Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

KItab Al-Adab : Adab-Adab Makan dan Minum (3)

Posted by Abahnya Kautsar pada 25 Agustus 2008

Bab Adab-Adab Makan dan Minum

12. Disenangi memakan suatu makanan setelah tidak panas lagi.

Dari Asma` binti Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma, apabila beliau membuat tsariid – sejenis makanan – belaiu menutupnya dengan sesuatu hingga tidak mendidih, lalu beliau berkata : Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Sesungguhnya yang demikian itu lebih besar berkahnya “[1]

Abu Hurairah radhgiallahu ‘anhu berkata : “ Tidaklah menyantap makanan hingga panasnya hilang “[2]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyantap makanan disaat makanan itu sangat panas. Ibnul Qayyim[3]mengatakan : Dan makna yang paling tepat dengan kalimat berkah pada padist ini adalah yang dapat mengenyangkan dan selamat dari sakit yang timbul diakhirnya, dan menguatkan ketaatan kepada Allah dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi[4]

13. Larangan mencela makanan dan menghinanya

Disebutkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “ Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela makanan sekalipun juga. Apabila beliau menghendaki suatu makanan maka beliau akan memakannya dan apabila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya “[5]

Mencela makanan seperti dengan mengatakan : Terlalu asin, atau kurang asin, kecut, tipis, keras, kurang matang, dan lain sebagainya, sebagaimana diaktakan oleh An-Nawawi[6]

Dansebab larangan itu, dikarenakan makanan adalah ciptaan Allah yang tidak boleh dicela. Dan ada alasan lainnya yaitu bahwa mencela makanan akan menyakiti perasaan pembuat makanan hingga dia bersedih dan tersinggung, dikarenakan dialah yang mempersiapkan dan menyajikannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup pintu ini agar jangan rasa sedih mendapati pintu untuk masuk kedalam hati seorang muslim Dan Syariat Islam selalu datang dengan hal serupa ini.

Masalah : Apakah hadits ini bertentangan dengan keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dhabb – kadal gurun –[7]. Dan apakah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dhabb yakni : “ Saya merasa kasihan kepadanya ‘ dan dalam riwayat lainnya : “ Daging serupa ini saya tidak makan sama sekali “, tergolong mencela makanan ?

Jawab : Bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Dan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dhabb tidak tergolong mencela makanan. Melainkan pemberitahuan sebab mengapa beliau tidak memakannya. Yaitu bahwa beliau tidak menyukai makan jenis ini dan bukan kebiasaan beliau memakannya. An-Nawawi mengatakan : “ Adapun hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan dhabb bukan termasuk dalam kategori mencela makanan, melainkan merupakan pemberitahuan bahwa ini adalah makan yang spesifik yang beliau tidak menyukainya[8]

14. Hukum minum dan makan sambil berdiri

Para ulama berbeda persepsi tentang hukum mnum sambil berdiri. Dan perbedaan persepsi diantara mereka bermuara pada sejumlah hadits-hadits yang shahih yang secara zhahirnya bertentangan. Sebagian diantara hadits-hadits tersebut menerangkan larangan minum berdiri sedangkan sebagian lainnya adalah sebaliknya. Dan kami akan melampirkan sebagian diantaranya :

  1. Anas radhiallahu ‘anhu meriwayatkan , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri “. Dan pada riwayat lainnya : “ Melarang seseorang minum sambil berdiri “[9]
  2. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhialahu ‘anhu beliau berkata : “ Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari minum sambil berdiri “[10]
  3. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Dan janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian minm smabil berdiri, barang siapa yang lupa maka hendaknya dia memuntahkannya “[11]

Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri :

1. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Saya menuangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri “[12]

