Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab Al-Adab : Adab-Adab Berbicara (2)

Posted by Abahnya Kautsar pada 7 Juli 2008

1. Larangan menceritakan semua yang didengarkan

Hal itu disebabkan karena perkataan yang didengar dari orang-orang ada yang benar dan ada juga yang dusta. Apabila seseorang menceritakan segala yang didengarnya, maka pastilah akan mencritakan suatu yang dusta. Dengan inilah seorang yang menceritakan segala yang didengarnya diaktegorikan seorang yang menyampaikan kedustaan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Cukuplah seorang berdosa, ketika menceritakan segala yang didengarnya “ Pada riwayat lainnya : “ Termasuk kedustaan seseorang apabila dia menceritakan segala yang didengarnya “[1]

2. Peringatan terhadap Kedustaan

Kedustaan adalah penyampaian kabar yang menyalahi keadaan yang sebenarnya. Dan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang dialrang oleh Allah didalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala befirman :

“ Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian orang-orang yang benar[2]

Makna yang tersirat pada ayat diatas adalah : janganlah kalian menjadi kelompok orang-orang yang berdusta.

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada perbuatan baik dan perbuatan yang baik akan menuntun kepada surga. Dan seseorang akan berkata jujur hingga dia tetulis disisi allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan akan menuntun kepad perbuatan fajir. Dan perbuatan fajir akan menuntun kepada neraka. Dan seseorang akan berdusta hingga akan tertulis disisi Allah bahwa dia adalah seorang pendusta “[3]

Ibnu Hajar mengatakan : “ Ar-Raghib mengatakan asal kata al-fajru berarti suatu yang pecah. Berarti al-fujur memecahkan/menyingkap penutup keagamaan seseorang. Dan kalimat ini juga dipergunakan untuk menunjukkan makan kecenderungan kepada perbuatan fasad dan terbawa kepada perbuatan maksiat. Dan merupakan kalimat yang menyatukan segala bentuk keburukan[4].

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Tnda seorang munafik ada tiga: Apabila berbicar adia berdusta, apabila berjanji dia menyalahi, dan apabila diberi kepercayaan dia berkhianat “[5]

Barang siapa yang memiliki sifat dusta maka pada dirinya ada ciri orang-orang munafik.

Dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu pada hadits Ru’ya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda :

“ … Akan tetapi malam itu saya melihat dua orang yangmendatangiku lalu keduanya menggandeng tanganku dan mengeluarkanku dari tanah Maqdis. Dan seseorang sedang duduk dan seseorang sedang berdiri dan pada tangannya penjepit-penjepit dari besi – sebagian pengikut Musa berkata dari Musa – : Bahwa dia memasukkan penjepit itu didalam rahangnya hingga sampai kedalam tengkuknya, lalu tengkuk yang satnya juga diperbuat hal yang serupa dengan itu. Kemudian rahangnya dikembalikan seperti sedia kalam, lalu diperbuat lagi yang semisalnya.

Saya berkata : Apakah ini ?

Keduanya mengatakan : Berlalulah dairnya … “

Dan pada akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kedua orang tersebut : Kalian berdua telah mengajakku berkeliling pada malam ini, maka beritahukanlah semua yang telah aku lihat.

Keduanya mengatakan : Adapun seseorang yang anda lihat, yang rahangnya dijepit maka dia adalah seorang pendusta , menceritakan cerita yang dusta hingga cerita itu dibawanya hingga menyebar keseluruh pelosok, maka pad ahari kiamat dilakukan hal tersebut baginya … al-hadits “[6]

Faedah : Kedustaan yang paling besar adalah kedustaan kepada Allah dan kedustaan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang dusta untuk menguasai harta seorang muslim.

Adapun kedustaan kepada Allah, dapat dengan mentakwilkan dan menafsirkan kalam Allah tanpa dasar ilmu. Diantara hal itu adalah mendudukkan beberapa nash-nash Al-Qur`an dengan sejumlah kejadian yang bermunculan. Para ulama As-Salaf, telah merasa berat untuk menafsirkan kalam Allah subhanahu wata’ala tanpa dasa rilmu, dan ada banyak perkataan dari mereka tentang hal itu :

Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: “ Demi Tanah yang aku pijak dan langit yang menaungiku , apabila aku mengatakan sesuatu didalam Kitabullah yang tidak kau ketahui … “

Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya tentang sebuah ayat , apabila ayat tersebut ditanyakan kepada sebagian dari kalian, maka dia akan mengatakan/menafsirkan ayat tersebut, lalu beliau enggan untuk mengatakan/menafsirkan ayat tersebut …

Masruq mengatakan : Berhati-hatilah dalam menafsirkan karena tafsir adalah meriwayatkan dari Allah.

Ibnu Taimiyah mengatakan : Inilah beberapa atsar dan atsar-atsar lain yang semisalnya dari para Imam As-Salaf yang mengindikasikan keengganan mereka berbicara dalam masalah tafsir tanpa dasar ilmu pada mereka. Adapun perkataan yang diektahui baik dari tinjauan etimloginya maupun secara syara’ maka hal tersebut tidak mengapa[7].

