Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kitab Al-Adab : Adab-Adab Pergaulan Bersama Sesama Saudara Muslim

Posted by Abahnya Kautsar pada 15 Oktober 2008

ADAB-ADAB PERGAULAN BERSAMA SESAMA SAUDARA MUSLIM

Allah ta’ala berfirman :

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” ( Az-Zukhruf : 67 )

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “seseorang itu sesuai agama teman dekatnya, maka hendaknya dia melihat kepada siapakah dia berteman dekat”[1].

Di antara adab-adab pergaulan bersama sesama saudara Muslim :

1. Memilih Teman Bergaul Dan Teman Duduk :

Telah dikemukakan sebelumnya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara mar’fu’ : “Seseorang itu sesuai agama teman dekatnya maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat bersama siapakah dia berteman”

Maknanya : Bahwa seseorang itu sesuai kebiasaan temannya tingkah laku dan gaya hidupnya, maka hendaknya dia memperhatikan dan meneliti “Bersama siapakah dia berteman”. Barang siapa diridhai agama dan akhlaknya maka hendaknya dia berteman dengannya dan kalau tidak hendaknya dia menjauhinya, karena tabiat itu adalah sesuatu yang dicuri/diambil dari orang lain, sebagaimana disebutkan didalam kitab ‘Aun Al-Ma’bud[2].

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berteman kecuali bersama orang yang beriman, dan janganlah ada yang makan makananmu kecuali orang yang bertakwa”[3]. Larangan bersahabat mencakup larangan bersahabat dengan pelaku dosa besar dan orang suka berbuat dosa, karena mereka melakukan apa yang Allah haramkan. Berteman dengan mereka akan mendatangkan kemudharaan pada agama, dan lebih utama lagi larangan tersebut mencakup larangan bersahabat dengan orang-orang kafir dan munafiq.

Sabda Nabi : “Dan janganlah seseorang memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”.

Al-Khaththabi berkata : “Larangan ini berlaku pada makanan undangan bukan makanan hajat/kebutuhan, yang demikian itu karena Allah subhanahu berfirman :

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.( Al-Insan : 8 )

Telah maklum adanya bahwa tawanan-tawanan mereka ada yang kafir yang tidak beriman dan tidak bertakwa. Berarti Nabi memberikan peringatan dari berteman bersama orang yang tidak bertakwa dan melarang bercampur baur dan memberi makanan kepadanya. Karena memberi makanan akan menyebabkan adanya kelembutan dan kasih sayang di dalam hati[4].

Dan teman dekat dan teman duduk yang jelek akhlaknya memberikan bahaya yang nyata dan tidak diapat dihindari bagaimana pun cara menjaganya, berdasarkan nash dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Musa Al-Asyari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pemisalan teman duduk yang shalih dan yang jelek akhlaknya bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi, penjual minyak wangi dia dapat memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya minyak wangi atau kamu mendapatkan bau yang wangi, adapun pandai besi, dia dapat membakar pakaianmu atau kamu mendapat bau yang tidak sedap darinya”[5].

2. Mencintai Karena Allah :

Kedudukan Persaudaraan yang paling agung adalah ketika hal itu karena Allah dan untuk Allah, tidak untuk mendapatkan kedudukan, atau mendapatkan manfaat yang segera atau yang akan datang, tidak karena mendapatkan materi, atau selainnya. Dan barang siapa kecintaannya kepada temannya karena Allah dan persaudaraannya karena Allah sungguh dia telah mencapai puncak tujuan, dan agar seseorang itu berhati-hati jangan sampai kecintaannya tersebut terselip kepentingan-kepentingan duniawi yang akan mengotori dan menyebabkan kerusakan persaudaraan.

Dan barang siapa kecintaannya karena Allah maka hendaknya dia bergembira dengan janji Allah dan keselamatan dari kedahsyaran hari dimana seluruh makhluk dikumpulkan pada hari kiamat. Dan dia akan dimasukkan dibawah naungan Arsy Dzat yang Maha perkasa Jalla Jalaluhu. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, pada hari ini Aku akan menaungi mereka di dalam naunganku di hari tidak ada naungan selain naungan-Ku”[6].

Dari Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: Kecintaanku suatu yang harus bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, yang duduk-duduk bersama karenaku, yang saling menziarahi karena-Ku, saling memberi karena-Ku”[7].

Dan Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bahwa seseorang menziarahi saudaranya karena Allah di desa lain maka Allah mengirimkan kepadanya malaikat di tengah-tengah perjalanannya. Ketika malaikat tersebut datang kepadanya dia berkata : Kemana kamu hendak pergi?

Orang itu berkata : Saya ingin pergi ke rumah saudaraku di desa ini. Malaikat itu berkata : Apakah kamu mempunyai nikmat atas saudaramu itu yang kamu jaga[8]?

Orang itu berkata : Tidak, hanya saja saya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla. Malaikat itu berkata : Sesungguhnya saya adalah utusan Allah kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karenanya”[9].

Catatan penting 1 : Sepatutnya bagi orang yang mencintai saudaranya karena Allah agar memberitahukannya tentang hal tersebut, dan di dalam hal ini ditunjukkan didalam sunnah yang telah maklum. Anas bin Malik dan selainnya meriwayatkan, beliau berkata : “Bahwa ada seseorang yang berada di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seorang laki-laki lain melewatinya. Laki-laki itu berkata wahai Rasulullah : Sesungguhnya saya mencintai laki-laki ini.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?”

Orang itu berkata : tidak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Beritahukanlah kepadanya!” Maka orang itu pun menyusulnya dan berkata : Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah. Laki-laki tadi berkata : Semoga Allah mencintaimu yang karena-Nya engkau mencintaiku karenanya”. Pada riwayat Ahmad : “Nabi berkata : “Berdirilah dan kabarkanlah kepadanya maka hal itu akan mengokohkan kecintaan diantara kalian”.

Laki-laki yang bersama Nabi pun bangun dan menjumpainya kemudian mengabarkan kepadanya, dia berkata : “Sesungguhnya saya mencintaimu karena Allah atau dia berkata saya mencintaimu untuk lillah.

Laki-laki yang lewat itu berkata : “Semoga Allah mencintaimu yang mana engkau mencintaiku karenanya”[10].

Catatan penting lainnya : dari hal-hal yang sepatutnya –juga- ada bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah, agar mereka mengecek diri-diri mereka dan hati-hati mereka waktu demi waktu, dan agar mereka lihat apakah kecintaan ini telah tercampur apa-apa yang menghalangi dan menyusahkan dan mengeluarkan kecintaannya dari hakikatnya atau tidak. Karena kecintaan pada awalnya mungkin ikhlash karena Allah, akan tetapi hal itu tidak tinggal lama –apabila orang yang melakukannya lalai- dan berpindah kepada persaudaraan yang mengharapkan saling bergantian memberikan manfaat.

