Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab Al-Adab : Adab Berpakaian Dan Berhias (3)

Posted by Abahnya Kautsar pada 4 September 2008

BAB ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS

  1. Sunnahnya Memakai Pakaian Putih :

Masalah ini dit rangkan didalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Pakailah oleh kalian pakaian kalian yang putih karena pakian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah kalian…al-hadits”[1].

Dan dari jalan Samrah bin Jundab radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pakailah dari pakaian kalian yang putih karena pakaian putih itu lebih suci dan lebih baik, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah kalian”[2].

Dan yang berlawanan dengan putih Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian mu’ashfar – pakaian yang diberi pewarna kuning – dan pakaian yang dicelup dengan warna merah[3].

Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat saya mengenakan dua pakaian yang mu’ashfar maka beliau berkata : sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian orang kafir maka janganlah kamu memakainya” dan di dalam lafazh yang lain : Beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat saya mengenakan dua pakaian yang mu’ashfar. Maka beliau berkata : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai pakaian ini?”

Saya berkata : Saya akan mencuci keduanya. Beliau berkata : “Bahkan bakarlah keduanya”[4].

Perkataan beliau : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai baju ini?” maknanya bahwa pakaian ini termasuk pakaian wanita, seragam dan akhlak mereka, adapun perintah untuk membakar dikatakan bahwa hal itu adalah hukuman dan sikap keras dan teguran kepada Abdullah bin Amru bin Al-Ash dan juga kepada selainnya dari semisal perbuatan ini, sebagaimana An-Nawawi katakan[5].

Dan terkadang larangan memakai mu’ashfar dikarenakan adanya bentuk tasyabbuh (penyerupaan) kepada orang-orang kafir, dan hal ini lebih utama untuk dibawakan kepadanya dikarenakan hadits yang menerangkan tentang hal itu : “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir maka janganlah kamu memakainya”.

Masalah : Bagaimana menggabungkan antara larangan memakai pakaian yang dicelup dengan warna merah, dan dengan hadits yang shahih dalam riwayat Al-Bukhari dari hadits Al-Barra’ radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata : ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dengan menyilangkan kaki beliau, dan saya melihat beliau memakai kain Hullah yang berwarna merah dan saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih bagus dari pakaian tersebut”[6] .

Jawab : Bahwa larangan tersebut berlaku bagi pakaian yang murni berwarna merah, adapun apabila pada pakaian tersebut terdapat gambar dari warna-warna lain maka hal itu tidak mengapa. Ibnu Hajar mengemukakan di dalam Al-Fath tujuh pendapat tentang hukum memakai pakaian berwarna merah, kami menyebutkan pendapat yang kami anggap mendekati kebenaran di dalam masalah ini –dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat-.

Beliau berkata : “ Larangan dikhususkan pada pakaian yang dicelup seluruhnya, adapun yang ada padanya warna lainnya selain warna merah seperti putih, hitam dan selain keduanya maka tidak mengapa, maka berdasarkan pendapat ini, hadits-hadits yang menyebutkan kain hullah yang berwarna merah digiring kepada makna ini, karena kain hullah Yaman kebanyakannya memiliki garis-garis merah dan warna lainnya.

Ibnul Qayyim berkata : “ Sebagian ulama memakai pakaian yang dicelup warna merah dan menyangka bahwa hal itu mengikuti sunnah, ini adalah kekeliruan, karena kain hullah yang berwarna merah terbuat dari burdah Yaman dan kain burdah tidak dicelup dengan warna merah polos[7].

  1. Bolehnya Memakai Cincin Bagi Laki-laki :

Boleh bagi laki-laki untuk memakai cincin perak bukan cincin emas karena hal itu haram bagi mereka. Dan tempat cincin disunnahkan di jari kelingking berdasarkan hadits Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata : ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah cincin dan beliau berkata : sesungguhnya kami membuat sebuah cincin dan kami ukir padanya sebuah ukiran, hingga seseorang tidak lagi mengukir pada cincin tersebut”.

Anas berkata : Maka sungguh saya melihat kilauannya di jari kelingking beliau”[8].

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk, dari Ali radhiallahu ‘anhu dia berkata : ” Beliau melarang, yang beliau maksudkan adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk memakai cincin pada jari ini, atau yang ada setelahnya –Ashim[9] tidak mengetahui di jari mana keduanya- ….al-hadits”[10].