Adapun kedustaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dapat berupa pemalsuan hadits, danmenyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakannya, melakukannya atai membenarkannya. Dan berdusta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan ancaman berupa api neraka.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :” janganlah kalian berdusta kepadaku, karena barang siapa yang berdusta kepadaku maka pastilah dia akan disengat dengan api neraka “ pada riwayat lainnya : “ akan disengat dengan api neraka “[8]

Adapun bersumpah atas nama Allah untuk mengambil harta seorang muslim, telah diriwayatkan oleh Abduyllah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Barang siapa yang bersumpah dengan sumpah yang dusta untuk merampas harta seorang muslim atau mengatakannya kepada saudaranya, maka dia akan menjumpai Allah , sementara Allah sangat murka kepadanya … “[9]

Dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda : Termasuk dosa-dosa besar : Berbuat syirik kepada Allah , durhaka kepada kedua orang tua, membunuh seorang muslim dan sumpah yang dusta[10][11]

Dan Dari Ibnu Mas’ud beliau mengatakan : “ kami mengkategorikan termasuk dosa yang tidak ada kaffarahnya diatnaranya adalah sumpah yang dusta, yaitu seseorang yang bersumpah – pengakuan – terhadap harta saudaranya dengan sumpah yang dusta untuk menguasai harta tersebut “[12]

Faedah lainnya : kedustaan diperbolehkan [ada tiga hal :

Pertama : Untuk megnadakan perdamaian diantara kaum manusia.

Kedua : Didalam berperang.

Ketiga : Seorang suami yang berbincang kepada Istrinya dan istri kepada suaminya.

Dalil hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Kultsum bin Abi Mu’ith radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bukanlah dikatakan seorang pendusta yang bertujuan mengadakan perbaikan ditangah-tengah kaum manusia, hingga memberi hasil kebaikan ataukah mengatakan suatu kebaikan “[13]

Dan pada riwayat Abu Daud: Beliau mengatakan : “ Tidaklah saya mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sedikitpun juga kedustaan kecuali pada tiga perkara yang pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan : “ Tidaklah saya mengkategorikan seseorang sebagai pendusta apabila dia mendamaikan antara kaum mausia. Dia mengatakan suatu perkataan yang tidak ingin dia ucapkan kecuali untuk tujuan mendamaikan, dan seseorang yang berbicara disaat peperangan dan seseorang yang berbicara kepada istrinya dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya “[14]

Para ulama berbeda pendapat dalam menganalisa makna hadits ini. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya berdusta pada tiga hal yang disebutkan diatas. Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits diatas bukanlah dusta yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas at-tauriyah[15] dan al-ma’aaridh[16] [17].

Dan kemungkinan sebab dari perbedaan pendapat mereka karena memandang lafazh tambahan yang ada pada hadits diaas, apakah lafazh tersebut lafazh yang mudraj atau diriwayatkan secara marfu’ dan shahih.

Lafazh diatas lafazh yang shahih secara marfu’ – sebagaimana yang telah kami terangkan – dengan begitu jelaslah pendapat bolehnya berdusta pada tiga perkara yang telah disebutkan sebelumnya.

Dan hadits ini ada beberapa syahid penguat lainnya :

Adapun riwayat syahid untuk mendamaikan antara kaum manusia, adalah hadits yang telah dikemukakan sebelumnya.

Syahid riwayat berdusta ketika berperang, adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Siapakah yang akan menuntaskan Ka’ab bin Al-`Asyraf ? karena sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.

Muhammad bin Maslamah mengatakan : Apakah anda menyukai jika saya membunuhnya , wahai Rasulullah ?

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Benar.

Maslamah mengatkaan : Izinkanlah aku akan berdua bersamanya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Silahkan engkau berdua bersamanya.

Maslamah lalu mendatanginya dan berkata kepadanya: “ Dan menyebutkan perbincangan antara mereka berdua. Dan beliau berkata : Sesunguhnya orang ini telah menekan kami dengan shadaqah dan sungguh dia telah menyulitkan kami.

Dan ketika dia mendengarnya, dia mengatakan : Dan demi Allah dia juga telah menjemukan kami dengannya … al-hadits “[18]

Yang dijadikan argumen pada hadits diatas adalah

Abda beliau : “ Izinkanlah saya akan berdua dengannya “, “ Sungguh dia telah menekan kami dengan shadaqah “, yaitu : Meminta kami untuk menempatkan shadaqah pada masing-masing tempatnya.

Dan : “ Dan sungguh dia telah menyulitkan kami “, yakni : Membebani kami dengan segala macam perintah dan larangan[19].

Adapun syahid pembolehan berdusta kepada istri untuk menyenangkan hatinya : Hadist yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Yasaar, bahwa beliau berkata: Seseorang menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan berkata : Wahai Rasulullah, bolehkan aku berdusta kepada istriku ?

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak, Allah tidaklah menyukai kedustaan.

Orang tersebut berkata: “ Wahai Rasulullah, – perbuatan itu – untuk mendamaikannya dan menyenangkan hatinya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak mengapa bagimu “[20]

An-Nawawi mengatakan: “ Adapun dusta kepada istri dan dusta seorang istri kepada suaminya. Yang dimaksud dengan dusta ini adalah dengan manampakkan kasih sayang dan janji yang bukan suatu keharusan sertalain sebagainya.