2. Dari An-Nazzal, beliau berkata : “ Ali radhiallahu ‘anhu datang menuju pintu Ar-Rahbah, lalu beliau minum sambil berdiri. Beliau berkata : Sesungguhnya beberapa orang tidak menyukai salah seorang diantara mereka minum sambil berdiri. Dan sesungguhnya saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya sebagaimana kalian telah melihatku melakukannya “ pada lafazh riwayat Ahmad : “ beliau berkata : Bagaimana pendapat kalian jika saya minum sambil berdiri, karena sesungguhnya saya telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri. Dan jika saya minum sambil duduk, sesungguhnya saya tleah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk “[13]

3. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : “ Kami dizaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan kami makan sambil berjalan “[14]

4. Atsar dari Aisyah, Sa’ad bin Abu Waqqash, bahwa mereka berdua membolehkan seseorang minum sambil berdiri. Ibnu Umar dan Ibnu Az-Zubair juga terlihat minum sambil berdiri[15].

Berdasarkan hadits-hdits ini yang secara kontekstual kontradiktif dengan selainnya, ulama berselisih dalam menerangkan hukumnya. Pendapat yang paling tepat menurutku adalah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah didalam Fatawa beliau, beliau emngatakan : “ Akan tetapi menyelaraskan hadits-haits tersebut dengan menyatakan adanya keringan disaat mempunyai udzur. Hadist-hadits larangan minum berdiri yang berada didalam As-Shahih seperti: “ Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri “, hadits yang diriwayatkan oleh Qatadh dari Anas : “ bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum smbil berdiri “. Qatadah berkata : Bagaimana dengan makan ? Beliau berkata : Hal itu lebih buruk dan jelek.

Sedangkan hadits-hadits yang memberi keringanan, semisal hadits yang diriwayatkan didalam Ash-Shahihain dari Ali dan Ibnu Abbas , beliau berkata ; “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri .“ Dan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ali : Bahwasanya Ali berada di tanah lapang yang berpasir dan dia minum dalam keadaan berdiri, kemudian beliau berkata : Sesungguhn ya manusia dimakruhkan minum sambil berdiri, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammelukukan seperti apa yang aku lakukan. Dan hadits Ali ini telah diriwayatkan padanya ada atsar bahwasanya Rasulullah melakukan hal itu saat minum air zam-zam, sebagaimana datang pada hadits Ibnu ‘Abbas, hal ini adalah ketika berhaji, dan orang-orang disana melaksanakan thawaf dan minum dari air zam-zam, mereka mengambil air serta meminta minum darinya, dan tidak ada tempat untuk duduk , bersamaan dengan ini beliau lakukan selang waktu sedikit sebelum beliau meninggal, jadilah hal ini dan yang semisalnya dikecualikan dari hal tersebut sebagai larangan. Dan hal ini datang dari perkara syariat : Bahwa larangan dari sesuatu diperbolehkan ketika ada hajat, bahkan dia lebih ditekankan hukum pembolehannya dari sekedar dibolehkan ketika ada hajat, bahkan pula perkara haram yang diharamkan dia dimakan dan diminum, seperti bangkai dan darah yang diperbolehkan dalam keadaan darurat.[16]

15. Tidak disenangi bernafas dalam bejana dan meniup padanya.

Termasuk adab-adab ketika minum adalah seorang yang minum sebaiknya tidak bernafas dalam bejana dan tidak pula meniupnya, padanya ada hadits-hadits yang shahih, diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Apabila salah seorag diantara kalian minum maka janganlah dia bernafas dalam bejana …Al-Hadist.[17]Dan diantaranya pula hadits Ibnu ‘Abbas : Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bernafas dalam bejana dan meniupnya.[18]Larangan bernafas dalam bejana ini adalah salah satu adab yang mana ditakuti akan mengotorinya dan menjadikan bau busuk serta terjatuhnya sesuatu dari mulut dan hidung padabejana dan sejenisnya, Hal ini adalah pendapat Imam An-Nawawi.[19]