Terkadang kecintaan kepada Allah berubah bersamaan kontinyuitas persahabatan dan kecintaan dan kerinduan yang melampaui batas. Bercampur baurnya bersama anak-anak remaja atasanama persaudaraan karena Allah, dan sebagian wanita melewati batas yang disyariatkan bersama anak-anak perempuan sejenisnya yang terkadang mengantarkan kepada hal yang semisal itu.

3. Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara Seiman

Hal yang paling sedikitnya apabila seorang menjumpai saudara lainnya adalah menjumpainya dengnawajah yang berseri-seri, mulut yang penuh senyum. Hal ini bagian dari perkara ma’ruf dan adab yang sepatutnya ditampakkan diantara seorang saudara dengan saudaranya yang lain, agar dia ramah dan senyum di wajahnya setiap kali dia bertemu atau melihat saudaranya yang lain.

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Janganlah seseorang itu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun dia menjumpai saudaranya dengan wajah yang berseri-seri”[11].

Pada hadits riwayat Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “Setiap perbuatan ma’ruf adalah sedekah, dan sesungguhnya termasuk perbuatan ma’ruf adalah seseorang menjumpai saudaranya dengan wajah berseri-seri…..al-hadits”[12].

Sikap lemah lembut dan ramah dan kasih sayang diantara hal-hal yang menguatkan ikatan diantara saudara, dan memperdalam hubungan diantara mereka. Dimana “Allah mencintai lemah lembut di dalam segala urusan”[13]. Dan Allah subhanahu: “Maha lembut mencintai kelembutan dan memberikan kepada orang yang lembut apa yang tidak dia berikan kepada orang yang kasar dan apa yang tidak dia berikan kepada selain orang yang lembut”[14].

Dan selama hal itu demikan adanya, maka saudara-saudara seiman lebih pantas dan lebih utama agar sebagian mereka berprilaku lemah lembut kepada sebagian lainnya, dan agar sebagian mereka ramah kepada sebagian lainnya.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diharamkan atas neraka setiap orang yang lemah lembut, mudah dan dekat dari manusia”[15]. Dan diantara perkara-perkara yang dapat membantu kelanggengan rasa cinta, dan menghilangkan kebencian dari dalam hati, saling memberi hadiah sesama saudara.

Imam Malik telah meriwayatkan di dalam Muwathta’nya : bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saling berjabatan tanganlah kalian karena hal itu akan menghilangkan rasa dengki, saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai dan menghilangkan kebencian”[16].

Alangkah indah syair yang diucapkan seseorang:

Hadiah manusia sebagian mereka kepada sebagian lainnya

Akan melahirkan di hati-hati mereka hubungan

Dan menumbuhkan di dalam sanubari rasa suka dan cinta

Dan akan memakaikan kecantikan apabila mereka bersua

4. Disunnahkan Memberi Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan :

Nasihat adalah tuntutan syar’i yang dianjurkan oleh pembuat syariat. Dan merupakan bagian dari perkara-perkara yang menjadi sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya.

Jarir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata “Saya membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menegakkan shalat, menunaikan zakat, memberi nasihat kepada setiap muslim”[17].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan tuntunan ini bersamaan dengan shalat dan zakat yang mana keduanya bagian dari rukun islam, yang menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan tuntunan saling menasihati tersebut dan nilainya yang luhur.

Semisal disebutkan didalam hadits Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Agama itu nasehat “.

Kami berkata : Kepada siapakah wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau bersabda : Kepada Allah, kepada kitabnya, kepada rasulnya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin”[18].

Dan sabda beliau : “agama itu nasehat” yaitu : Bahwa nasehat adalah amalan yang paling utama dan yang paling sempurna dalam agama[19].

Ibnul Jauzi berkata : “Ketahuilah bahwa nasehat untuk Allah Azza wa Jalla adalah membela agamanya dan menghalau segala bentuk kesyirikan kepada Allah walaupun Allah tidak membutuhkan hal tersebut, akan tetapi manfaatnya kembali kepada hamba.

Demikian pula nasihat untuk kitabnya: Membelanya dan senantiasa menjaga tilawah kitab-Nya. Dan nasehat untuk Rasulnya : Melaksanakan sunnahnya dan mengajak kepada dakwah beliau.

Dan nasehat untuk imam-imam kaum muslimin : Mentaati mereka, jihad bersama mereka, menjaga bai’at mereka, memberi nasehat kepada mereka tanpa adanya pujian-pujian yang membuat mereka terpedaya.

Dan nasehat untuk seluruh kaum muslimin : Keinginan memberikan kebaikan kepada mereka, termasuk dalam hal ini mengajarkan dan memperkenalkan kepada mereka perkara yang wajib, dan menunjukkan mereka kepada al-haq[20].

Berdasarkan ini maka nasehat untuk para suadara kita, dengan tujuan melapangkan kebaikan kepada mereka, menjelaskan al-haq kepada mereka, mengarahkan mereka kepada kebaikan, tidak menipu mereka dan bermuka manis kepada mereka dalam masalah agama Allah.

Termasuk pula memerintahkan mereka kepada perkara yang ma’ruf dan melarang mereka dari kemungkaran, walaupun hal itu menyelisihi hawa nafsu mereka dan kebiasaan mereka. Sedangkan menyertai mereka dalam kebiasaan mereka, bermuka manis bersama mereka didalam agama Allah mengatas namakan persaudaraan, dengan tujuan agar mereka tidak lari, maka ini bukan bagian dari nasihat yang diperintahkan oleh Nabi kita. Memang benar adanya, hikmah dituntut ketika memberi nasehat kepada mereka, akan tetapi al-haq harus dijelaskan dan diajarkan lebih khusus lagi apabila diantara sesama saudara dan dia mampu untuk itu.

5. Saling Tolong Menolong Sesama Ikhwan :

Kita memiliki teladan dan contoh dalam hal tersebut. Teladan yang paling besar tentang hal tersebut dari –Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidaklah sisi kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi beliau untuk bersama-sama para sahabatnya dan memberi bantuan kepada mereka. Diantara hal tersebut keikut sertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya ketika membangun masjid Nabawi di Madinah.

Anas radhiallahu ‘anhu berkata : Mereka memindahkan batu-batuan sambil mendendangkan Ar-Rajaz (salah satu macam alunan –bahru– puisi, pent) dan Nabi bersama mereka dan beliau berkata :

Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat

Maka ampunilah kaum anshar dan kaum muhajirin[21]

Dan yang semisal kejadian tersebut, yang terjadi pada peritiwa Khandak.

Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Sesungguhnya kami ketika peristiwa Khandak dalam keadaan menggali, tiba-taba gundukan tanah yang keras menghalangi mereka. Mereka pun datang menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan : Tanah keras ini menghalangi pembuatan Khandak. Maka beliau berkata : “Saya yang turun” .

Kemudian Jabir berkata : Dan perut beliau dililit dengan batu, dan kami tinggal selama tiga hari tidak merasakan makanan, maka Nabi mengambil martil dan memukulkannya sampai batu itu kembali menjadi bukit pasir yang bertaburan….al-hadits[22].