Adapun memperdayai hingga menghalangi haknya atau mengambil yang bukan haknya baik suami atau istri,maka hal tersebut haram sesuai dengan ijma’ kaum muslimin , wallahu a’lam[21].

Al-Albani mengatakan : Tidak termasuk dusta yang diperbolehkan dengan menjanjikan sesuatu kepada istri yang sebenarnya dia tidak berkeinginan untuk menepatinya, atau memintanya memilih , bahwa dia akan membeli suatu kebutuhannya – istri – tertentu dengan harga demikian, melebihi harga yang sebenarnya hanya untuk menjadikannya ridha. Karena hal itu akan dapat terungkap sehingga menjadi sebab istri berburuk sangka kepada suaminya. Dan hal itu akan mendatangkan kerusakan bukan perbaikan[22].

3. Larangan berbuat keji dan mengatakan perkataan yang keji[23]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling sempurna kahlaknya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh dari sifat seorang yang berkata buruk dan rendahan. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari perkataan yang keji, melaknat, perkataan yang kotor dan perkataan-perkataan batil lainnya.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Bukan seorang mukmin apabila dia senang menghujat[24], senang melaknat, seorang yang berkata keji dan berkata buruk “[25]

Perkataan yang keji, dapat berarti beberapa makna. Terkadang bermakna makian dan celaan dan perkataan dusta, sebagaimana didalam hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang berkata keji dan sering berkata kotor. Dan beliau seringkali mengatakan: Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya “[26]

Dan terkadang bermakna : Berlebihan dalam berkata dan menjawab perkataan[27]. Sebagaimana didalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: Sekelompok Yahudi datang dan mengatakan : As-saamu ‘alaika wahai Abul Qasim.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : wa’alaika.

Aisyah berkata : Saya mengatakan : bahkan jawablah: As-saamu wa adz-dzaamu – kematian dan celaan bagi kalian – [28].

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Wahai Aisyah janganlah engkau menjadi seorang yang berkata keji “

Aisyah berkata : Tidakkah anda mendengar apa yang mereka katakan ?

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidakkah hal tersebut telah terjadi pada mereka apa yang mereka katakan. Saya berkata : Dan bagi kalian. “[29]

Peringatan : Seorang yang sering melaknat tidak menjadi seorang yang jujur. Dia akan diharamkan dari syafa’at dan perskasian pada hari kiamat. Dan barang siapa yang melaknat sesuatu namun sesuatu itu tidak pantas dilaknat, maka laknatnya akan kembali kepadanya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tidaklah pantas bagi seorang yang jujur untuk sering melaknat “[30]

Dari Abu Ad-Darda`, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang sering melaknat tidak akanmenjadi saksi dan pemberi syafa’at pada hari kiamat “[31]

Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Bahwa seseorang melaknat angin disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ Janganlah engkau melaknat angin , karena angin hanyalah suatu yang mendapat perintah. Dan sesungguhnya siapa saja yang melaknat sesuatu yang tidak sepantasnya dilaknat maka laknat tersebut akan kembali kepadanya “[32]

An-Nawawi mengatakan: “ Pada hadits diatas terdpat larangan melaknat dan siapa saja yang berakhlak demikian tidak akan tterdapat pada dirinya sifat-sifat terpuji. Dikarenakan laknat adalah doa yang dimaksudkan untuk menjauhkan seseorang dari rahmat Allah ta’ala. Dan doa seperti ini bukanlah akhlak kaum mukminin yang Allah sifati mereka sebagai kaum yang saling menebar rahmat, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, menjadikan mereka layaknya suatu bangunan yang saling menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya, bagaikan sebuah tubuh yang satu, dan seorang mukmin mencintai segala sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu untuk dirinya. Maka siapa saja yang mendoakan laknat saudaranya sesama muslim yakni menjauhkannya dari rahmat Allah ta’ala, berarti dia telah berada pada puncak pemutusan silaturrahim dan saling berjauhan. Dan ini tujuan yang seorang muslim disukai untuk menerapkannya kepada seorang kafir dan mendoakan laknat baginya. Dari sinilah pada sebuah hadits yang shahih disebutkan : “ Melaknat seorang mukmi bagaikan membunuhnya “[33]

Dikarenakan seorang yang membunuh akan memutuskan saudaanya dari segala manfaat dniawiyah, sementara ini – laknat – akan memutuskannya dari nikmat akhirat dan rahmat Allah ta’ala[34].

Peringatan lainnya : Termasuk dosa yang paling besa bahkan tergolong dosa-dosa besar, jikalau seseorang melaknat kedua orang tuanya.

Dari Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya tergolong dosa-dosa besar seseorang melaknat kedua orang tuanya. Ada yang mengatakan : Wahai Rasulullah, bagaimanakah seseorang akan melaknat kedua orang tuanya ?

