Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Perbedaan Pendapat dalam Ahkamul Fiqhiyah

Posted by Abahnya Kautsar pada 29 Agustus 2008

Pasal

Perbedaan Pendapat dalam Ahkamul Fiqhiyah

Masalah-masalah fiqhiyah, seringkali oleh sebagian ulama dinamakan sebagai Masalah Furu’iyah, dan bukanlah tempatnya disini untuk mempersoalkan boleh tidaknya penamaan ini.

Dan sebagian ulama juga membuka pintu lebar-lebar dalam masalah-masalah fiqhiyah ini, yang mana diberikan kelonggaran adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah tersebut yang tidak diberikan keluasan dalam permasalahan Aqidah. Sesungguhnya ini adalah peletakan hukum yang tidak diiringi dengan satu dalil pun, dikarenakan kesemuanya adalah syari’at yang berasal dari Allah, bahkan masalah-masalah fiqhiyah punya kaitan erat dengan permasalahan Aqidah dari satu sisi, dimana mestilah bagi kita untuk meyakini setiap hukum-hukum Allah, setiap yang Allah – subhanahu wata’ala – tetapkan hukumnya, baik itu yang halal ataukah yang haram, dan berlapang dada pada hukum Allah ini, tunduk dan menerimanya, khudhu’ dan berserah diri kepada-Nya.

Dan juga masalah halal dan haram adalah masalah yang diperlukan oleh segenap kaum manusia, tiap harinya, pada tiap waktu, bahkan dengan halal dan haram inilah diperbolehkan kehormatan seseorang , dan diharamkannya sebagian wanita dan …

Oleh karena itulah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hukum halal dan haram : ” Adalah ilmu yang menjadi tiang penegak Agama Islam, yang selalu dibutuhkan baik kalangan tertentu ataukah khalayak ramai ” [1]

Berkata Asy Syathibi : ” Maka hal yang telah baku, bahwa dalam Ushul Syari’at tidaklah dijumpai adanya perselisihan, dan syari’at itu sendiri pada dasarnya tidak diadakan untuk memunculkan perselisihan, yang ini merupakan tujuan dari Allah sebagai peletak syari’at. Akan tetapi perselisihan itu kembali pada nalar masing-masing mukallaf, dan kepada ujian yang dibebankan kepada mereka. Maka dengan demikian suatu yang tepat, bahwa segala bentuk perselisihan dalam syari’at Allah mesti tertolak , dan mesti adanya celaan terhadap perselisihan itu secara luas dan menyeluruh baik itu dalam Ushul syari’at maupun dalam furu’ syari’at. Jika seandainya dibenarkan adanya salah satu furu’ syara’ yang ditegakkan dengan tujuan memunculkan perselisihan, maka akan membenarkan keberadaan perselisihan secara lebih luas, dikarenakan jika dibenarkan adanya suatu perselishan artinya dibenarkan pula munculnya setiap perselisihan ! Dan ini suatu kebatilan yang teramat jelas, dan juga semua yang mengantarkan kepada perselisihan serupa dengan hal ini. ” [2]

Berkata Ibnul Qoyyim : ” Dan adalah suatu telah maklum diketahui dan hal yang pasti berdasarkan nash-nash syara’ dan ijma’ para shahabat dan tabi’in – dan ini pula yang telah ditunjukkan oleh nash para Imam – bahwa para mujtahidin yang berbeda pendapat dalam hukum-hukum syar’iyah tidaklah semuanya sama, namun ada diantara mereka yang benar dan ada pula yang keliru.

Maka perbincangan pada persoalan yang mereka namakan sebagai ushuluddin dan masalah furu’ terbagi menjadi dua, yang sesuai dengan kebenaran pada hakikatnya dan yang tidak sesuai dengan kebenaran. Dan yang mengatakan pada suatu persoalan : halal, dan yang mengatakan : haram, dalam meninjau salah seorang dari keduanya yang benar dan yang lainnya salah, sama dalam menilai seseorang yang berpendapat bahwa Allah subhanahu dapat dilihat –diakhirat, pen – sedangkan lainnya berpendapat tidak dapat dilihat, salah seorang yang benar dalam pendapatnya sedangkan lainnya keliru. Dan kedustaan atas nama Allah –ta’ala – tidak sengaja ataukah sengaja pada orang ini sama dengan kedustaan kepada-Nya sengaja ataukah tidak pada yang orang lainnya, dimana yang berbicara dan mengabarkan bahwa Allah ta’ala memerintahkan demikian dan membolehkan yang ini, sedangkan lainnya mengabarkan bahwa Allah melarang dan mengharamkannya, tentunya salah satu dari keduanya ada yang keliru ” [3]

Berkata Asy Syaukani –rahimahullah – : ” Dan ada yang beranggapan bahwa larangan berpecah belah dan berselisih hanya khusus pada masalah-masalah Ushuliyah, adapun masalah-masalah furu’iyah ijtihadiyah, maka berselisih diperbolehkan dalam masalah-maslaah itu, dan para shahabat – dan generasi setelah mereka dari para tabi’in dan tabi’ tabi’in – didapati berselisih pada hukum-hukum kontemporer pada masa mereka.

Namun anggapan ini perlu dipertimbangkan lagi, dikarenakan selalu ada ditiap-tiap zaman tersebut mereka yang mengingkari adanya perselisihan, dan pula pembatasan sebagian masalah-masalah agama yang dianggap boleh diperselisihkan sedangkan lainnya tidaklah tepat, dimana semua masalah syar’iyah sederajat kedudukannya bahwa kesemuanya dinasabkan kepada syara’ ” [4]

Judul Asli : Zajr Al Mutahawin Bidhorurah Qaidah Al Ma’dzarah wat Ta’awun

Penulis : Hamd bin Ibrahim Al ‘Utsman

Muroja’ah : Al ‘Allamah Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan

Rekomendasi : Al ‘Allamah Asy Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad

Penerbit : Maktabah Al Ghuraba’ Al Atsariyah

Cetakan Pertama 1419 H / 1999 M

Penerjemah : Abu Zakariya Al Atsary


[1] Majmu’ Fatawa 4 / 409

[2] Al Muwafaqaat 4 / 131

[3] Ash Shawaiq Al Mursalah 2 / 564

[4] Fathul Qadir 1 / 370

Tinggalkan komentar