Berdasarkan ini maka disunnahkan bagi orang yang ingin memakai cincin agar meletakkannya di jari kelingkingnya, dan makruh baginya meletakkan cincin tersebut di jari tengah dan jari setelahnya dan bentuk kemakruhannya adalah makruh tanzih[11].

Dan adapun di tangan yang mana seseorang bisa memakai cincin maka ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh ulama. Karena adanya atsar bolehnya memakai pada jari ini dan jari itu.

An-Nawawi berkata : “Adapun hukum dalam masalah ini menurut para ulama maka mereka sepakat atas bolehnya memakai cincin di tangan kanan dan di tangan kiri dan tidak ada kemakruhan pada salah satu diantara keduanya. Dan mereka berselisih yang mana dari keduanya yang lebih utama. Mayoritas ulama salaf memakai cincin di tangan kanan, dan banyak pula yang memakainya di tangan kiri…[12].

Perkara ini adalah perkara yang lapang walillahil hamd.

  1. Sunnahnya Memakai Wangi-wangian :

Wangi-wangian termasuk perhiasan yang menentramkan jiwa, dan membangkitkan semangat, dan Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling wangi.

Anas radhiallahu ‘anhu berkata : “tidaklah saya menyentuh kain sutra dan kain ad-diibaaj yang lebih lembut dari pada telapak tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula saya pernah mencium bau wangi atau bau semerbak yang lebih wangi dari bau dan semerbak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan lafazh pada riwayat Ad-Darimi : “Dan tidak sekalipun saya pernah mencium bau wangi yang lebih wangi dari bau wangi misk beliau dan tidak pula bau wangi yang lainnya”[13].

Sunnah memakai wangi-wangian adalah perkara yang mubah bagi laki-laki dan perempuan di atas satu batasan, akan tetapi haram bagi mereka berdua dalam keadaan ihram ketika haji atau umrah berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, secara marfu’ –tentang sahabat yang ontanya menginjaknya- beliau bersabda : “Jangan kalian beri wangi-wangian padanya”[14].

Dan berdasarkan hadits Ibnu Umar –secara marfu’- radhiallahu ‘anhuma, tentang seorang laki-laki yang bertanya tentang pakaian yang dia pakai ketika muhrim, maka beliau berkata : “Janganlah kalian memakai satu pun dari pakaian terkena aroma wangi az-za’faran dan wangi al-wars mengenainya”[15].

Dan –juga-khusus bagi wanita larangan dari memakai wangi-wangian pada dua keadaan, keadaan pertama : dalam keadaan muhaddah (ditinggal mati) suami maka wanita terhalang dari memakai wangi-wangian selama empat bulan sepuluh hari berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah dan selainnya, bahwa dia berkata : “Kami dahulu dilarang membatasi waktu berkabung di atas tiga hari kecuali karena kematian suami selama empat bulan sepuluh hari, kami tidak boleh memakai celak, memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang dicelup kecuali pakaian ‘ashab- dari serat sejenis tumbuhan –, dan telah diberikan keringanan bagi kami ketika suci apabila salah seorang dari kami mandi dari masa haidnya pada perasan kisti azhfar, dan kami dilarang mengikuti jenazah”[16].

Dan keadaan lainnya : Apabila seorang wanita mendatangi sebuah tempat yang padanya laki-laki asing, walaupun hanya lewat di jalan mereka dan mereka mendapati wangi wanita tadi maka wanita tersebut masuk di dalam larangan –dan keadaan ini yang banyak diabaikan oleh kaum wanita dan mereka memudah-mudahkan hal ini. Sementara adanya keterangan yang sangat jelas di dalam sejumlah hadits dan adanya ancaman keras pada perkara tersebut[17].

Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Perempuan mana pun yang memakai wangi-wangian dan melewati satu kaum yang mendapati bau wangi wanita tersebut maka dia adalah wanita pezina”[18].

Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Seorang wanita menemuinya dan dia mendapati dari wanita tersebut bau minyak wangi yang tertiup angin dan pada ujung kainnya, maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Al-Jabbar apakah kamu datang dari masjid? Wanita itu berkata : Iya. Abu Hurairah berkata : Sesungguhnya saya mendengar kekasihku Abu Al-Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak diterima shalat seorang wanita yang memakai wangi-wangian untuk datang ke masjid ini sampai dia kembali dan mandi sebagaimana mandi janabah”[19].

  1. Sunnah Dalam Perkara Menyisir Dan Mencukur Rambut :

Disunnahkan bagi laki-laki untuk menghiasi, membersihkan dan memberi perhatian kepada rambutnya, dan dalil sunnah itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami untuk berziarah di rumah kami tiba-tiba beliau melihat laki-laki yang kusut rambutnya, maka beliau berkata : “Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menata rambut kepalanya “.