Beliau menjawab : Orang tersebut mencaci bapak orang lain, lalu orang tersebut mencaci bapaknya dan mencaci ibunya.” Pada lafazh Muslim : “ Beliau bersabda : Temasuk dosa-dosa besar seseorang menghujat kedua orang tuanya. Para sahabat mengatakan: Wahai Rasulullah : Apakah mungkin seseorang menghujat kedua orang tuanya ?

Beliau bersabda: “ Benar. Dia mencaci bapak orang lain lalu orang tersebut mencaci bapaknya dan mencaci ibu orang lain lalu orang tersebut mencaci ibunya “[35]

4. Keutamaan seseorang meninggalkan perdebatan walau dia dalam keadaan benar

Al-Miraa`u dalam arti etimologinya bermakna : Bersengketa dan berdebat. … Asalnya dari bahasa adalah al-jidaal, dan seseorang mengindikasikan dalam perdebatannya suatu perkataan dan sikap-sikap mental yang mengindikasikan permusuhan dan selainnya.

Berasal dari kalimat: mariyat asy-syaah, Apabila anda memeras dan mengeluarkan susunya[36].

Dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya adalah pemuka dihamparan[37] surga bagi siapa saja yangmeninggalkan perdebatan walau dia dalam keadaan beanr. Dan di pertengahan surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan walau dlam keadaan bercanda, dan dibagian surga yang tertinggi bagi yang terpuji akhlaknya “[38]

Pada hadits tersebut diterangkan bahwa siapa saja yang meninggalkan perdebatan walau dia dalam keadaan jujur dan benar maka dia akan diberi janji melalui lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah rumah dihalaman surga.

Didalam A-Tuhfah : “ Hal itu dikarenakan dia elah berpaling dari perusakan hati orang yang diajaknya berdebat dan mengahalunya merupakan keluhuran jiwa dan penampakan kemuliaan keutamaan dirinya[39].

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: memperdebatkan Al-Qur`an adalah kekufuran “[40]

Yakni memperdebatkan segala yang ada didalam Al-Qur`an.

Dari Jundub bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda : “ Kalian bacalah Al-Qur`an atas apa yang dapat menyatukan hati-hati kalian, dan apabila kalian bersengketa maka berdirilah “[41]

Perengketaan yang dimaksud didalam hadits diatas adalah perbedaan dalam memahami maknanya. Dan mungkin juga yang dimaksud adalah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya. Dan ketika terjadi perbedaan pendapat yang akan menyebabkan keburukan terhadap Al-Qur`an, seorang muslim diperintahkan untuk menghentikan hal itu hingga tidak terjadi keburukan dan perdebatan tidak mencuat semakin membesar.

An-Nawawi mengatakan : Perintah untuk meninggalkan perbedaan tentang Al-Qur`an oleh para ulama dipahami pada perbedaan yang tidak diperbolehkan ataukah perbedaan yang akan menimbulkan sesuaut yang tidak diperbolehkan. Seperti perbedaan tentang Al-Qur`an itu sendiri atau pada salah satu kandungan maknanya yang tidak ditoleransi adanya ijtihad, ataukah perbedaan yang akan menyebabkan keraguan dalam masalah-masalah furu’ agama. Adapun diskusi para ulama berkaitan dengan hal itu untuk mendapatkan faedah dan menampilkan kebenaran, dan perbedaan mereka dalam hal itu bukan suatu yang terlarang, melainkan suatu yang diperintahkan dan keutamaannya nampak jelas. Kaum muslimin telas sepakat akan hal ini dizaman sahabat hingga sekarang wallahu a’lam[42].

Pada hadits diatas juga berisikan sugesti untuk membentuk jama’ah/persatuan dan kesatuan. Serta peringatan dari perpecahandan perselishan, larangan memperdebatkan Al-Qur`n tanpa alasan yang benar. Dan diantara hal buruk dari perkara itu , jikalah nampak suatu argumentasi ayat kepada suatu permasalahan yang menyelisihi pendapat nalar, maka dengan segala bantuan nalar , analisa yang mendalam untuk mentakwilkan ayat itu agar sesuai dengan nalar tersebut dan terjadi kesimpang siuran dalam pertentangan itu. Sebagaimana disebutkan didalam Al-Fath[43].

Faedah: As-Sa’di rahimahullah didalam menafsirkan firman Allah ta’ala :

“ Dan janganlah engkau mendebat mereka kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ ( QS. Al-Kahfi : 22 )

Beliau berkata: “ Dan janganlah engkau mendebat “ yakni bersengketa dan menyampaikan argumentasi bagi mereka.

“ Kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ yakni yang didasari dengan ilmu dan keyakinan, dan juga terkandung faedah.

Adapun perdebatan yang didasari dengan kejahilan dan mereka-reka suatu yang tidak diketahui, ataukah perdebatan yang tidak mendatangkan faedah, tidak terdapat faedah agama dengan mengetahuinya , seperti – memperdebatkan – jumlah Ashhabul kahfi, dan lain sebagainya, maka hal itu pada banyaknya perdebatan dan analisa yang berkelanjutan tiada henti hanya melalaikan waktu dan memberi pengaruh pada kecenderungan hati tanpa faedah “[44]

5. Larangan membuat suatu kaum tertawa dengan perkataan dusta

Sebagian manusia terlihat cenderung untuk mengada-adakan dan membuat suatu perkataan dusta lalu disandarkan kepada dirinya atau kepada orang lain dengan tujuan menjadikannya sebagai anekdot lucu bagi yang ada dimajlis. Dan orang yang memprihaitnkan itu tidaklah mengetahui bahwa dia telah tergelincir pada suatu perkara yang amat berat.

Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berkata: Sya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Celakalah bagi yang menceritakan sesuatu kemudian dia berusta pada ceritanya dengan tujuan membuat kaum yang mendengarnya tertawa. Celakalah dia celakalah dia “[45]

6. Apabila seseoang menceritakan sesuatu kepada saudaranya lalu dia bepaling maka yang diceritakannya adalah suatu amanah

Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Apabila seseorang menceritakan suatu cerita kepada saudaranya lalu dia berpaling menengok makan cerita tersebut adalah suatu amanah “[46]

Beliau – semoga Allahmengampuninya – menerangkan hadits diatas, dnegnamengatakan: “ Ini adalah adabnabawiyah yang sangat agung. Dimana Nai Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkategorikan seseorang yang menengok kekanan dan kekiri sewaktu menceritakan sesuatu sebagai suatu penyampaian rahasia untuk dijaga dan tidak disebar luaskan. Ibnu Raslan mengatakan: Dikarenakan menengoknya dia adalah pemberitahuan kepada orang yang diajaknya berbicara bahwa dia khawatir orang lain akan mendengar ucapakannya, dan dia telah mengkhususkan dirinya dengan rahasianya tersebut. Jadi menengoknya dia sama dengan ucapan: Simpanlah ini dariku baik-baik, yakni dengarlah dariku lalu simpanlah dan ini merupakan amanah bagimu[47].

7. Mendahulukan yang lebih tua dalam berbicara

Dalil akan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij dan Shal bin Abu Hatsmah, keduanya mengatakan: Bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhaishah bin Mas’ud keduanya mendatangi Khaibar maka keduanya terpisah dalam peperangan, kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh, datanglah Abdurrahman bin Sahl, Huwaishah dan Muhaishah keduanya anak Mas’ud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mereka membicarakan perkara sahabat mereka, mulailah dengan Abdurrahman dan dia adalah orang yang paling kecil pada kaum tersebut, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “ Agungkanlah orang tua”.-Berkata Yahya ( Ibnu Mas’ud ) yakni diharapkan pembicaraan dari yang lebih tua …al-hadits.[48]

Dan pula dikecualikan berdasarkan dengan perbuatan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dimana beliau tidaklah mengedepankan dirinya dihadapan yang lebih tua dari beliau.

Beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Kabarkan kepadaku suatu pohon , dimana perumpamaan pohon tersebut laksana seorang muslim yang selalu memberi makan kapan saja seizin Rabb0nya dan daun-daunnya tidak berguguran.

Maka terbersit didalam hatiku bahwa pohon tersebut juga adalah pohon korma. Namun saya tidak menyukai berbicara sementara ada Abu Bakar dan Umar. Namun tatkala keduanya tidak memberi tanggapan bicara, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Pohon tersebut adalah pohon kurma.

Kemudian tatkala saya keluar bersama bapakku, saya berkata : Wahai ayah, sesungguhnya telah terbersit didalam hatiku bahwa ohon tersebut adalah pohon kurma.

Beliau – Umar – berkata: Lalu apakah yang menghalangi engkau sehingga tidak mengatakannya, seandainya engkau mengatakannya, maka engkau lebih saya sengangi dari pada ini dan ini.

Ibnu Umar mengatakan : Tiada yang menghalangiku, selain saya melihat anda dan abu Bakar tidak berbicara.”

Pada riwayat Muslim : “ Saya lalu berniat untuk mengatakannya, akan tetapi dikaum tersebut ada orang-orang yang dituakan, hingga saya segan untuk berbicara “.

Pada riwayat Ahmad : “ Lalu saya memperhatikan, ternyata saya adalah yang termuda dari kaum yang ada, maka sayapun terdiam “[49]

Saya katakan : Atsar-atsar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengedepankan yang lebih tua atsar-atsar yang populer, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan yang lebih tua ketika bersiwak, sebagaimana telah disebutkan didalam adab-adab bertamu.

8. Tidak memotong pembicaraan

Diantara adab berbicara, adalah tidak memotong pembicaraan orang lain. Dikarenakan mereka terkadang senang dalam melanjutkan perkataannya, apabila sebagian diantara mereka berbicara dan memotong perkataan pembicara, hal itu akan menjadikan pendengar sulit memahami dan menjadi marah kepada yang memotong pembicaraan mereka.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Ketika kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam suatu majlis, dan beliau lagi berbicara kepada suatu kaum, seorang Arab badui datang dan bertanya : Kapankah daangnya hari kiamat.

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya. Sebagian kaumm tersebut mengatakan: beliau mendengar ucpan orang itu namun tidak menyukainya. Sebagian lainnya mengatakan : Bahkan beliau tidaklah mendengarnya. Hingga beliau menyelesaikan pembicaraannya,beliau berkata : Dimanakan yang menanyakan waktu terjadinya hari kiamat ?