Adapun meniup minuman, maka padanya akan diperoleh dari mulut yang meniup bau yang tidak sedap yang memuakkan karenanya. Terlebih lagi jika yang minum bergantian dan berbilang, maka nafas-nafas yang meminum akan mencampur-adukkannya, oleh karena itu Rasulullah menggabungkan antara larangan dari bernafas dalam bejana dan meniupnya, demikianlah pendapat Ibnu Al-Qayyim.[20]

16. Disenangi mengambil nafas sebanyak tiga kali ketika minum, dan bolehnya minum dengan sekali tegukan

Disebutkan didalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya mengambil nafas sebanyak tiga kali sewaktu minum, dan beliau bersabda :

“ Sesungguhnya hal ini akan lebih menghilangkan rasa dahaga, lebih menjaga dan lebih bermanfaat “ Anas berkata : Maka saya mengambil nafas tiga kali ketika minum “[21]

Yang dimaksud dengan mengambil nafas ketika minum sebanyak tiga kali adalah dengan menjauhkan bejana air dari mulut sipeminum, lalu dia mengambil nafas tiga kali, karena mengambil nafas dibejana suatu yang dilarang.

Dan diperbolehkan meminum dengan sekali tegukan dan bukan suatu yang makruh. Dan ini ditunjukkan pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengunjungi Marwan bin Al-Hakam, dan dia berkata kepadanya : “ Apakah anda telah mendengar jikalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menghembuskan nafas didalam bejana air ? Abu Sa’id berkata : Benar. Maka seseorang berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya dahafa saya tidak hilang hanya dengan sekali tegukan. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda : “ Jauhkanlah cerek air dari mulutmu kemudian ambillah nafas “. Orang itu berkata : Namun sesungguhnya saya melihat ada kotoran pada cerek tersebut . Beliau bersabda : “ Maka buanglah “[22]

Malik mengatakan : “ tidak mengapa seseorang minum hanya dengan sekali mengambil nafas. Dan saya berpendapat ini adalah rukhshah/keringanan dari penjelasan yang ada pada hadits : “ Sesungguhnya dahaga saya tidaklah hilang hanya dengan sekali mengambil nafas “[23]

Syaikhul Islam mengatakan : “ Hadits ini merupakan dalil – hadits diatas – bahwa sekiranya rasa dahaganya telah hilang hanya dengan sekali mengambil nafas dan tidak lagi butuh untuk mengambil nafas, maka hal tersebut diperbolehkan. Dan saya tidak mengetahuiada imam yang mewajibkan mengambil nafas tiga kali, dan mengharamkan minum hanya dengan sekali tegukan “[24]

17. Makruh minum dimulut bejana/cerek air

Tentang permasalahan ini ada beberapa hadits yang shahih. Dari abu Hurairah radhiallahu ‘anha beliau berkaa : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang minum dimulut al-qirbah – sejenis botol penyimpan air dari kulit – dan cerek, dan melarang tetangganya menancapkan kayu didindingnya “[25]

Dan dari Ibnu Abbas – radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang minum dimulut bejana “[26]

Pada kedua hadits tersebut berisikan larangan yang sangat jelas dari minum dimulut al-qirbah dan cerek. Dan yang semestinya adalah dengan menuangkan minuman tersebut ketempat air lalu minum darinya. Larangan ini oleh sebagian ulama memahaminya sebagai suatu larangan, dan sebagian lainnya menganggapnya hanya sebatas makruh, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diatara mereka menjadikan hadits-hadits larangan sebagai nasikhyang menghapuskan hukum – hadits-hadits yang membolehkan[27].

Para ulama menyebutkan beberapa kandungan hikmah yang menyebabkan larangan ini, dan kami akan menyebutkan sebagian diantaranya :

Seringnya nafas orang yang minum melalui mulut cerek akan menyebabkan bau busuk dan tidak sedap yang akan menjadikan perasan muak.