Dan beliau melihat laki-laki yang padanya pakaian yang kotor, maka beliau berkata : “Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dapat mencuci bajunya”[20].

Dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barang siapa memiliki rambut maka hendaknya dia muliakan rambutnya”[21].

Akan tetapi rambut tersembut tidaklah dihias-hiasi, dibersihkan, dimuliakan dengan cara berlebih-lebihan yang keluar dari batasan yang dibenarkan oleh nalar , sehingga lebih menyerupai wanita. Karena berlebih-lebihan di dalam menghiasi dan memperhatikan rambut merupakan kekhususan wanita.

Abdullah bin Mughaffal meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Melarang bersisir kecuali kadang-kadang saja”[22].

Dan dari Abu Humaid bin Abdurrahman dia berkata: saya pernah bertemu salah seorang yang menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Abu Hurairah menemani beliau selama empat tahun, sahabar tersebut berkata : ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang salah seorang dari kami untuk menyisir setiap hari”[23].

Adapun mencukur rambut : Ketahuilah yang pertama bahwa yang paling utama membiarkan rambut dalam keadaan terlepas sampai kedua daun telinga sebagaimana itu adalah rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu berkata : ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seseorang yang berpundak bidang, yang jarak antara pundak beliau jauh, dan rambut beliau yang mencapai daun telinga beliau….al-hadits”

Pada riwayat Muslim : “Rambut beliau sangat lebat jummahnya[24] sampai pada daun di telinga beliau”[25].

Dan mencukur rambut terkadang menjadi perkara yang wajib, atau haram, atau sunnah atau mubah.

Hukum wajib mencukur habis rambut : Apabila seseorang dalam haji dan umrah, dan orang yang melaksanakannya tidak dipendekkan rambutnya, atau tergolong penyerupaan kepada gaya rambut selain orang muslim….dan haram hukumnya mencukur rambut : Apabila tujuannya untuk beragama atau beribadah selain ibadah haji dan umrah sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian orang-orang sufi … Sunnah mencukur rambut : Apabila seorang kafir masuk islam –terlebih lagi apabila rambutnya tebal. Atau apabila telah berlalu tujuh hari umur bayi yang lahir. Disunnahkan bagi walinya untuk mencukur kepalanya dan bersedekah dengan timbangan rambut tersebut.

Atau apabila rambut telah sangat panjang yang mana telah melewati kadar rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam….dan disunnahkan mencukur rambut kepala –juga- apabila orang yang mencukur menutup kegantengan yang menjadi sumber fitnah sama saja apakah bagi laki-laki ataukah bagi perempuan…..Dan diperbolehkan mencukur rambut : Apabila seseorang tidak mampu memperhatikannya karena kesibukannya dengan urusan-urusan lainnya dan urusan-urusan tersebut lebih penting daripada mencukur rambut……(Al-Imam Ahmad berkata : “ Mencukur adalah Sunnah, kalau kami sanggup tentunya kami akan amalkan , akan tetapi mencukur memiliki tanggungan dan beban). Dan boleh mencukur rambut kepala untuk pengobatan[26].

Perhatian : Telah nampak ditengah-tengah pemuda cukuran rambut diatas keadaan yang syariat melarangnya, yaitu mencukur bagian kepala dan membiarkan yang lainnya, dan cukur itu dikenal di dalam sisi syar’i dan bahasa dengan cukur Al-Qaza’[27].

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “melarang dari perbuatan Al-Qaza’) dan dalam riwayat Muslim : ” Saya berkata kepada Nafi’ : Apakah Al-Qaza’ itu? Dia berkata : Mencukur sebagian kepala anak kecil dan membiarkan sebagian lainnya”[28].

Ibnul Qayyim berkata : “ Al-Qaza’ ada beberapa macam : salah satunya : mencukur satu bagian dari kepala dari sini dan sini. Diambil dari gumpalan awan, yaitu yang bergumpal-gumpal. Kedua : mencukur tengahnya dan membiarkan sisi-sisinya, sebagaimana penjaga geraja kaum nashara lakukan. Ketiga : mencukur sisi-sisinya dan membiarkan tengahnya. Sebagaimana kebanyakan dari rakyat jelata dan rendahan lakukan. Keempat : mencukur bagian depan kepala dan membiarkan bagian akhir, dan semua macam tadi masuk bagian dari Al-Qaza’ wallahu a’lam.[29].