Orang tersebut mengatakan : Saya berada disini wahai Rasulullah .

Beliau bersabda : “ Apabila amanah telah diabaikan, maka nantikanlah datangnya hari kiamat “

Orang itu bertanya : Bagaimanakah amanah diabaikan ?

Beliau bersabda: “ Apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka nantikanlah datangnya hari kiamat “[50]

Yang menjadi acuan pada hdits diatas adalah sabda beliau: “ Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya “, yakni beliau tidak memutuskan pembicaraan beliau. Hal itu dikarenakan yang berhak adalah yang membuka majlis bukan sipenanya ini. Maka sepantasnyalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memotong pembicaraan beliau hingga menyelesiakannya.

Namun dikecualikan juga dengan perkataan penerjemah Al-Qur`an, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan kepada ‘Ikrimah : “ Berbicaralah kepada kaum muslimin pada setiap jum’at sekali. Apabila anda mengabaikannya maka jadikanlah dua kali, dan apabila mesti diperbanyak maka tiga kali. Dan janganlah engkau menjadikan kaum muslimin menjadi bosa dengan Al-Qur`an ini. Dan janganlah engkau menjumpai suatu kaum yang tengah memperbincangkan sesuatu kemudian engkau menceritakannya kepada mereka hingga memotong percakapan mereka dan menjadikan mereka bosan. Akan tetapi diamlah engkau, apabila mereka memintamu untuk menceritakan kepaa mereka maka beritahukanlah kepada mereka, disaat mereka berkemauan untuk mendengarnya …al-hadits[51]

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma telah menerangkan bahwa sebab dari larangan memotong pembicaraan, karena hal tersebut akan menyebabkan kejenuhan dan kebisanan pada diri mereka. Kemudian beliau mengarahkannya untuk duduk mendengarkan dengan baik. Apabila mereka meminta anda untuk menceritakan – yakni hadits dan selainnya, penj- maka beritahukanlah kepada mereka, karena hal tersebut akan lebih menjadikan penyampaian anda diterima.

9. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.

Tergesa-gesa dalam bebricara akan menjadi sebab utama tidak terpahaminya suatu penyampaian dengan baik oleh pendengar. Olehnya itu perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tergesa-gesa yang akan menjadikan setiap yang duduk menyimaknya akan memahami yang beliau katakan.

Pada sebuah hadits, dari Aisyah – ummul mukminin radhiallahu ‘anha – berkata : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menyampaikan suatu hadits, jikalau ada yang berkehendak untuk menghitungnya niscaya dia akan dapat menghitungnya “. Pada riwayat Muslim : “ Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan suatu hadits dengan cepat sebagaimana kalian menyampaikannya dengan cepat “

Pada riwayat Ahmad : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan cepat sebgaimana kalian berbicara dengan cepat. Beliau berbicara dengan tanda pemisah yan akan dapat dihafalkan oleh yang mendengarnya “[52]

Perkataan Aisyah : “ Bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan hadits dengan cepat sebagaimana kaliam menyampakannya dengan cepat “. An-Nawawi mengatakan : “ Memperbanyak dan saling menyambungnya “[53]

Ibnu Hajar mengatakan : “ Maksudnya bahwa menyembung penyampaian suatu hadits dengan tergesa-gesa , sebagiannya disampaikan setelah sebagian lainnya agar yang mendengarkannya tidak tersamar “[54]

10. Merendahkan suara disaat berbicara

Allah ta’ala berfirman:

“ Dan pelankanlah suaramu, karena sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai “ ( QS. Lukman : 19 )

Firman Allah ta’ala : “ Dan pelankanlah suaramu “, suatu adab bersama kaum manusia dan juga kepada Allah.

“ Dan sesungguhnya seburuk-buruk suara “ yakni yang paling jelek dan paling hina , “ adalah suara keledai “.

Seandainya mengeraskan suara mengandung suatu faedah dan mashlahat, tidaklah menjadi ciri khusus keledai yang anda telah ketahui kehinaan dan kebodohannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sa’di[55].

Tidak disangsikan lagi jikalau mengeraskan suara kepada dorang lain merupakan adab yang buruk, dan menunjukkan ketidak hormatan kepada orang lain.

Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Barang siapa yangmengangkat suaranya kepada orang lain, setiap yang berakal sehat akanmengetahui bahwa dia memiliki sikap kurang hormat kepada orang lain … Ibnu Zaid emngatakan : seandainya mengangkat suara suatu yang baik tidaklah Allah menjadikannya bagi seekor keledai[56].