Dan juga terkadang didalam qirbah atau cerek ada serangga atau hewan atau kotoran atau selainnya yang tidak disadari oleh yang minum, lalu masuk kedalam kerongkongannya dan menimbulkan mudharat kepadanya.

Diantaranya terkadang air akan bercampur dengan liur yang minum yang menjadikan orang lain merasa jijik[28].

Terkadang liur dan nafas yang minum akan menyebabkan penyakit kepada orang lain, dimana meurut para pakar kedokteran bahwa bibit penyakit bisa saja berpindah melalui liur dan nafas.

Masalah : Telah shahih, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum dari mulut qirbah yang tergantung. Maka Bagaimanakah menyesuaikan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan pemboleha minum dimulut qirbah dengan larangan beliau dari ucapannya ?

Jawab : Ibnu Hajar mengatakan : “ Syaikh kami didalam Syarh At-Tirmidzi mengatakan : Sekiranya dibedakan apabila dalam keadaan yang ada udzur, seperti misalnya qirbah yang tergantung, dan seseorang yang butuh untuk minum tidak mendapatkan wadah dan tidak mampu untuk menjangkau dengan tangannya, maka pada keadaan tersebut tidaklah makruh, dan kepada keadaan itulah, hadits-hadits yang telah disebutkan diatas tersebut dipahami. Dan antara seseorang yang tidak mempunyai udzur, maka hadits-hadits larangan dipahami pada keadaan ini. “

Saya – yang berkata adalah Ibnu Hajar – “ Dan pendapat tersebut dikuatkan pula, bahwa hadits-hadits yang menunjukkan pembolehan semuanya menunjukkan bahwa qirbah tersebut dalam keadaan tergantung, dan minum dari qirbah yang tergantung lebih khusus daris ekedar minum dari qirbah. Dan tidak ada argumen dari hadits-hadits yang menunjukkan pembolehan secara mutlak, melainkan hanya pada keadaan ini saja. Dan memahami pembolehan tersebut pada keadaan darurat sebagai upaya menyelaraskan kedua hadits tersebut lebih utama dari pada menggiringnya sebagai nasikh , Wallahu a’lam[29]

18. Disenangi bagi seorang yang menuang minuman, sebagai orang terakhir yang minum

Dalil akan masalah itu adalah hadits Qatadah radhiallahu ‘anhu yang panjang : “ … Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuang minuman kepada wadah mereka hingga tidak ada lagi yang tersisa selain saya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berkata : Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuangkan kepadaku, dan berkata : Minumlah. Saya berkata : Saya tidak minum hingga anda minum wahai Rasulullah . Beliau bersabda :

“ Sesungguhnya yang menuangkan minum adalah yang palingterakhir minum”

Beliau berkata : Maka sayapun minum dan Rasulullah kemudian juga minum … al-hadits “[30]

Penunjukan pada hadits ini sangatlah jelas, bahwa yang bertanggung jawab menuangkan minum kepada suatu kaum , maka dia mendahulukan mereka dari dirinya sendiri, dan dia adalah orang yang paling akhir minum, untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

19. Disenangi berbicara ketika menghadapi makanan

Sebagai bentuk penyelisihan akan kebiasaan orang asing, dimana mereka tidak berbicara sama sekali ketika makan[31].

Ibnu Muflih mengatakan : “ Ishaq bin Rahawaih mengatakan , saya pernah sekali waktu makan malam bersama Abu Abdillah ( Ahmad bin Hanbal ) dan beberapa kerabat beliau. Dan kami tidak berbicara sedikitpun sementara beliau makan dan mengatakan : Alhamdulillah, bismillah, kemudian beliau mengatakan : Makan, memuja lebih baik dari pada makan smabil berdiam diri. Dan saya tidak menjumpai dari Imam Ahmad yang menyelisihi riwayat ini dengan penyelisihan yang jelas. Dan juga kami tidak menjumpai riwayat tersebut pada mayoritas perkataan para ulama Hanabilah. Zhahirnya Imam ahmad rahimahullah mengikuti atsar dalam perkataan beliau itu, karena diantara jalan dan kebiasaan beliau adalah memfokuskan pada ittiba’ atsar[32].