Faedah : Disunnahkan bagi yang ingin mencukur rambutnya pertama-tama hendaknya memulai dari sisi kanan dari rambut kemudian yang kiri. Yang demikian itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Mina, kemudian mendatangi Al-Jumrah dan melontar Jumrah, kemudian mendatangi rumah beliau di Mina dan menyembelih kurban, kemudian berkata kepada tukang cukur; ambillah seraya menunjuk kepada sisi kanan kepala, kemudian sisi kiri, maka mulailah beliau memberikan pelajaran kepada manusia lainnya”[30]

  1. Sunnah Bagi Laki-laki Melebatkan Jenggot Dan Memotong Kumis :

Sunnah yang wajib bagi laki-laki adalah melebatkan jenggot dan membiarkannya tumbuh, dan memendekkan kumis dan mencukurnya.

Dan perkara ini bukan perkara yang lapang bagi kita sehingga kita bisa mengamalkannya sesuka kita dan meninggalkannya sesuka kita, bahkan perkara ini adalah perkara yang wajib bagi kita, maka wajib mengamalkan dan ta’at padanya.

Allah ta’ala berfirman :

“ Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan tidak juga wanita, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, bagi mereka memilih perkara lainnya bagi mereka. Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata “(Al-Ahzab : 36 ).

Yaitu tidak sepatutnya dan tidak pantas, bagi orang yang disifatkan dengan keimanan kecuali bersegera kepada keridhaan Allah dan Rasulnya, dan menjauhi dari kemurkaan Allah dan rasulnya, dan melaksanakan perintah keduanya, dan menjauhi larangan keduanya. Maka tidak layak bagi laki-laki dan perempuan yang beriman : Apabila Allah dan rasulnya menetapkan satu perkara” [Al-Ahzab : 36] dari perkara-perkara agama yang ada, dan mewajibkannya serta mengharuskannya :

adanya pilih memilik dari perkara tersebut” [Al-Ahzab : 36] : Yaitu : pilihan, apakah mereka laksanakan atau tidak? Bahkan seorang mukmin dan mukminah mengetahui bahwa Rasul lebih utama akan hal tersebut daripada dirinya, maka janganlah ia menjadikan sebagian hawa nafsunya menjadi penghalang dirinya dengan Allah dan Rasulnya, demikian dari perkataan Ibnu Sa’di[31].

Dan hadits-hadits tentang perintah memelihara jenggot dan memotong kumis dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak dan lafazh-lafazhnya bermacam-macam diantaranya : “Lebatkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis”[32].

Dan lafazh lainnya : “Habiskanlah kumis dan biarkanlah jenggot”[33].

Dan lafazh lainnya : “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan peliharalah jenggot”[34].

Dan diantaranya : “Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot. Dan selisihilah orang-orang Majusi”[35].

Perintah memelihara jenggot dan memotong kumis ada mengandung dua perkara : Yang pertama : Perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib yang tidak ada yang memalingkan dari kewajiban tersebut. Perintah yang tidak boleh seorang mukmin menyelisihinya bagaimanapun juga. Kedua : Perintah menyelisihi orang-orang musyrik, dan telah diketahui dari nash-nash syariat bahhwa meniriu-niru mereka adalah perkara yang haram. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim kembali dengan segera kepada perintah Allah dan Rasulnya dan tidak menyelisihi perintah mereka berdua sampai tidak terjadi fitnah atau mendapatkan adzab yang pedih. Allah ta’ala berfirman:

“ Dan hendaknya mereka yang menyelisihi perintah Rasul berhati-hati, akan tertimpa fitnah bagi mereka ataukah mereka akan ditimpakan adzab yang pedih “(An-Nuur : 63).

Sebagian ulama mengulas pembahaan tentang mengambil sebagian dari jenggot panjang dan lebarnya, berpegang dengan atsar para salaf yang mulia, akan tetapi lafazh-lafazh yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jelas dan cukup untuk masalah ini, dan hujjah ada pada perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pada perkataan atau perbuatan sahabat dan pengikut beliau.

Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sesuai keadaannya, dan agar tidak memendekkannya sesuai hukum asalnya, dan pendapat yang terpilih di dalam masalah kumis adalah tidak menghabiskannya dan menyisakan sedikit pada ujung bibir. Wallahu a’lam, Demikian dikutip dari perkataan An-Nawawi[36].