Dan dari hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan olehAbu Musa radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin kepada mukmin lainnya bagaikan satu bangunan sebagiannya menguatkan bagian yang lain dan beliau menyela-nyela antara jari-jari beliau”[23].

Al-Ikhwan sebagian mereka membutuhkan sebagian lainnya, mereka saling memberi bantuan diantara mereka di dalam menutupi kekurangan kefakiran mereka, atau memberi rekomendasi yang baik di dalam menunaikan hajat kebutuhan mereka, atau selain hal itu dari berbagai bentuk gambaran bantuan, “Allah berada dalam bantuan kepada seorang hamba selama seorang hamba berada dalam bantuan saudaranya”[24].

6. Sesama Saudara semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan tidak sombong atau meremehkan yang Lain

Saling merendahkan diri dan lemah lembut kepada sesama saudara dapat mengekalkan persaudaraan ditengah-tengah mereka, dan memperkuat ikatan persaudaraan diantara mereka. Sedangkan takabbur dan sombong atau meremehkan orang lain adalah sebab sebagian diantara mereka akan menjauhi sebagian lainnya. Dan merupakan alamat putusnya tali persaudaraan diantara mereka.

Merendahkan diri itu sifat yang dituntut dan juga diperintahkan. Sedangkan sifat angkuh adalah sifat yang terlarang dan tercela.

‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sampai tidak ada seorang pun meremehkan orang lain dan seseorang merebut jualan orang lain”[25].

Sedangkan sifat meremehkan orang lain dan sombong adalah jalan menuju kezhaliman, permusuhan dan kejahatan.

Dan tidak diragukan lagi bahwa manusia bertingkat-tingkat keutamaannya di dalam masalah penghasilan, nasab dan harta. Ini sudah merupakan sunnatullah pada makhluk. Bukanlah orang yang mulia yang menjadikan dirinya mulia, dan bukanlah orang yang rendah dia yang menjadikan dirinya rendah, demikian halnya bagi seorang yang fakir dan seorang yang kaya raya. Melainkan hikmah Allah yang sempurna menetapkan hal tersebut – Dan Allahlah yang menetapkan segala urusan makhluknya.

Dan bukan karena bertingkat-tingkatnya kedudukan martabat manusia sehingga seseorang diperbolehkan menganggap dirinya lebih tinggi dari pada selainnya atau meremehkannya. Bahkan kapan saja orang yang mulia atau orang yang mempunyai kedudukan atau orang yang kaya merendahkan diri kepada Allah, lembut dan ramah bersama saudaranya yang lain, perbuatan yang demikian akan menambah tinggi derajatnya di sisi Allah dan diterima di sisi makhluk.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seseorang merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya”[26].

7. Berakhlak yang Terpuji :

Beruntung orang yang Allah pakaikan pakaian akhlak yang terpuji. Karena tidak seorang pun yang diberikan akhlak tersebut kecuali orang-orang akan menyebut dirinya dengan kebaikan, dan derajatnya akan terangkat ditengah-tengah mereka. Akhlak yang terpuji diantaranya dengan wajah yang berseri-seri, bersabar ketika mendapatkan gangguan, menahan marah, dan selainnya daripada kepribadian dan perangai yang terpuji.

Ibnu Manshur berkata : Saya bertanya kepada Abu Abdillah : Tentang akhlak yang baik. Berkata berkata : Agar kamu tidak marahdan tidak kasar.

Ishaq bin Rahawaih berkata : “ Akhlak yang terpuji adalah wajah yang berseri-seri dan tidak mudah marah dan yang semisalnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khallal.

Al-Khallal meriwayatkan dari Sallam bin Muthi’ di dalam menafsirkan makna akhlak yang terpuji, sambil menendangkan bait sya’ir :

Apabila engkau tidak mengunjunginya , engkau melihatnya sambil memuji

Seakan-akan engkau lah yang memberikan baginya sesuatu yang engkau pinta[27]

Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya berdasarkan sabda makhluk yang terbaik Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan dialah manusia yang paling terpuji akhlaknya- “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya”[28].

Dan diantara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika istiftah “Dan tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik yang tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku akhlak yang jelek tidak ada yang memalingkan aku dari akhlak yang jelek kecuali Engkau”[29].

Barang siapa sifatnya seperti ini, niscaya manusia akan mencintainya, mereka selalu ingin berada di majlisnya dan duduk-duduk bersamanya, dan mendengarkan pembicaraannya. Sebaliknya bagi orang yang jelek akhlaknya, maka ucapannya itu membosankan, manusia lari dari majlisnya, dan dia adalah orang yang dimurkai dan hati akan berat menerimanya. Diceritakan dari Fudhail bin ‘Iyadh, beliau berkata : “ Barang siapa jelek akhlaknya akan jelek pula agama, kedudukan dan kecintaan orang kepadanya “[30].

Dalam pergaulan sesama saudara muslim, akhlak yang terpuji menempati bagian yang besar pada interaksi itu. Dengan akhlak yang baik, niscaya akan memperpanjang hubungan, melembutkan hati, mencabut rasa dendam dari dalam dada, maka pantas bagi sesama saudara untuk menampakkan kecerahan pada wajah-wajah mereka kepada saudara mereka lainnya. Mengucapkan ucapan yang baik kepada mereka, dan menutup mata dari kehinaan dan kesalahan mereka dan mencarikan udzur bagi mereka[31].

8. Hati Yang Selamat

Diantara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Lepaskanlah kedengkian[32] di dalam hatiku” dan dalam riwayat At-Tirmidzi “Dan lepaskanlah kedengkian di dalam dadaku”[33]. Kepribadian dan perilaku yang sangat luhur kedudukannya ini, ternyata sedikit orang berhias dengannya. Disebabkan jiwa manusia akan sangat sulit untuk lepas dari segala jeratannya, dan untuk mengalah dari hak-haknya bagi selainnya. Bersamaan itu pula, banyak manusia terjatuh perbuatan aniaya dan kezhaliman. Apabila seseorang menjumpai kezhaliman manusia, kejahilan dan kesewenang-wenangan mereka dengan hati yang selamat, dan tidak menghadapi kejahatan mereka dengan perbuatan kejahatan semisalnya, dan tidak dengki kepada mereka, niscaya dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi berupa akhlak yang tinggi dan perangai yang luhur.

Hal mulia ini jarang dan sedikit sekal dijumpai pada manusia, akan tetapi hal itu mudah bagi orang yang Allah mudahkan. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan berperangai terpuji. Sedangkan orang yang fajir adalah orang yang jelek dan jahat perangainya”[34]. Sabda Nabi : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan berperangai terpuji “, Al-Mubarakfuri mengatkaan: “ Di dalam An-Nihayah : Yaitu bukan orang yang slalu membuat makar, dan dia tunduk karena ketaatan dan kelembutannya, dan lawan kata dari al-khabbu – jahat/pembuat makar -. Maksudnya bahwa orang yang beriman yang terpuji diantara tabiatnya adalah al-ghararah (yang baik hati), tidak berlaku culas demi perbuatan jelek dan menolak untuk mencari-cari kejelekan. Bukan dikarenakan Kebodohan pada dirinya, akan tetapi karena sifat mulia dan akhlaknya yang terpuji. Demikian yang dijelaskan dalam kitab Al-Mirqah.

