dan tidak pula dengan neraka kecuali setelah adanya ilmu, karena hakikat sebenarnya adalah suatu yang tersembunyi, dan seseorang yang telah meninggal tidaklah dapat diketahui keadaannya.Hanya saja kami mendo’akan bagi golongan Muhsiniin / Ahlut Tauhid semoga menjadi penghuni sorga dan kami khawatir ancaman neraka bagi mereka yang berbuat dosa kejelekan.

Dan Ulama salaf dalam hal persaksian dengan surga dan neraka ada tiga pendapat :

Pertama : Bahwa tidak dipersaksikan bagi seorang pun kecuali bagi para nabiyullah, dan ini

dinukil dari Muhammad bin Al-Hanifah dan Al-Auza’iy

Kedua : Mempersaksikan bagi surga kepada setuap mu’min yang ditunjukkan oleh suatu

dalil padanya. Ini merupakan pendapat yang masyhur dari para Ulama dan Ahli

Hadits.

Ketiga : Bahwa sesungguhnya dipersaksikan sebagai penghuni surga atas mereka yang telah

dipersaksikan oleh kaum mukminin.

[6] Dan mereka adalah : Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Nuqail, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah – radhiyallahu ‘alaihim ajma’in. Lihat pada Sunan At Tirmidzi 3748, As Sunnah –Ibnu Abi ‘Ashim 2 / 604 – 607, Al I’tiqad – Al Baihaqi hal. 331 -332, Lum’atul I’tiqad hal. 33, Syarh Ath Thahawiyah hal. 433 dan Lawami’ul Anwar 2 / 357 – 359

[7] Telah mutawatir sunnah dari Rasulullah tentang membasuh bagian atas kedua khuf (sepatu) dan tentang mencuci kedua kaos penutup kaki. Adapun kaum Rafidhah mereka telah menyelisihi sunnah yang mutawatir ini. Maka dikatakan kepada mereka : Orang-orang yang menukilkan sifat wudhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam baik dari perkataan maupun perbuatan beliau, dan orang-orang yang mempelajari sifat wudhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam , maka mereka berwudhu pada zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau melihat mereka dan menyetujui apa yang mereka lakukan. Dan merekapun menukilkan kepada orang-orang yang datang setelah mereka – lebih Banyak jumlahnya dibandingkan dari yang menukil lafadz ayat ini, dikarenakan kaum muslimin seluruhnya, mereka berwudhu dizaman Rasulullah shollalahu ‘alaihi wasallam, dan mereka tidak pernah mempelajari sifat wudhu mereka kecuali dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, dimana amalan ini belum pernah mereka ketahui pada zaman Jahiliyah. Dan mereka sungguh telah melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, jumlah yang tidak dapat terhitung banyaknya kecuali oleh Allah Ta’ala. Dan telah dinukil dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam penyebutan pencucian kedua kaki dalam apa yang Allah kehendaki pada hadits beliau.” Wallahu a’lam.

Lihat perincian masalah ini dalam Syarh Ath-Athahawiyah hal 386-387.

[8] Berkata pentahqiq Syarh Ushul Al-I’tiqad pada 1:152, “Ini termasuk masalah furu’iyah amaliyah yang terdapat padanya perselisihan dikalangan ulamanya umat ini. Dan ini disebabkan pertentangan riwayat dalam masalah ini, walaupun riwayat yang menunjukkan bacaan yang lirih lebih shahih sanadnya, namun masalah ini merupakan masalah merupakan dari masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan ketentuan-ketentuan aqidah.

Dan dalam masalah ini telah terjadi perselisihan sejak zaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum hingga masa ini. Termasuk orang-orang yang berpendapat dengan mengeraskan bacaan basmalah adalah : Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan Abu Az-Zubair. Dan juga berpendapat demikian : Sa’id bin Jubair, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, dan demikian pula madzhab Asy-Syafi’iy.

Lihat kembali Syarh As-Sunnah 3:54, Fathu Al-Bari 2:226-229.

Dan saya menyebutkan yang berpendapat demikian semata untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya ini merupakan perbedaan pendapat yang tidak menjurus pada penyesatan dan penghukuman fasiq . Dan sesungguhnya ini merupakan masalah yang diperselisihkan di antara Ahlussunnah sendiri. Wallahu a’lam.

[9] Yang dimaksud dengan Qadar : pengkhabaran tentang ilmu Allah yang mendahului segala yang diperbuat oleh hamba, dan yang mereka dapatkan dari usaha mereka, dan bahwa kesemuanya itu adalah takdir Allah Subhanahu, dan Allah menciptakan kesemuanya, yang baik maupun yang buruk. Dan Qadar mestilah terkandung padanya empat rukun :

Pertama : Ilmu Allah subhanahu wa ta’ala dengan segala sesuatu sebelum terjadinya.