  1. Sunnah Merubah Warna Uban Dengan Selain Warna Hitam :

Disunnahkan bagi yang rambut kepala dan wajahnya telah beruban untuk merubah warnanya dengan mencat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak mencat rambut-rambut mereka maka selisihilah mereka”[37].

Akan tetapi hendaknya warna hitam dijauhi berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mencat dengan warna tersebut. Pada tahun Futuh Makkah ketika Abu Qahafah didatangkan kepada beliau dan kepala dan jenggotnya putih maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Rubahlah warna rambut ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam”[38].

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Jauhilah warna hitam” adalah nash yang pasti tentang pengharaman. Maka warna putih dirubah dengan warna apa saja selain warna hitam, dan larangan ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan dengan batasan yang sama.

Ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad : Apakah engkau membenci mencat rambut dengan warna hitam? Beliau berkata : “ Iya demi Allah; dikarenakan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ayah Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma “Jauhilah warna hitam”[39].

Faedah :

Wahai laki-laki yang ubannya dihitamkan

Supaya dianggap sebagai pemuda

Berhentilah walaupun setiap burung merpati putih dihitamkan

Tidaklah ia dianggap bagian dari burung gagak[40]

  1. Pembahasan Tentang Bercelak :

Bercelak bagi wanita adalah perhiasan, dan bagi laki-laki dan wanita adalah pengobatan yang bermanfaat. Dan orang-orang Arab dahulu menjadikannya sebagi pengobatan dari penyakit radang mata.

Di dalam hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha tentang wanita yang ditinggal mati suaminya mengeluhkan matanya, maka para sahabat menyampaikan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka pun menyebutkan tentang celak[41] yaitu sebagai pengobatan untuknya.

Dan di dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pakailah pakaian kalian yang putih karena hal itu sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah dengannya jenazah-jenazah kalian, dan sesungguhnya sebaik-baik celak kalian adalah Al-Itsmid[42], menerangkan penglihatan dan menumbuhkan rambut”[43]. Sunnah ketika memakainya dengan witir (ganjil), yaitu bercelak pada mata kanan tiga kali dan pada mata kiri tiga kali, atau pada mata kanan dua kali dan mata kiri satu kali maka semuanya menjadi ganjil atau kebalikannya atau lebih banyak lagi selama jumlahnya ganjil. Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang pertama[44].

Catatan : Tidak sepantasnya laki-laki menjadikan celak sebagai penghias, karena laki-laki itu adalah yang menuntut wanita berhias bukan yang dituntut berhias, bukan dari sifat kejantanan seorang laki-laki berhias sebagaimana wanita berhias, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi Al-itsmid karena padanya ada beberapa faedah beliau bersabda : “Pakailah Al-Itsmid karena dia dapat menumbuhkan rambut dan dapat menghilangkan kotoran mata dan menjernihkan pandangan”[45]. Adapun laki-laki menjadikannya untuk memperindah penampilan dan sebagai penghias kedua mata maka tidak boleh.

  1. Perhiasan Apa Saja Yang Haram Atas Wanita :

Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan bagi wanita untuk menjadikan beberapa perkara sebagai perhiasan/penghias seperti celak, wangi-wangian, daun pacar dan yang semisalnya dari perkara yang wanita itu berhias dengannya. Dan mengharamkan atas mereka beberapa perkara yang wanita jadikan sebagai penghias, dan dia pada hakikatnya tidak sampai merubah ciptaan Allah yang Allah ciptakan atasnya. Seperti Al-Wasyam (tato)[46], An-Namash[47], At-Tafalluj[48] untuk dilihat bagus, dan al-washal[49]. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Allah melaknat al-wasyimaat, al-muwasysyimaat, al-mutanammishaat, al-mutafallijaat agar terlihat bagus, yang merubah ciptaan Allah. Hal itu sampai kepada seorang perempuan dari bani Asad yang dipanggil dengan Ummu Ya’quub, dia pun datang dan berkata : “Sesungguhnya telah sampai kepada saya bahwa engkau melaknat ini dan itu.” Maka Abdullah bin Mas’ud berkata : “Mengapa saya tidak melaknat orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang yang ada di dalam kitab Allah.” Maka wanita itu berkata : “Sungguh saya telah membaca ayat-ayat yang ada di antara dua lembaran ini namun saya tidak mendapatkan padanya apa yang kamu katakan.” Abdullah bin Mas’ud berkata : “Apabila kamu membacanya niscaya kamu akan mendapatkannya, tidakkah kamu membaca “ Dan setiap yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kalian maka ambillah dan setiap yang beliau larang atas kalian maka kalian berhentilah “ ( Al-Hasyr : 7 ).