20. Disenangi makan berjam’ah

Diantara adab kenabian, adalah disukainya makan sabil berjama’ah – bersama-sama -, dan makan berjama’ah ini adalah sebab diliputinya makanan tersebut dengan berkah. Setiap kali jumlah yang makan bertambah maka berkahnya akan bertambah. Pada hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang “[33]

Ibnu Hajar mengatakan : “ Pad riwayat Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Umar, berisi tuntunan akan sebab dari hal itu, dimana pertamanya :

“ Makanlah kalian semua berjam’ah dan janganlah kalian bercerai berai, karena sesungguhnya makanan untuk seseorang akan mencukupi dua orang “ al-hadits.

Dapat diambil faedah dari hadist ini bahwa kecukupan adalah hasil yang muncul sebagai akibat makan berjama’ah. Dan jumlah yang makan ketika semakin banyak akan berkahnya semakin bertambah “[34]

Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata : Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan : Wahai rAsululah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Mungkin kalian makan sambil tercerai berai. Mereka mengatakan : Benar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Berkumpullah kalian pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah niscaya makan kalian akan diberkahi”[35]

21. Dibenci rakus dalam makan dan juga sedkit karena akan melemahkan tubuh

Rakus dalam mengambil makanan akan menyebabkan tubuh menjadi sakit, dan akan menyebabkannya tersebrang banyak penyakit, dan juga akan menyebabkan tubuh terasa penat dan malas, sehingga terasa berat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan. Dan juga akan mewariskan hati yang kera – semoga Allah melindungi kita dari hal itu -.

Dan sebaliknya, sedikit makan juga akan melemahkan tubuh dan akan melemahkannya dari ketaatan kepada Allah. Dan kami tidak menjumpai ada obat yang majur sebagaimana obat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seandainya kita meneladani beliau, tentula kita tidap perlu beroba tkedokter pada sebagian besar keberadaan kita.

Dari Miqdam bin Ma’diy karib, beliau merkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ tidaklah seorang anak Adam memenuhi penampang kejelekan selain perutnya. Cukuplah makanan bani Adam itu untuk menegakkan tulang belakangnya, jikalau memang harus, maka sepertiga untuk makananya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya “[36]

Dan para Ulama As-Salaf pada persoalan ini ada beberapa anggapan, yang bagus untuk kita ketahui. Ibnu Muflih mengatkan : ibnu Abdil Barr dan yang lainnya menyebutkan bahwa Umar bin Al-Khaththab suatu hari khutbah, dan mengatakan: “ Hati-hatilah kalian dengan – pemenuhan – perut kalian, karena akan menjadikan malas menuju shalat, dan menjadi penyakit bagi tubuh. Dan wajib bagi kalian untuk berlaku pertengahan dalam makanan kalian, karena sesungguhnya hal tersebut akan menjauhkan kalian dari kufur nikmat dan akan enyehatkan bagi badan dan akan menguatkan kalian untuk beribadah. Dan sesungguhnya seseorang tidak akan celaka hingga syahwatnya mempengaruhi agamanya “.

Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan : “ lambung adalah telag abagi tubuh, dan setiap usus bermuara kepadanya dan darinya. Apabila lambung itu sehat, maka usus yang bermuara darinya akan sehat. Dan apabila lambung sakit maka usus yang bermuara darinya akan sakit “.

Al-Fadhl bin ‘Iyadh mengatakan : “ Ada dua hal yang akan mengeraskan hati : Banyak berbicara dan banyak makan “.