Al-Manawi berkata : “Berbaik hati kepada setiap orang dan dan setiap orang merasa cemburu padanya. Dia tidak mengenal kejelekan dan bukan orang yang senang membuat makar. Dia rendah hati karena hatinya yang selamat dan prasangkanya yang selalu baik. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yang fajir adalah yang jelek dan jahat sifatnya”, yaitu seorang bakhil yang keras kepala dan buruk akhlaknya[35].

9. Berbaik Sangka Kepada Ikhwan Dan Tidak Memata-Matai Mereka :

Dan diantara bentuk pergaulan yang baik sesama saudara adalah berbaik sangka kepada mereka. Memahami perkataan mereka dan segala perbuatan mereka kepada kemungkinan yang paling baik. Kita telah dilarang berburuk sangka karena hal tersebut termasuk perkataan yang paling dusta, sebagaimana disebutkan pada sebuah hadits bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berprasangka karena prasangka itu perkataan yang paling dusta, dan janganlah kalian mencari-cari berita dan memata-matai[36]….al-hadits”[37].

Maksud larangan prasangka disini adalah larangan terhadap prasangka buruk. Al-Khaththabi berkata : “Yaitu menerima dan membenarkan setiap persangkaan tanpa ada kekhawatiran di dalam hati, maka sesungguhnya hal itu tidak terkendali.

Dan maksud pernyataan Al-Khaththabi bahwa prasangakn yang haram adalah prasangka yang seseorang tenggelam terus menerus melakukannya, dan menetap di hatinya. Bukannya prasangka terlintas didalam hati dan tidak menetap. Sesungguhnya prasangka seperti ini tidak akan dibebankan kepada dirinya, sebagaimana di dalam sebuah hadits: “ Sesungguhnya Allah mengampuni apa yang seorang budak perempuan ucapkan dalam hati selama dia tidak mengatakannya dengan lisan atau tidak sengaja”

Penafsirannya telah telah dikemukakan pada pembahasan mengenai segala prasangka yang terbersit didalam hati namun tidak tinggal lama. Demikian yang disebutkan oleh An-Nawawi

Al-Qurthubi berkata : “Maksud prasangka disini adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya sebagaimana orang yang menuduh orang lain dengan perbuatan keji tanpa adanya alasan yang jelas terhadap tuduhan tersebut. Oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan dengan dengan sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau: “Dan janganlah kalian memata-matai” . Demikian itu karena terlintas dalam benak seseorang suatu tuduhan, lalu menginginkan untuk memastikannya, memata-matai dan mencari berita dan mencuri pendengaran. Maka hal tersebut dilarang, dan hadits ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :

“ Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” ( Al-Hujurat : 12 )

Konteks ayat menunjukkan perintah menjaga harga diri seorang muslim dengan sebenar-benarnya penjagaan. Karena penempatan larangan yang didahulukan daripada tenggelam dalam sebuah prasangka. Apabila orang yang berprasangka berkata : Saya akan membahasnya agar saya mengetahui fakta yang sebenarnya, dikatakan kepadanya : “janganlah kamu memata-matai” maka apabila terjadi tanpa memata-matai, maka akan dikatakan kepadanya :

” Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”[38].

Faedah : Termasuk berbaik sangka kepada saudara; agar membawakan perkataan mereka kepada persepsi yang baik. Apabila ada sesuatu sampai kepada anda yang anda membencinya,upayakanlah udzur baginya dan katakanlah : Mungkin dia menginginkan demikian, mungkin dia menginginkan itu, sehingga anda tidak mendapatkan jalan keluar lagi baginya.

10. Memaafkan Kesalahan Dan Menahan Marah :

Ketika bercampur dan bergaul bersama manusia –mau tidak mau- ada padanya sesuatu kekurangan dan perlakuan yang melampui batas dari sebagian mereka kepada sebagian lainya apakah itu dengan perkatan maupun perbuatan, maka disunnahkan bagi orang yang terzhalimi agar menahan marah dan memaafkan orang yang menyzhaliminya, Allah ta’ala berfirman :

“ Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. ( Asy-Syura : 37 )

Dan Allah ta’ala berfirman :

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran : 134 )

Dan tentang fiman Allah : “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” yaitu : Apabila mereka mendapatkan gangguan dari orang lain sehingga menyebabkan kemarahan mereka dan hati mereka telah penuh dengan kekesalan, yang mengharuskan membalasnya dengan perkataan dan perbuatan, mereka tidak mengamalkan kosukuensi tabiat manusia tersebut.

Bahkan mereka menahan amarah yang ada pada mereka lalu bersabar tidak membalas orang yang berbuat jahat kepadanya. Dan firman Allah : “Dan orang-orang yang memaafkan orang lain“, masuk di dalam perkara memaafkan manusia, yaitu memaafkan dari setiap orang yang berbuat jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan. Memaafkan lebih sempurna daripada menahan marah, karena memaafkan itu meninggalkan pembalasan bersamaan dengan adanya kerelaan terhadap orang yang berbuat jahat. Sifat ini hanya ada pada seseorang yang berhias dengan akhlak yang terpuji. Berlepas dari akhlak yang rendah, tergolong diantara orang-orang yang berdagang dengan Allah, memaafkan hamba-hamba Allah, sebagai bentuk kasih sayang dan berbuat baik kepada mereka, dan membenci jikalau keburukan menimpa mereka, dan agar Allah memaafkannya, dengan mengharapkan pahalanya ada pada rabbnya yang maha mulia, bukan pada hamba yang fakir, sebagaimana Allah ta’ala berfirman :

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.. ( Asy-Syura : 40 ) [39]

Dan menahan amarah bersamaan adanya kemampuan melampiaskannya dijanjikan balasan yang banyak sesuai yang disampaikan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mu’adz bin Anas Al-Juhani meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang menahan marah dan dia mampu melampiaskannya niscaya Allah akan memanggilnya dihadapan seluruh makhluk sehingga Allah memberi pilihan kepadanya bidadari mana yang dia kehendaki”[40]

Memaafkan kesalahan, keteledoran dan perbuatan aniaya bukanlah kelemahan dan bukan pula kekurangan, bahkan hal itu adalah perbuatan yang tinggi nilainya bagi orang yang melakukannya dan merupakan perbuatan mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shadaqah tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang yang memberi ma’af kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan tinggikan derajatnya” dan pada lafazh riwayat Ahmad : “Tidaklah seseorang memberi maaf dari perbuatan aniaya kecuali Allah tambahkan bagi kemuliaan”[41].