Wanita itu berkata : Benar. Abdullah bin Mas’ud berkata : sungguh beliau telah melarang hal itu.

Wanita itu berkata : Sungguh aku melihat sangat celaka apa yang mereka lakukan. Abdullah bin Mas’ud berkata : Pergilah dan lihatlah.

Wanita itu pergi dan melihat namun dia belum melihat suatu pun dari hajatnya. Abdullah berkata : Kalaulah dia itu demikian saya tidak menggaulinya” dan lafazh Muslim : “Allah melaknat Al-Wasyimah, Al-Mustausyimah, An-Namishaat, Al-Mutanammishaat, dan Al-Mutafallijaat agar terlihat bagus dengan merubah ciptaan Allah…al-hadits ”

Dan dalam riwayat Al-Bukhari dan selainnya dari Abdullah “Allah melaknat Al-Washilah[50].

Keterangan yang jelas pada hadits-hadits tadi di dalam masalah ini dan kerasnya ancaman hal tersebut, namun banyak dari wanita melakukan hal itu atau melakukan sebagiannya, dan tidaklah hal ini terjadi kecuali karena lemahnya iman, dan jikalau tidak maka manusia yang mana yang mau menghinakan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada kemurkaan Al-Jabbar (dzat yang maha perkasa)! Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepadamu keselamatan dan kesehatan di dalam agama dan dunia kami.

Catatan penting : Tidaklah laknat ini khusus untuk wanita, bahkan masuk padanya laki-laki apabila mereka menyambung rambut, mentato, menyambung rambut dan mengukir gigi untuk terlihat bagus! Atau mereka meminta kepada selain mereka untuk melakukan salah satu dari hal tersebut kepada mereka. Dan pengkhususan laknat bagi wanita hanya karena kebanyakan hal itu ada pada mereka wanita sebagaimana pada perkara meratap, wallahu a’lam.

Terjemahan dari kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.


[1] HR. Ahmad (2220) Abu Daud (3061) Al-Albani berkata : “shahih”, Ibnu Majah (1472) dan At-Tirmidzi (994).

[2] HR. Ahmad (19599) An-Nasaa’i (5322) Al-Albani menshahihkannya dengan no. (4915), dan Ibnu Majah (35 67).

[3] Al-Mu’ashfar : kain yang dicelup dengan celupan warna kuning. Dan Ibnu Hajar berkata : kebanyakan dicelup dengan ashfar menjadi merah. (lihat Fathul Bari 10/318).

[4] HR. Muslim (2077) dan lafazh hadits ini lafazh beliau, Ahmad (6477) dan An-Nasaa’i (5316).

[5] Syarhu Muslim jilid ketujuh (14/45).

[6] HR. Al-Bukhari (95901), Muslim (2337) Ahmad (1819) At-Tirmidzi (1724) An-Nasaa’i (5060) dan Abu Daud (4183).

[7] Fathul Bari (10/319). Saya katakan : dan berdasarkan pendapat ini maka (pakaian Asy-Syammagh merah) yang penduduk negeri Najed memakainya tidak termasuk di dalam larangan karena bukan merah yang dirubah.

[8] HR. Al-Bukhari (5874) dan lafazh hadits lafazh dari riwayat beliau, Muslim (2092) Ahmad (12309) At-Tirmidzi (2718) An-Nasaa’i (5201) dan Abu Daud (4214).

[9] Dia adalah Ashim bin Kulaib salah satu yang meriwayatkan hadits ini.

[10] HR. Muslim (2078) Abu Daud (4225) di dalam riwayat Abu Daud adanya penyebutan secara jelas tentang jari-jari yang perawi ragu padanya, dia berkata : (dan beliau melarang saya untuk meletakkan cincin di jari ini dan jari ini, telunjuk dan jari tengah –Ashim ragu- ..).

[11] Lihat Syarh Muslim karya An-Nawawi jilid 7 (14/59).

[12] Syarah Muslim karya An-Nawawi jilid ketujuh (14/59).

[13] HR. Al-Bukhari (3561) dan Ad-Darimi (61).

[14] HR. Al-Bukhari (1850) lafazh hadits dari lafazh beliau, Muslim (1206) Ahmad (1853) At-Tirmidzi (951) An-Nasaa’i (1904) Abu Daud (3238) Ibnu Majah (3084) dan Ad-Darimi (1852).