Al-Khallal meriwayatkan didalam Jami’ beliau dari Ahmad, bahwa beliau berkata : “Ada yang bertanya kepada beliau : Mereka inilah orang-orang yang makan sedikit dan sedikit menghidangkan makanan ? Beliau mengatakan : Tidaklah mengherankan aku ! Saya telah mendengar Abdurrahman bin Mahdi mengatakan : Suatu kaum melakukan hal demikian, maka menjadikan mereka terputus dari ibadah yang wajib “[37]

22. Dilarang duduk dimeja yang dihidangkan khamar

Berkaitan dengan hal tersebut diriwayatkan dari hadits Uma rbin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hidangan makanan. Duduk dimeja yang ada khamar diminum, dan seseorang yang makan sambil telungkup diatas perutnya “[38]

Dan pada riwayat Ahmad[39] dengan lafazh : “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir , maka janganlah dia duduk di meja yang terhidang khamar diatasnya … al-hadits “

Dan hadits tersebut dengan sangat jelas menerangkan larangan, dan sebabdari larangan itu, bahwa duduk dengan adanya kemungkaran itu menyiratkan keridhaan dan pembenaran terhadapnya[40]

Terjemahan dari kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.


[1] HR. Ad-Darimi ( 2047 ), al-Albani memasukkan hadits ini didalam Silsilah Ash-Shahihah no. ( 392 ) dan Ahmad ( 26418 ).

[2] Al-Albani mengatakan didalam Irwa’ Al-Ghalil ( 1978 ) : Shahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi ( 7 / 2580 )

[3] Zaad Al-Ma’ad ( 4 / 233 ).

[4] Syarh Muslim jilid 7 ( 13 / 172 )

[5] HR. Al-Bukhari ( 5409 ) , Muslim ( 2064 ), ahmad ( 9882 ), At-Tirmidzi ( 2031 ), Abu Daud ( 3763 ), Ibnu Majah ( 3259 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah ( 2843 ).

[6] Syarh Muslim jilid 7 ( 13 / 22 )

[7] HR. Al-Bukhari ( 5537 ), Muslim ( 1946 ), Ahmad ( 6678 ), An-Nasa`I ( 4316 ), Abu Daud ( 3794 ), Ibnu Majah ( 3241 ) , Malik ( 1805 ) dan Ad-Darimi (2087 ).

[8] Syarh Muslim jilid 7( 14 / 22 )

[9] HR. Muslim ( 2024 ), Ahmad ( 11770 ), At-Tirmidzi ( 1879 ), Abu Daud ( 3717 ), Ibnu Majah ( 3424) dan Ad-Darimi ( 2127 ).

[10] HR. Muslim ( 2025 ),ahmad ( 10885 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah ( 3045 )

[11] HR. Muslim ( 2026 ), Ahmad ( 8135 ), tanpa sabda beliau : “ hendaknya dia memuntahkannya “.

[12] HR. Al-bukhari ( 1637 ), Muslim ( 2027 ), Ahmad ( 1841 ), At-Tirmidzi ( 1882 ), An-Nasa`I ( 2964 ) dan Ibnu Majah ( 322 ).

[13] HR. Al-Bukhari ( 5615 ), Ahmad ( 797 (, An-Nasa`i ( 130 ) dan Abu Daud ( 3718 )

[14] HR. Ahmad ( 4587 ), Ibnu Majah ( 3301 ), Al-Albani menshahihkannya ( 3364 ), Ad-Darimi ( 2125 )

[15] Al-Muwaththa’ ( 1720, 1721, 1722 )

[16] Al-Fatawa ( 32/209-210)

[17] HR. Al-Bukhari ( 5630 ), Muslim ( 267 ), Ahmad ( 22059 ), At-Tirmidzi ( 1889 ), An-Nasa`i (47), dan Abu Daud ( 31 ).

[18] HR. At-Tirmidzi ( 1888 ), dan beliau berkata : Hadits hasan shahih,Dan HR. Abu Daud ( 3728 ), dan syaikh Al-Albani menshahihkannya, HR. Ibnu Majah ( 3429 ) tanpa penyebutan at-tanaffus.