Dan orang-orang yang saling bersaudara karena Allah sangat pantas bagi mereka agar saling memberi maaf atas kesalahan sebagian mereka, dan orang yang berbuat baik dari mereka memberi maaf kepada mereka yang melakukan kesalahan. Karena apabila mereka menyempurnakan hal itu, niscaya hati-hati mereka selamat dan menjadi suci, dan mereka hidup di dalam keadaan yang lebih baik.

Faedah : Diantara bentuk memberi maaf adalah menerima udzur/alasan orang yang berbuat kesalahan, dan tentang hal ini ada beberapa ucapan yang mengagumkan maknanya :

Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma berkata : “Kalaulah ada seseorang memaki-maki saya di telinga saya ini, dan meminta udzur di telinga yang lain, sungguh saya akan menerima udzurnya.”

Dan diantara bait syair yang semakna dengan hal tersebut :

Dikatakan kepadaku : fulan telah berbuat salah kepadamu

Dan seorang pemuda duduk berdian diri dari aniaya adalah cela.

Saya katakan : Sungguh dia telah datang kepadaku dan

menyampaikan udzur

Tebusan dosa menurut kami adalah menerima udzur seseorang.

Al-Ahnaf berkata : “ Apabila seseorang meminta udzur kepadamu maka hendaknya kamu menemuinya dengan suka cita “[42].

11. Larangan Saling Hasad dan Saling Membenci Dan Memboikot :

Hal ini dijelaskan didalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah kalian saling membenci dan saling hasad, saling memboikot[43] dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya yang lain diatas tiga hari”[44].

Hasad itu ada dua macam terpuji dan tercela. Hasad yang tercela adalah menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain, dan hal ini adalah perbuatan zhalim, aniaya dan permusuhan. Hasad dan yang terpuji adalah Al-Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang serupa yang ada pada orang lain tanpa adanya keinginan hilang nikmat tersebut padanya.

Inilah yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada hasad kecuali pada dua perkara : seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an dan dia mengamalkannya sepanjang malam, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan dia bersedekah dengannya sepanjang hari dan sepanjang malam”[45].

Saling membenci adalah lawan dari saling mencintai, dan makna At-Tadabur adalah memboikot.

Makna hadits : Agar salah seorang dari kalian jangan menginginkan hilangnya nikmat yang Allah berikan kepadanya karena hal itu adalah perbuatan zhalim dan permusuhan. Dan jangan pula salah seorang dari kalian membenci saudaranya yang lain, akan tetapi saling mencintailah kalian. Dan jangan kalian memboikot saudaranya yang lain lebih dari tiga hari, karena memboikot adalah perbuatan yang haram antara kaum muslimin. Sabda Nabi : “Dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara” yaitu berinteraksi dan bergaulah dengan interaksi dan mempergauli mereka layaknya saudara, mempergauli mereka dengan kecintaan, kelemah lembutan, saling tolong menolong dalam kebaikan, dan yang semisalnya dari hal-hal yang menjernihkan hati, dan menasehati pada setiap keadaan. Demikian yang diternagkan oleh An-Nawawi[46].

Catatan penting : Memboikot terkadang karena membela hak Allah yaitu untuk tujuan memberi pelajaran, dan terkadang untuk membela diri, maka selama tujuannya karena membela diri maka tidak diberikan keringanan melebihi tiga malam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pintu-pintu surga dibuka di hari senin dan hari kamis, setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun diampuni, kecuali seseorang yang ada diantara dirinya dan saudaranya kebencian, tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai”, pada lafazh riwayat At-Tirmidzi : “Kecuali orang-orang yang saling memboikot, maka dikatakan kembalikan kedua orang ini sampai keduanya berdamai”[47].

Dan selama boikot itu karena membela hak Allah, seperti memboikot orang yang melakukan kemungkaran sampai dia bertaubat dari kemungkarannya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot tiga sahabat yang tidak ikut dalam peperangan sampai Allah menurunkan ayat tentang taubatnya mereka, hal ini tidak ada batasan waktunya, bahkan kapan saja seseorang mendapatkan maksud dari boikot tersebut maka boikot terputus dan diharamkan[48].

Faedah : Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : Dan boikot ini [memboikot untuk tujuan memberi pelajaran] berbeda-beda penerapannya sesuai keadaan orang yang melakukan boikot, mempertimbangkan kemampuan meeka, kelemahan, sedikit dan banyaknya mereka. Karena maksud dari suatu pemboikotan adalah memperingatkan orang yang diboikot dan memberinya pelajaran serta agar orang-orang awam meninggalkan keadaan yang dilakukanya. Apabila mashlahat pada boikot tersebut lebih dominan, yang mana pemboikotannya tersebut dapat mengurangi dan mengantisipasi kejahatan, maka hal itu disyariatkan. Namun apabila yang diboikot dan yang selainnya tidak terperngaruh dengan hal tersebut bahkan bertambah jelek keadaannya, dan orang yang memboikot lemah, yang mana mafsadat lebih dominan daripada mashlahat, maka boikot tidak disyariatkan.

Dengan demikian berlaku lemah lembut kepada sebagian orang itu lebih bermanfaat daripada memboikot. Dan pemboikotan terhadap sebagian orang lebih bermanfaat daripada bersikap lembut kepada mereka. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lembut kepada satu kaum dan memboikot kaum lainnya[49].

Faedah Lainnya : Syariat memberi keringanan di dalam memboikot seorang muslim selama tiga hari, apabila tujuannya membela diri, dan tidak membolehkan lebih dari hal tersebut, dan hikmah di dalam hal tersebut bahwa jiwa manusia dapat meresapi sisi-sisi dan kejadian-kejadian yang membuat saling marah, diringankan pula kepada siapa yang mendapati pada diri saudaranya yang telah dia diamkan selama tiga malam karena hal itu cukup untuk mengalahkan kerasnya kemarahan dan menghilangkan rasa dendam atas saudaranya.

Misalnya, apa yang menimpa pada diri orang yang bukan suaminya, diringankan baginya untuk tidak berhias selama tiga hari dan tidak boleh melebihinya yang bisa menyebabkan penyakit pada jiwanya, dan kematian adalah musibah yang paling besar pada diri orang yang menimpanya berupa kesedihan yang dia peroleh, maka diperbolehkan baginya tidak berhias ( karena kematian suami-penj) dan membebaskan jiwanya dalam menghilangkan kesedihan dari musibahnya yang tidak melebihi tiga hari, dan lillahi al-hikmah al-balighah.

12. Larangan panggil memanggil[50] dengan gelar-gelar yang buruk

Termasuk penyakit lisan yang bisa mendatangkan dosa, mengobarkan kemarahan dan menyebabkan perpecahan diantara sesama sudara, yaitu, panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, memberi gelar kepada orang lain dengan gelar-gelar yang buruk lagi tercela, mereka saling mencela dengannya, dan ditertawakan atasnya dari celaan tersebut, padanya ada larangan dari Allah Maha Mulia diatas Ketinggian-Nya, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” ( Al-Hujurat :11).