[1] HR. Muslim ( 5 ) didalam Al-Muqaddimah, dan lafazh diatas adalah lafazh beliau dan Abu Daud ( 4992 )

[2] QS. At-Taubah : 119

[3] HR. Al-Bukhari ( 6094 ) dan lafazh diatas adalah lafazh Al-Bukhari, Muslim ( 2607 ), Ahmad ( 3631 ), at-Tirmidzi ( 1971 ) Abu Daud ( 4989 ), Ibnu Majah ( 46 )dan Ad-Darimi ( 2715 )

[4] Fathul Bari ( 10 / 524 )

[5] HR. Al-Bukhari ( 6095 ), Muslim ( 59 ), Ahmad ( 8470 ), At-Tirmidzi ( 2631 ) dan An-Nasaa`I ( 5021 )

[6] HR. Al-Bukhari ( 1386 ) dan Ahmad ( 19652 )

[7] Beberapa kutipan dari Al-Fatawa ( 13 / 371 – 374 )

[8] HR. Al-Bukhari ( 106 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, ( Muslim ( 1 ), ahmad ( 630 ), At-Tirmidzi ( 2660 ) dan Ibnu Majah ( 31 )

[9] Hr. Al-Bukhari ( 6659 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 138 ),ahmad ( 3566 ),At-Tirmidzi ( 1269 ), Abu Daud ( 3243 ) dan Ibnu Majah ( 2323 ).

[10] Diaktakan sebagai al-ghamuuus, karena sumpah yang dusta akan menjerumuskan pelakunya kepada dosa dan api neraka. ( Al-Fath 11 / 564 )

[11] HR. Al-Bukhari ( 6675 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,Ahmad ( 6845 ), At-Tirmidzi ( 3021 ), An-Nasaa`I ( 4011 ) dan Ad-Darimi ( 2360 )

[12] Ibnu Hajar mengatakan : Hadist diatas diriwayatkan oleh Abi bin Iyas didalam Musnad Syu’bah dan Isma’il Al-Qadhi didalam Al-Ahkam dari hadits Ibnu Mas’ud ( Fathul Bari 11 / 566 )

[13] HR. Al-Bukhari ( 2692 )

[14] HR. Abu Daud ( 4921 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. Al-Albani menshahihkannya. Dan asal hadits ini terdapat didalam Ash-Shahihain. Al-Bukhari meriwayatkannya ( 2692 ) dengan lafazh : “ Bukanlah dikatakan seorang pendusta yang bertujuan mendamaikan antara kaum manusia, maka dia akan menghasilkan kebaikan ataukah mengatakan suatu kebaikan “. Dan Muslim ( 2605 ) dengan kedua lafazh tersebut semuanya. Akan tetapi beliau menambahkan tambahan dari eprkataan Az-Zuhri : “ Ibnu Syihab mengatakan : Dan saya tidak mendengarkan sedikitpun juga dari beliau, bahwa beliau membolehkan sedikitpun dari perkataan manusia yang berupa kedustaan … “.

Dan Ibnu Hajar berpendapat seperti itu, dan mengatakan bahwa lafazh tambahan tersebut adalah lafazh yang mudraj ( lihat Al-Fath 5 / 353 )

Al-Albani mengkritik hal itu didalam Ash-Shahihah ( 545 ) dan beliau menerangkan bahwa lafazh tmabahan tersebut diriwayatkan secara marfu’ dan shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Silahkan anda melihatnya kembali jika berkenan. Dan diantara yang juga meriwayatkan hadits ini adalah Ahmad ( 26731 ) dan At-Tirmidzi ( 1938 )

[15] Yakni menampakkan sesuatu yang menyalahi maksud yang sebenarnya, penj

[16] Yakni sindiran dengan perkataan, penj

[17] Lihat Muslim bi-syarh An-Nawawi jilid 8 ( 16 / 135 ), Fathul Bari ( 5 / 353 ) dan Syrh Riyadh Ash-Shalihih karya Ibnu ‘Utsiamin ( 1 / 272 )

[18] HR. Al-Bukhari ( 3031 ), dan beliau menjadikannya pada bab yang beliau beri judul: Bab. Al-Kadzib fi Al-Harb, dan Muslim ( 1801 ) dan lafazh diatas adalah lafaz beliau, dan Abu Daud ( 2768 )

[19] Fathul Bari ( 1 / 184 )

[20] Al-Albani mengatakan didalam Ash-Shahihah : Diriwayatkan oleh Al-Humaidi didalam Musnadnya ( no. 329 ). As-Silsilah ( 1 / 817 ) no. ( 498 ). Dan hadits seperti yang anda lihat adalah hadits yang mursal. Akan tetapi silahkan lihat didalam As-Silsilah pada tempat yang

[21] Syarh Shahih Muslm jilid 8 ( 16 / 135 )

[22] As-Silsilah Ash-Shahihah ( 1 / 818 )

[23] Didalam Al-Lisan : Seseorang berlaku fahisy, apabila dia mengatakan perkatan yang fahisy / keji. Seperti dikatakan: Seseorang telah mengatakan perkataan yang keji, dia seorang yang berkata keji, ucapannya keji … Dan al-faahisy adalah seroang yang berkata keji dan kotor demikian juga perbuatannya. Dan al-mutafahhisy adalah seseorang yang berlebihan dalam mencaci orang dan bersengaja melakukannya. ( 6 / 325 – 326 ) bahasan : فحش