Kedua : Tertulisnya segala sesuatu sebelum terjadinya itu di sisi Allah.

Ketiga : Sesuatu itu tidak akan pernah terjadi kecuali dengan kehendak-Nya,jika Allah

menghendaki akan terjadi dan bila Ia tidak menghendaki maka tidak akan terjadi.

Keempat : Allah menciptakan seluruh amalan hamba, mengatur dan menjadikannya .

Lihat Syarh Ushul Al-I’tiqad 3:534, dan Al-I’tiqad oleh Al-Baihaqiy hal 132, dan Asy-Syari’ah oleh Al-Ajuriy hal 149-168, dan Sharih As-Sunnahhal 34-36, dan Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah oleh Al-Bukhariy hal 39-42, dan Al-Hujjah oleh Al-Ashbahaniy 2:13-69,dan Maj’mu’ Al-Fatawa 2:152, dan 8:484-488, dan Thariq Al-Hijratain hal 71-172, dan Syarh Ath-Thahawiyah 383-399.

[10] Surat Al-Jatsiyah:23

[11] Surat Al-Insan:30

[12] Surat Al-Baqarah:32

[13] Surat Al-A’raf:155

[14] Surat Hud:34

[15] Surat Al-A’raf : 89

[16] Surat Al-A’raf : 43

[17] Surat Al-Mu’minun : 106

[18] Surat Al-Hijr : 39

[19] Berkata Al-Imam Ath-Thahawiy : Kita mengetahui bahwa shalat adalah mengikuti setiap orang yang baik dan orang yang fajir dari golongan ahli kiblat (seorang muslim), dan atas siapa yang meninggal dari golongan kaum muslimin.

Kemudian berkata pensyarah Aqidah ini : Ketahuilah – Semoga Allah merahmatimu dan kami – : ” Bahwa sesungguhnya boleh bagi seseorang untuk sholat di belakang orang yang tidak ia ketahui sebagai pelaku bid’ah dan tidak pula seorang fasik, dan ini merupakan kesepakatan para imam. Dan bukanlah merupakan syarat makmum untuk mengetahui i’tiqad imamnya, dan tidak juga untuk mengujinya. Dengan menanyakan : Bagaimanakah keyakinanmu ?

Tetapi ia boleh shalat walaupun di belakang orang keadaannya tidak ia ketahui.

Jika ia shalat di belakang seorang pelaku bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, atau seorang fasiq yang menampakan kefasikannya, sementara ia adalah imam rawatib (imam tetap) yang tidak mungkin dilakukan shalat melainkan dibelakangnya. Seperti imamah shalat jama’ah dan shalat ‘ied di dua hari raya, dan imam pada shalat saat haji di ‘Arafah, dan yang semacam itu, maka sesungguhnya makmum diperbolehkan sholat di belakangnya, menurut pendapat semua Ulama Salaf dan Khalaf. Dan barang siapa yang meninggalkan shalat jum’at dan sholat jama’ah di belakang imam yang fajir, maka ia adalah seorang mubtadi’ menurut pendapat sebagian besar Ulama. Dan yang shahih adalah ia tetap melaksanakan shalat tersebut, dan tidak mengulangi (shalat)nya, karena sesungguhnya para shahabat – radhiyallahu ‘anhum – mereka melaksanakan shalat jama’ah di belakang imam-imam yang fajir dan tidaklah mereka mengulangi shalatnya. Lihat lihat lebih lengkap tentang masalah ini dalam Syarh Ath-Thahawiyah hal 373-377.

[20] Ini sampai kepada bantahan kepada kaum Syi’ah Rafidhah, yang mana mereka mengatakan : Tidak ada jihad fi sabilillah sampai ia mengeluarkan Ar Ridho – Al Imam Al Muntadhar- dari keluarga Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan terdengan seruan dari langit : ikutlah kalian kepadanya. Dan kebatilan perkataan ini lebih jelas dari pada harus mendatangkan dalil atasnya,

Lihat Syarh Ath-Thahawiyah hal 387-388.

[21] Lihat Syarh Ushul Al-I’tiqad 7:1229-1253, dan Al-I’tiqad oleh Al-Baihaqiy hal 242-246, dan As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Ashim hal 508-511.

Berkata seorang hamba yang faqir Fawwaz Ahmad Zamraliy kepada Maula-nya : Aku telah menyelesaikan ta’liq atasnya dengan sebatas kemampuanku

Sore hari, Kamis, 23 Jumadi Ats-Tsaniyah 1413 Hijriyah.

Dan segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya menjadi sempurna segala amal-amal kebaikan.

Abu ‘Abdir Rahman

Fawwaz Ahmad Zamarli

Tinggalkan komentar