Dan seorang muslim berhak dengan keselamatan muslim yang lain dari lisan dan tangannya.

Abu Jubairah bin Adh-Dhahak radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Ayat ini diturunkan kepada Bani Salamah :

“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami dan tidaklah salah seorang dari kami kecuali dia mempunyai dua atau tiga nama, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dengan “Wahai fulan.” Maka para sahabat berkata : Apa itu wahai Rasulullah, sesungguhnya dia akan marah dengan nama tersebut, maka turunlah ayat ini : “Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” ( Al-Hujurat :11).[51]

Mayoritas masyarakat sekarang pada saat ini banyak terjerumus kedalamnya, berupa kelaliman dengan perkataan, berbuat dosa dengan lisan dan merusak lisan tersebut. Dan berlepas diri dari orang yang menyakiti dengan lisannya dan menahannya dari menjaga kehormatan kaum muslimin, agar mereka tidak memperoleh keburukan, semoga Allah menjaga kita dan anda semua dari kerusakan lisan dan kekhilafannya.

13. Disenangi mengadakan ishlah (perbaikan) antar sesama saudara

Tidak dapat dielakkan lagi adanya beberapa perselisihan dan pertengkaran diantara saudara, dari yang sudah barang tentu menyebabkan percekcokan dan permusuhan antara mereka. Telah disepakati pada masyarakat orang yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk mengadakan perbaikan antara orang-orang yang saling memutuskan hubungan dan orang-orang yang saling berselisih. Diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiallahhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah kalian mau aku beritahukan dengan apa yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat dan shadaqah?” Para sahabat menjawab : Iya.beliau bersabda : “(Mengadakan) kebaikan dzatul-bain (antara sesama),[52] sesungguhnya kerusakan antara sesama adalah kebinasaan.”[53]

Dan syariat yang suci sangat mengajurkan akan satunya kalimat, bersatunya barisan,dan ketentraman hati, serta melarang dari perselisihan, saling menjauhi dan bercerai-berai. Oleh karena itu dianjurkan mengadakan perbaikan antara sesama manusia dengan kebohongan dan tidak dianggap suatu yang dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bukanlah seorang disebut pendusta jikalau memperbaiki antara manusia maka dia akan mendatangkan kebaikan atau berkata yang baik.”[54] Bahkan dia mendapatkan pahala atas usahanya dalam mengadakan perbaikan antara sesama, dan mencabut (melepas) kedengkian dari hati.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Setiap ruas dari seseorang padanya ada shadaqah, dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua orang padanya ada shadaqah…al-hadits.” Pada riwayat yang lain : “dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua sesama manusia ada shadaqah.”[55]

Dan Ulul albab – kaum cerdik pandai – sepantasnya mereka menjadi pendahulu untuk perbaikan sesama manusia, dan tidak sepantasnya mereka menjauhkan diri darinya, berpaling dari jalan perbaikan setelah mengetahui besarnya pahala yang terdapat padanya.

14. Keharaman mengungkit-ungkit pemberian

Pada umumnya apa yang terjadi antara saudara adalah saling hadiah menghadiahi dan saling memberi, yang satu memberi hadiah kepada yang lainnya, dan yang satu memberi kepada yang lainnya. Perbuatan ini merupakan kesempurnaan interaksi diantara sesama mereka. Dan penyebab agar seantiasa langgeng dan trus berkelanjutan.

Akan tetapi jiwa yang lemah akan meniti diatas sifat untuk sering mengungkit-ungkit pemberian, baik karena didasari sifat kikir atau rasa ‘ujub. Al-Qurthubi mengatakan: “ Sifat mengungkit-ungkit pemberian, biasanya terjadi akibat sifat kikir dan ‘ujub. Seorang yang kikir akan merasa sangan berat pada dirinya untuk mengeluarkan sebuah pemberian, walau pemberian tersebut sebenarnya hanyalah suatu yang tidak bernilai. Sementara seseorang yang ‘ujub akan memamerkan dirinya dengan rasa tinggi hati bahwa dialah yang memberi nikmat ini dengan hartanya kepada sipenerima. Perbuatan mengungkit-ungkit pemberian adalah perbuatna yang diharamkan didalam syariat Islam. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tercela dan menempatkan pelakunya pada bahaya yang sangat besar.

Ibnu Muflih mengatakan : “ Diharamkan perbuatan mengungkit-ungkit pemberian atas segala yang telah diberikan. Bahkan perbuatan tersebut tergolong salah satu bagian dari dosa besar, dalam pernyataan Ahmad.[56]

Sejumlah ayat dan hdits telah menetapkan hukum haram dari perbuatan mengungkit-ungkit pemberian, seperti didalam firman Allah ta’ala:

“ Dan mereka yangmenginfakkan harta mereka dijalan Allah, kemudian tidak mengikuti pemberian tersebut dengan sifat mengungkit-ungkit pemberian ataukah untuk menyakiti sipenerima … al-ayat “ ( Al-Baqarah : 262 ).

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau bersabda: “ Ada tiga golongan yang mana Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan melihat kepada mereka dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali.”

Abu Dzar berkata : “ Celakalah dan merugilah mereka, siapakah mereka ini wahai Rasulullah ?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Seorang yang memanjangkan kainnya melewati mata kaki, seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan seseorang yang menginfakkan barangnya dengan sumpah dusta “[57]

Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau bersabda: “ Tidak akan masuk surga seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan juga seorang yang durhaka dan seseorang yang kecanduan minum khamar “[58]

15. Menjaga rahasia dan tidak menyebarluaskannya

Dan in termasuk amanah yang wajib untuk dijaga dan disembunyikan. Seseorang yang menyebarluaskan rahasia tergolong seorang yang mengkhianati amanah. Dan perbuatan tersebut salah satu dari sifat orang-ornag munafik.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta, apabila dia berjanji maka dia menyalahinya dan apabila dia diserahi amanah maka dia berkhianat. “[59]

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ebrsabda: “ Apabila sesorang menceritakan suatu kaba kemudian dia menengok kesamping maka yang disampaikannya adalah amanah “. Pada lafazh riwayat Ahmad : “ Seseorang yang diceritakan sesuatu melihat si pencerita menengok , maka cerita tersebut adalah amanah “[60]

Suatu yang rahasia, wajib untuk disembunyikan dan tidak disampaikan kepada semua kaum manusia atau disebarkan. Ini tergolong anjuran syariat dan perhatian syara agar kaum manusia menjaga segala persoalan rahasia mereka, dimana menengoknya seorang pembicara untuk memastikan tempat tersebut tersembunyi, sederajat dengan perkataannya: Ini adalah sbeuah rahasia maka sembunyikanlah rahasiaku ini.

Dan juga diterangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas radhiallahu ‘anhu beliau mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpaiku, disaat saya lagi bermain dengan dua anak ekcil. Kemudian beliau mengucapkan salam kepada kami. Kemudian beliau mengutusku untuk suatu keperluan sehingga saya terlambat menjumpai ibuku. Ketika saya tiba, ibuku bertanya: Apa yang menghambatmu ?.