[15] HR. Al-Bukhari (5803) Muslim (1177) Ahmad (4468) At-Tirmidzi (833) An-Nasaa’i (2666) Abu Daud (1823) Ibnu Majah (2932) Malik (717) dan Ad-Darimi (1758).

[16] HR. Al-Bukhari (313) Muslim (938) Ahmad (20270) An-Nasaa’i (3534) Abu Daud (2302) Ibnu Majah (2087) dan Ad-Darimi (2286).

[17] Dan diantara perkara yang sebagian wanita meremehkannya –semoga Allah memberi hidayah kepada mereka- adalah mereka berkendaran bersama supir-supir- yang ajnabi (yang bukan mahram)- dan mereka dalam keadaan memakai wangi-wangian!, dan kami tidak tahu mereka anggap apa supir itu? Apakah dia itu perempuan yang boleh berdua-duaan dengannya dan boleh memakai wangi-wangian di sisinya, ataukah dia laki-laki –ajnabi (bukan mahram)- yang haram berada di sisinya sebagaimana haramnya berada di sisi laki-laki ajnabi lainnya?.

[18] HR. Ahmad (19248) An-Nasaa’i (5126) dan Al-Albani menghasankannya dengan no. (4737), Abu Daud (4173) At-Tirmidzi (2786) dan Ad-Darimi (2646).

[19] HR. Muslim (444) Abu Daud (4174) dan lafazh hadits ini lafazh beliau, Ahmad (7309) dan An-Nasaa’i (5128).

[20] HR. Ahmad (14436) An-Nasaa’i (5236) Abu Daud (4062) dan Ibnu Abdil Bar membawakan sanadnya di dalam At-Tamhid (5/51), dan Ibnu Hajar berkata tentang hadits tersebut : Abu Daud dan An-Nasaa’i mengeluarkannya dengan sanad hasan (Al-Fath 10/379-380). Dan Al-Albani menshahihkan riwayat Abu Daud dan An-Nasaa’i.

[21] HR. Abu Daud (4163) dan Al-Albani berkata : “hadits hasan shahih”.

[22] HR. Ahmad (16351) At-Tirmidzi (1756) Abu Daud (4189) Al-Albani menshahihkannya. Dan An-Nasaa’i (5055).

[23] HR. An-Nasaa’i (5053) Abu Daud (28) Ibnu Hajar berkata : An-Nasaa’i mengeluarkannya dengan sanad yang shahih”. Dan Al-Albani menshahihkannya. Dan riwayat An-Nasaa’i dengan no. (4679).

[24] Al-Jummah adalah bagian dari rambut kepala : apa yang terurai di atas pundak. (Lisan Al-Arab 12/107) bahasan: ج م م.

[25] HR. Al-Bukhari (3551) Muslim (2337) Ahmad (18086) At-Tirmidzi (1723) An-Nasaa’i (5070) dan Abu Daud (4183).

[26] Sya’ru ar-Ra`si (Ahkaam wa fawaa`id mutanawwi’ah ‘an Syi’ir Ar-Ra`si ) karya Al-Akh Sulaiman Al-Kharrasyi. (dengan sedikit perubahan). Dan merupakan makalah yang baik dalam babnya. Cetakan Daar Al-Qasim. Cetakan pertama 1419 Hijriyah- dan perkataan Al-Imam Ahmad penulis menyuntingnya dari Hasyiah kitab Ar-Raudh (1/162). Dan juga kamu akan mendapatinya di dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah (3/328).

[27] Di dalam Al-Lisan : Al-Quzza’ah/Al-Quz’ah : salah satu bentuk dari model rambut yang dibiarkan pada kepala anak kecil seperti jambul-jambul yang terpisah di ujung kepala. Al-Qaza’ : Mencukur kepala anak kecil dan membiarkan sebagian lainnya pada beberapa tempat dari kepala sedangkan rambutnya terpisah-pisah, dan hal tersebut dilarang. (8/271-272) Bahasan : ق ف ذ

[28] HR. Al-Bukhari (5921) Muslim (2120) Ahmad (4459) An-Nasaa’i (5050) Abu Daud (4194) dan Ibnu Majah (3637).

[29] Tuhfat Al-Waduud Bi-Ahkaam Al-Maulud. (hal. 119) cetakan Daar Al-Jiil. Cetakan pertama 1408 H.

[30] HR. Muslim (1305) At-Tirmidzi (612) dan Abu Daud (1981).

[31] Tafsir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan. (6/222-223).

[32] Al-Bukhari (5892).

[33] Al-Bukhari (5893).

[34] Muslim (259)/54.

[35] Muslim (259)/55.