[19] Syarh Shahih Muslim jilid kedua ( 3/130)

[20] Zaadu Al-Ma’aad ( 4/235).

[21] HR. Al-Bukhari ( 45631 ), Muslim ( 2028 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat Muslim , Ahmad ( 11776 ), At-Tirmidzi ( 1884 ), Ibnu Majah ( 3416 ), dan Ad-Darimi ( 2120 ), Ibnu Majah dan At-Tirmidzi tidak menyebutkan potongan kedua yang ada pada hadits tersebut.

[22] HR. At-Tirmidzi ( 1887 ), danbeliau berkata : hadits ini hadits hasan shahih , ahmad ( 10819 ), Malik ( 1718 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat Malik, dan Ad-Darimi ( 2121 ).

[23] At-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr ( 1 / 392 )

[24] Al-Fatawa ( 32 / 209 )

[25] HR. Al-Bukhari ( 5627 ), Ahmad ( 7113 ) tanpa penggalan kedua hadits diatas. Dan Ahmad meriwayatkan penggalan kedua hadits diatas pada riwayat lainnya. Juga diriwayatkan oleh Muslim ( 1609 ), At-Tirmidzi ( 1353 ), Abu Daud ( 3634 ), Ibnu Majah ( 2335 ), Malik ( 1462 ) dan kesemuanya menyebutkan penggalan kedua dari hadits diatas selain pengglan yang pertama.

[26] HR. Al-Bukhari ( 5629 ), ahmad ( 1990 ), At-Tirmidzi ( 1825 ), An-Nasa`I ( 4448 ), abu Daud ( 3719 ), ibnu Majah ( 3421 ) dan Ad-Darimi ( 2117 ).

[27] Lihat : Fathul Bari ( 10 / 94 )

[28] Lihat : Zaad Al-Ma’ad ( 4 / 233 ), Fathul Bari ( 10 / 94 ) dan Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 3 / 166 )

[29] Fathul Bari ( 10 / 94 )

[30] HR. Muslim ( 681 ), Ahmad ( 22040 ), At-Tirmidzi ( 1894 ), Ibnu Majah ( 3434 ), Ad-Darimi ( 2135 ), sebagianya meriwayatkan secara panjang dan sebagian hanya meringkas pada lafazh syahid saja. Dan sebagian lagi meriwayatkannya dengan kedua lafazh tersebut

[31] Lihat : Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali ( 2 / 11 ), Daar Al-Hadist cet. 1 1412 H

[32] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 3 / 163 )

[33] HR. Msulim ) 2059 ), Ahmad ( 13810 )At-Tirmidzi ( 1820 ), Ibnu Majah ( 3254 ) dan Ad-Darimi ( 2044 ).

[34] Fathul Bari ( 9 / 446 )

[35] Hr. Abu Daud ( 3764 ) Al-Albani menshahihkannya, ( Ahmad ( 15648 ) dan Ibnu Majah ( 3286 )

[36] HR. At-Tirmidzi ( 2380 ), dan beliau mengatakan : Hadits ini hasan shahih, Ahmad ( 16735 ), Ibnu Majah ( 3349 ) dan Al-Albani menshahihkannya ( 2720 ).

[37] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 3 / 183, 184 dan 185 ) dengan beberapa pendahuluan dan pengakhiran.

[38] HR. Abu Daud ( 3774 ) dan Al-Albani menshahihkannya, Ibnu Majah ( 3370 ) tanpa menyebutkan penggalan yang pertama dari hadits diatas.

[39] Dari jalan yang lainnya ( 14241 ), dan riwayat ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ( 2801 ) dan Ad-Darimi ( 2092 )

[40] Lihat : ‘Aun Al-Ma’bud jilid 5 ( 10 / 178 )

Tinggalkan komentar