Saya mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan.

Ibuku bertanya: Apakah keperluan beliau tersebut?

Saya mengatakan: Keperluan beliau tersebut suatu yang rahasia.

Ibuku mengatakan: Janganlah engkau sekalipun menceritakan rahasia Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada siapapun juga.

Anas mengatakan: Demi Allah, seandainya saya menceritakan kepada seseorang perihal rahasia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut niscaya saya menceritakannya kepadamu, wahai Tsabit.

Pada lafazh riwayat Al-Bukhari: “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebuah rahasia kepadaku, dan tidaklah saya emngabarkan kepada seorangpun perihal rahasia tersebut sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Ummu Sulaim telah menanyakanya kepadaku, dan saya tidak memberitahukannya kepadanya “[61]

16. Celaan kepada seseorang yang bermuka dua

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan maksud dari seorang yang bermuka dua, didalam sabda beliau: “ Engkau akan emndapatkan orang yang paling buruk disisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang bermuka dua. Yaitu seseorang yang menjumpai suatu kaum denganwajah demikian lalu kaum lainnya dengan wajah berbeda “[62]

Seseorang yang bermuka dua, dikategorikan sebagai manusia yang paling buruk, disebabkan keadaannya terseut adalah kepribadian seorang munafik. Karena dia mencari muka dengan kebatilan dan kedustaaan dan menyisipkan kerusakan ditengah-tengah kaum manusia.

An-Nawawi emngatakan: “ Dia adalah seseorang yang mendatangi setiap pihak dengan suatu yang mereka senangi. Dan menampakkan bahwa dirinya termasuk bagian dari mereka dan menyalahi lawan mereka. Perbuataannya tersebut adalah nifak yang sebenarnya.”

Beliau lanjut mengatakan: “ Adapun yang melakukannya dnegna tujuan mengadakan perdamaian antara kedua belah pihak maka perbuatan trsbeut suatu yang terpuji. “

Selain dari beliau mengatakan: “ Perbedaan antara keduanya, bahwa yang tercela adalah seseorang yang membenarkan amalan suatu kelompok dan mencelanya dihadapan kelompok lainnya. Dan setiap kelompok dicelanya dihadapan kelompok lainnya. Sementara yang terpuji adalah seseorang yang daang kepada masing-masing kelompok dengan ucapan yang penyiratkan perdamaian kepada kelompok lainnya dan memintakan udzur masing-masing kelompok tersebut dihadapan eklompok lainnya. Dan menyampaikan kepada kelompok tersebut segala yang baik yang memungkinkan untuk disampakannya dan menutupi segala yang buruk “[63]


[1] HR. Ahmad (8212) At-Tirmidzi (2387) dia berkata : “Hadits hasan shahih” dan Abu Daud (4833) Al-Albani berkata : “hasan”.

[2] Syarah Sunan Abu Daud jilid ketujuh (13/123).

[3] HR. Ahmad (10944) At-Tirmidzi (2395) Abu Daud (4832) Al-Albani berkata : “hasan”.

[4] ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud jilid 7 (13123).

[5] HR. Al-Bukhari (5534) Muslim (2628) dan Ahmad (19163).

[6] HR. Muslim (2566) Ahmad (7190) dan Malik (1776).

[7] HR. Ahmad (21525) dan lafazh hadits lafazh beliau, Malik (1779), Ibnu Abdil Bar berkata : “di dalam hadits adanya pertemuan Abu Idris Al-Khaulani kepada Muadz bin Jabal dan Abu Idris mendengar langsung darinya, dan isnadnya shahih”. (At-Tamhid 21/125).

[8] Tarubbuha : yaitu menjaganya dan mengasuhnya dan memelihara, sebagaimana seseorang memelihara anaknya. (Lisan Al-’Arab : 1/104) bahasan : ر ب ب

[9] HR. Muslim (2567) dan Ahmad (9036).

[10] HR. Ahmad (13123) Abu Daud (5125) dan Al-Albani berkata : “hasan”.

[11] HR. Muslim (2626) dan At-Tirmidzi (1833).

[12] HR. Ahmad (14299) dan At-Tirmidzi (1970) dan dia berkata : “hadits hasan shahih”.

[13] HR. Al-Bukhari dari hadits Aisyah radhiallahu anha (6024) Muslim (2165) Ahmad (23570) At-Tirmidzi (2701) dan Ad-Darimi (2794).

[14] HR. Muslim (1593).

[15] HR. Ahmad (3928) dan lafazh hadits lafazh beliau, At-Tirmidzi (2488) dan berkata : “hadits hasan gharib” dan pentahqiq Al-Musnad berkata : “hasan dengan penguat-penguat lainnya” (3938) (7/53).

[16] Al-Muwaththa’ (1685) Ibnu Abdil Bar berkata : hadits ini bersambung dari banyak sisi periwayatan yang seluruhnya hasan (At-Tamhid : 21/12)…kemudian beliau membawakan hadits ini dengan sanadnya, dan berkata tentang sanad tersebut bersambung dari hadits Abu Hurairah dia berkata : rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai” (At-Tamhid : 1/17).

[17] HR. Al-Bukhari (57) Muslim (56) Ahmad (18760) At-Tirmidzi (1925) An-Nasaa’i (4175) dan Ad-Darimi (2540).

[18] HR. Muslim (55) Ahmad (16493) An-Nasaa’i (4193) dan Abu Daud (4944).

[19] Kasyful Musykil min hadits shahihaim libnil Jauzi (4/219).

[20] Kasyf Al-Musykil Min Hadits As-Shahihain. karya Ibnul Jauzi (4/219).

[21] HR. Al-Bukhari (428) Muslim (524) dan An-Nasaa’i (702).

[22] HR. Al-Bukhari (3101) Ahmad (13799) dan Ad-Darimi (42).

[23] HR. Al-Bukhari (481) dan lafazhnya dari beliau, Muslim (2585) Ahmad (19127) At-Tirmidzi (1928) dan An-Nasaa’i (2560).

[24] HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah (2699) Ahmad (7379) At-Tirmidzi (1425) Abu Daud (4946) dan Ibnu Majah (225).

[25] HR. Muslim (2875) Kitab Al-Jannah wa shifatu na’imihi wa ahliha, dan lafazh hadits darinya, Abu Daud (4895) dan Ibnu Majah (4179).

[26] HR. Muslim (2588) Ahmad (8782) At-Tirmidzi (2029) Malik (1885) dan Ad-Darimi (1676).

[27] Al-Adab Asy-Syar’iyyah (2/191) dengan perubahan

[28] HR. Al-Bukhari (6035) Ahmad (6468) dan At-Tirmidzi (1975).

[29] HR. Muslim (771) Ahmad (805) At-Tirmidzi (3421) An-Nasaa’i (897) Abu Daud (760) dan Ad-Darimi (1238).

[30] Al-Adabus Syar’iyyah (2/191).