[36] Syarah Muslim jilid ke dua (3/123).

[37] HR. Al-Bukhari (5899) Muslim (21003) Ahmad (7233) An-Nasaa’i (5069) Abu Daud (4203) dan Ibnu Majah (3621).

[38] HR. Muslim (2102) Ahmad (1399) An-Nasaa’i (5076) Abu Daud (4204) dan Ibnu Majah (3624).

[39] Al-Adaab As-Syar’iyyah (3/334-335).

[40] Al-Adaab As-Syar’iyyah (3/336).

[41] Lihat Al-Bukhari (5707) dan Muslim (1489).

[42] Al-Itsmid : adalah batu yang sudah dikenal yang berwarna hitam dipukulkan ke Al-Humrah, yang ada di negeri Al-Hijaz yang paling baik yang di datangkan dari Ashbahan. Ibnu Hajar menjelaskannya di dalam Al-Fath (10/167).

[43] HR. Ahmad (2048) Abu Daud (3878) Al-Albani menshahihkannya, At-Tirmidzi (1757) dan Ibnu Majah (3497).

[44] Lihat Fathul Baari (10167).

[45] HR. Ibnu Abi Ashim dan At-Thabrani. Ibnu Hajar berkata : “sanadnya hasan”. (Fathul Bari : kitab At-Tibb 10/167).

[46] Al-Wasyam (tato) di tangan, yang demikian itu karena wanita menusuk punggung telapak tangannya dan pergelangan tangan dengan jarum atau dengan jarum besar sehingga berbekas padanya, kemudian dia mengisinya dengan celak atau dengan an-nil atau an-niyyil atau dengan an-nu’ur (asap minyak) maka bekasnya menjadi biru atau hijau. (Lisan Al-’Arab : 12/638) Bahasan :و ش م.

Al-mustausyimah adalah wanita yang meminta tato dari selainnya.

[47] An-namash : mencabut rambut, namasha sya’rahu yanmashahu namshan : yaitu mencabutnya…dan an-namishah : wanita yang menghiasi wanita lainnya dengan an-namash. Dan di dalam hadits : wanita-yang mencabut bulu wajah dan yang dicabutkan dilaknat Allah; Al-Farraa’u berkata : an-namishah adalah yang mencabut rambut dari wajah, dan dari makna ini dikatakan kepada tukang lukis/ukir minmash, karena dia mencabutnya dengan lukisan/ukiran itu, dan al-mutanammishah : yang melakukan hal tersebut dengan dirinya sendiri. (Lisan Al-’Arab : 7/101) Bahasan :ن م ص.

[48]Faljul Asnan : gigi saling berjauhan….rajulun aflaj apabila seorang laki-laki pada gigi-giginya ada yang terpisah, dan ini juga bentuk At-Taflij. (At-Tahdzib) : dan Al-Falj yang ada diantara gigi adalah saling berjauhannya apa yang ada diantara gigi seri dan gigi ruba’iyyah dari asal penciptaannya, dan apa bila salah seorang itu berusaha untuk membuat seperti itu maka itu adalah At-Taflij….dan di dalam al –hadits : sesungguhnya Allah melaknat al-mutafallijat (wanita yang mengukir giginya) untuk membaguskan penampilan : yaitu wanita yang melakukan hal tersebut karena ingin terlihat bagus. (Lisan Al-’Arab : 2/346-347 dengan sedikit perubahan) Bahasan :ف ل ج

[49] Al-Washilah dari kalangan wanita : yang menyambung rambutnya dengan rambut selainnya, dan al-mustaushilah : wanita yang meminta hal itu dan dia yang melakukan hal itu juga. Dan didalam al-hadits: bahwa rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat Al-washilah dan al-mustaushilah. Abu Ubaid berkata : hal ini ada pada rambut, dan yang demikian itu karena wanita menyambung rambutnya dengan rambut selainnya adalah bentuk penipuan/kedustaan. (Lisan Al-’Arab : 11/727) Bahasan :و ص ل

[50] HR. Al-Bukhari (4886) (4877) Muslim (2125) Ahmad (3935) An-Nasaa’i (5099) At-Tirmidzi (2782) Abu Daud (4169) Ibnu Majah (1989) dan Ad-Daarimi (2647).

Satu Tanggapan to “Kitab Al-Adab : Adab Berpakaian Dan Berhias (3)”

  1. mksh atas infrmsi na gan..

    jgn lpa ampir di blog ane y gan..
    http://agilcr.wordpress.com/

Tinggalkan komentar