[24] Didalam Al-Lisan: Dan pada sebuah hadits: Tidaklah seorang mukmin seorang yang senang menghujat. Yakni sering melanggar kehormatan orang lain dengan mencela, ghibah dan semisalnya. Dan kaliamt tersebut berasal dari kalimat : tha’ana ( menghujat ) dengan wazan/timbangan : Fa’aalun.. Dan dari sinilah perkataan yang menghujat, dapat dengan harakat al-fathah dan adh-dhammah, apabila orang tersebut mencelanya. Diantaranya juga mencela nasab. ( 12 / 266 ) bahasan: طعن

[25] HR. Ahmad ( 3938 ), al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 312 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. Al-Albani menshahihkannya, dan At-Tirmidzi ( 1977 )

[26] HR. Al-Bukhari ( 3559 ), Muslim ( 2321 ), Ahmad ( 6468 ) dan At-Tirmidzi ( 1975 )

[27] Lihat : Lisan Al-‘Arab ( 6 / 325 )

[28] Adz-Dzaamu : aib/celaan ( lihat Lisan Al-‘Arab ( 12 / 219 ) bahasan: ذام

[29] HR. Al-Bukhari ( 6024 ), Muslim ( 2165 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 242330 ), At-Tirmidzi ( 2701 ) dan Ibnu Majah ( 3690 )

[30] HR. Muslim ( 2597 ), Ahmad ( 8242 ) dan Al-Bukhri didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 317 )

[31] HR. Muslim ( 2598 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 26981 ), Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 316 ) danAbu Daud ( 4907 )

[32] HR. At-Tirmidzi ( 1978 ), Abu Daud ( 4908 ) dan Al-Albani menshahihkannya.

[33] Penggalan hadits diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 6047 ), Muslim ( 110 ) dan Ahmad ( 15950 )

[34] Shahih Muslim bi-syarh An-Nawawi jilid 8 ( 16 / 127 )

[35] HR. Al-Bukhari ( 5973 ),Muslim ( 90 ), ahmad ( 6493 ), At-Tirmidzi ( 1902 ) dan Abu Daud ( 5141 )

[36] Lisan Al-‘Arab ( 15 / 278 ), bahasan: مرا

[37] Didalam Al-Lisan ( 7 / 152 ), bahasan ربض : Ibnu Khalwaih mengatakan : rubudh al-madinah, dengan harakat adh-dhammah pada huruf ar-raa` huruf al-baa, berarti pondasinya, dan dengan harakat al-fathah, berarti yang berada disekitarnya.

Dan pada hadits disebutkan: Saya adalah pemuka di rabadh al-jannah, yakni degan harakat fathah pada al-baa, maknanya yang disekitarnya diluar darinya. Penyerupaan dengan bangunan yang berada di sekitar kota dan berada dibawah benteng.

[38] HR. Abu Daud ( 4800 ).Al-Albani menghasankannya, lihat Ash-Shahihah ( 273 ). Dan dari hadits Anas bin Malik, diriwayatkan At-Tirmidzi ( 1993 ), Ibnu Majah ( 51 ), dengan mengganti lafazh hamparan surga dengan pertengahan surga.

[39] Tuhfah Al-Ahwadzi ( 6 / 109 )

[40] HR. Ahmad ( 7789 ), Abu Daud ( 4603 ). Ibnul Qayyim mengatakan : Hasan. Lihat ‘Aun Al-Ma’bud jilid 6 ( 12 / 230 ). Al-Albani mengatakan : Hasan shahih.

[41] HR. Al-BUkhari ( 5060 )Muslim ( 2667 ), Ahmad ( 18337 ), Ad-Darimi ( 3359 )

[42] Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 16 / 188 )

[43] Fathul Bari ( 8 / 721 )

[44] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman ( 5 / 24 ), surah Al-Kahfi : 22

[45] HR. Abu Daud ( 4990 ), al-albani menghasankannya, Ahmad ( 19519 ), At-Tirmidzi ( 2315 ), Ad-Darimi ( 2702 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah ( 4131 )

[46] HR. Abu Daud ( 4868 ), Al-Albani menghasankannya, Ahmad ( 14644 ) dan At-Tirmidzi ( 1959 )

[47] ‘Aun Al-Ma’bud jilid 7 ( 13148 )

[48] HR Al-Bukhari ( 6142 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1669 ), At-Tirmidzi ( 1422 ), An-Nasa’I ( 4713 ), Abu Daud ( 4521 ), Ibnu Majah ( 2677 ). Dan lafazh dari Ahmad ( 15664 ), Malik ( 1630 ), dan Ad-Darimi ( 2353 ).

[49] HR. Al-Bukhari ( 6044 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 2811 ), Ahmad ( 4585 ), At-Tirmidzi ( 2867 ) dan Ad-Darimi ( 282 )

[50] HR. Al-Bukhari ( 59 ) dan Ahmad ( 8512 )

[51] HR. Al-BUkhari ( 6327 )

[52] HR. Al-Bukhari ( 3568 ), Muslim ( 2493 ), Ahmad ( 25677 ), At-Tirmidzi ( 3639 ) dan Abu Daud ( 3654 )

[53] Syarh Muslim ilid 8 ( 16 / 45 )

[54] Fathul Bari ( 6 / 669 )

[55] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsiir Kalaam Al-Mannan ( 6 / 160 )

[56] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 2 / 26 )

Tinggalkan komentar