[31] Pembahasan tentang akhlak memakan waktu yang panjang, dan disini bukan tempat pembahasannya.

[32] As-Sakhimah : al-hiqd (dengki) dan Ad-Dhaghinah (dendam) yang terdapat di dalam hati. (Lisan Al-’Arab : 12/282) bahasan : س خ م

[33] HR. Abu Daud dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma (1510) dan Al-Albani berkata : “shahih”. Ahmad (1998) At-Tirmidzi (3551) dan Ibnu Majah (3830).

[34] HR. At-Tirmidzi (1964) dan Abu Daud (4790) dan Al-Albani berkata : “hasan”.

[35] Tuhfat Al-Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi (6/84). Pada hadits tersebut ada bagian alfazhnya yang didahulukan dan diakhirkan..

[36] At-tajassus : taftisy (memeriksa/mengorek-ngorek berita) atas perkara-perkara tersembunyi, dan kebanyakan apa-apa yang diucapkan dalam perkara jelek….dan ada yang berpendapat : membahas tentang aurat. (Lisan Al-’Arab : 6/36).

At-Tahassus : mencari-cari berita : mencari dan membahasnya….Abu Mu’adz berkata : At-Tahassus serupa dengan mencuri pendengaran dan penglihatan. (Lisan Al-’Arab : 6/50).

[37] HR. Al-Bukhari (5144) Muslim (2563) Ahmad (27334) At-Tirmidzi (1988) Abu Daud (4817) dan Malik (1684).

[38] Fathul Bari (10/496).

[39] Tasirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan karya Ibnu Sa’di (Ali Imron ayat 134).

[40] HR. At-Tirmidzi (2021) dan berkata : “hadits hasan gharib”, Ahmad (15210) Abu Daud (4777) Al-Albani berkata : “hasan”, dan Ibnu Majah (4186).

[41] HR. Muslim (2588) Ahmad (7165) At-Tirmidzi (2029) Malik (1885) dan Ad-Darimi (1676).

[42] Al-Adabus Syar’iyyah (1/319).

[43] Abu Ubaid berkata : At-Tadabur : Al-Musharamah (saling marah) dan saling memboikot, diambil dari perbuatan seseorang yang berpaling dan menghadapkan bagian belakang tubuhnya kepada temannya dan berpaling dari wajahnya dan memboikotnya. Lisan Al-’Arab : (4/272) bahasan : د ب ر.

[44]HR. Al-Bukhari (6065) Muslim (2559) Ahmad (11663) At-Tirmidzi (1935) Abu Daud (4900) dan Malik (1683).

[45] HR. Al-Bukhari (5025) Muslim (815) Ahmad (4905) At-Tirmidzi (1936) dan Ibnu Majah (4209).

[46] Syarh Shahih Muslim jilid 8 (16/98-99).

[47] HR. Muslim (2565) Ahmad (7583) At-Tirmidzi (2023) Abu Daud (4916) Ibnu Majah (1740) dan Malik (1686).

[48] Lihat Al-Fatawa karya Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah (28/203-209).

[49]Al-Fatawa (28/206).

[50] Dalam Al-Lisan : wa tanabazu bil-alqaab yaitumemberi gelar yang satu dengan yang lainnya, at-tanaabazu : menyeru dengan gelar-gelar dan kebanyakan padanya terkandung celaan. (5/413) Pembahasan :نبز

[51] HR. At-Tirmidzi (3268), beliau berkata : Hadist ini hasan shahih. Dikeluarkan pula oleh Abu Daud (4962), dan berkata syaikh Al-Albani : haditsnya shahih. Dan dikeluarkan pula oleh Ahmad (17824)dan Ibnu Majah ( 3741).

[52] Dzatul-bain : Yaitu, keadaan yang terjadi diantara manusia.

[53] HR.At-Tirmidzi (2509), dan berkata : hadits shahih, dan HR. Abu Daud (4919), berkata syaikh Al-Albani : shahih, HR. Ahmad (26962).

[54] HR. Al-Bukhari (2692), Muslim (2605), Ahmad (26727), At-Tirmidzi (1938), Abu Daud (4920).

[55] HR. Al-Bukhari (2989), (2707), dan HR. Muslim (1009), Ahmad (27400).

[56] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 1 / 336 )

[57] HR. Muslim ( 106 ), Ahmad ( 20811 ), At-Tirmidzi ( 1211 ), An-Nasaa`I ( 2563 ), Abu Daud ( 4087 ), Ibnu Majah ( 2208 ) dan Ad-Darimi ( 2605 )

[58] HR. Ahmad( 6501 ),an-Nasaa`I ( 5672 ), Al-Albani mengatakan : Shahih, no. ( 2541 ), dan Ad-Darimi ( 2093 )

[59] HR. Al-Bukhari ( 33 ), Muslim ( 59 ), Ahmad ( 8470 ), A-Tirmidzi ( 2631 ), An-Nasaa`I ( 5021 ).

[60] HR. At-Tirmidzi ( 1959 ), beliau berkata: hadits hasan. Abu Daud ( 4868 ), Al-albani emngatakan: Hasan, no. ( 4075 ) dan Ahmad ( 14820 )

[61] HR. Muslim ( 2482 ), Al-Bukhari ( 6289 ) dan Ahmad ( 11649 )

[62] HR. Al-Bukhari ( 6058 ), Muslim ( 2526 ), Ahmad ( 7296 ), At-Tirmidzi ( 2025 ), Abu Daud ( 4872 ) dan Malik ( 1864 )

[63] Fathul Baari ( 10 / 490 )

Terjemahan dari kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.

5 Tanggapan to “Kitab Al-Adab : Adab-Adab Pergaulan Bersama Sesama Saudara Muslim”

  1. 'Aisyah said

    Bismillah.
    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. Ummu, ana ijin share / copas ya artikel2 yang bermanfaat buat ana sendiri dan mudah2an bermanfaat buat saudara-i kita.. jazaakillaahu khoir

  2. ummu nazwa said

    Assalamu’alikum, um…

    ana ijin ambil artikelnya untuk tambahan ilmu ana ya…

    wassalam,
    ^^

  3. […] Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diharamkan atas neraka setiap orang yang lemah lembut, mudah dan dekat dari manusia” [HR. Ahmad (3928) dan lafazh hadits lafazh beliau, At-Tirmidzi (2488) dan berkata : “hadits hasan gharib” dan pentahqiq Al-Musnad berkata : “hasan dengan penguat-penguat lainnya” (3938) (7/53)] […]

  4. […] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang menahan marah dan dia mampu melampiaskannya niscaya Allah akan memanggilnya dihadapan seluruh makhluk sehingga Allah memberi pilihan kepadanya bidadari mana yang dia kehendaki” [HR. At-Tirmidzi (2021) dan berkata : “hadits hasan gharib”, Ahmad (15210) Abu Daud (4777) Al-Albani berkata : “hasan”, dan Ibnu Majah (4186)] […]

Tinggalkan komentar