Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Hukum-hukum Ramadhan : Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Hukum Niat Pada Puasa Ramadhan

Posted by Abahnya Kautsar pada 14 Agustus 2009

Berkaitan dengan masalah ini terdapat beberapa bagian permasalahan:

Pertama: Hukum meniatkan puasa Ramadhan disaat telah diketahui masuknya bulan Ramadhan.

Sebagian besar ulama berpendapat akan kewajiban niat pada puasa Ramadhan, bahkan syarat puasa Ramadhan itu sendiri. Pendapat ini merupakan pendapat para Imam Mazhab yang empat. Dan Zufar bin Hudzail salah seorang imam didalam mazhab Hanafiyah menyelisihi mereka dalam masalah ini.

Dia mengatakan bahwa puasa seorang yang dalam keadaan mukim shahih walau tanpa diniatkan. Adapun seorang musafir, maka haruslah disertai niat semenjak malamnya. Beliau -rahimahullah- berargumen bahwa puasa Ramadhan suatu yang pasti -waktunya-, sehingga tidak membutuhkan lagi niat. Sementara waktu pengerjaannya membatasinya. Dan tidaklah tergambarkan terdapat satu hari selain diharuskan berpuasa.

Pendapat yang serupa juga diriwayatkan dari Atha` bin As-Saa`ib dan Mujahid.

Pendapat yang tepat, adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa niat adalah suatu yang wajib, bahkan syarat keabsahan semua bentuk ibadah termasuk diantaranya ibadah puasa. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut,

Firman Allah subahanahu,

“Dan tidaklah mereka diperintah selain untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan peribadatan tersebut.”

Dan firman-Nya,

“Ketahuilah bahwa hanya peribadatan/agama yang ikhlas milik Allah.”

Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap amalan haruslah disertai dengan niat.”

Pada ayat dan hadits diatas menunjukkan kedudukan niat sebagai syarat ibadah.

Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Dalam tinjauan nalar yang shahih, ibadah puasa adalah bentuk ibadah dengan menahan diri dari makan, minum, bersengaja muntah, dari hubungan initim suami istri, dari perbuatan maksiat …, seandainya ibadah puasa diperbolehkan tanpa disertai niat, maka pada setiap waktu seseorang akan dikatakan berpuasa. Dan hal ini tidak seorangpun yang mengatakannya.”

Kedua, ulama berbeda pendapat tentan gkewajiba niat, apakah niat diharuskan pada malam hari, ataukah boleh pada siang hari?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama dalam masalah ini,

Pendapat yang pertama, bahwa niat haruslah di waktu malam, dan puasa tidaklah sah kecuali diwaktu malam.

Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Umar, Jabir bin Zaid, Malik, al-Laits bin Sa’ad dan Ibnu Abi Dzi’b, hanya saja mereka tidaklah membedakan antara puasa wajib dan puasa sunah. Demikian juga pendapat ini adalah mazhab Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, pada puasa wajib namun tidak pada puasa sunnah.

Pendapat yang kedua, bahwa niat adalah suatu yang wajib pada setiap hari pada bulan Ramadhan, ataukah pada puasa sunnah dan puasa nazar. Hanya saja puasa tersebut sah walau dengan niat pada siang hari, selama seseorang belumlah makan, minum dan melakukan hubungan intim sebelum hari itu.

Arguemntasi pendapat mereka, adalah hadits Salamah bin Al-Akwa’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mengumandangkan kepada kaum muslimin pada hari Asyura` bahwa bagi siapa yang telah makan, maka dia harus menyempurnakan atau berpuasa, dan bagi yang belum makan, maka dia janganlah makan.

(HR. Al-Bukhari no. 1924 dan Muslim 1135)

Mereka mengatakan, bahwa seruan itu serta perintah untuk berpuasa pada siang hari, menunjukkan bahwa niat sah diadakan pada siang hari.

Juga mereka mengatakan, bahwa pada hakikatnya, niat disaat terbitnya fajar menyertai awal bagian dari ibadah puasa. Sedangkan niat pada malam hari hanyalah menyertai ibadah puasa tersebut secara perkiraan semata.

Adapun mayoritas ulama berargumen dengan beberapa dalil, diantaranya,

Hadist Aisyah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bagi siapa yang tidak meniatkan puasa pada waktu malam sebelum terbitnya fajar, maka puasanya tidak sah puasa baginya.”

(HR. Abu Dawud no. 3454, An-Nasa`i no. 2330, At-Tirmidzi no. 730, Ibnu Majah no. 1700, Ibnu Khuzaimah 3/no. 1933, Ad-Darimi 2/no. 1698, AdDaraquthni 2/172. Hadist ini di dha’ifkan oleh Al-‘Allamah Al-Albani didalam Dha’if Al-Jami’ no. 6535)

Hadist di atas terdapat perbedaan pendapat, Ibnu Juraij meriwayatkannya secara marfu’, sementara beberapa perawi tsiqah lainnya semisal Malik, Ma’mar, Ubaidullah, Yunus dan Ibnu Uyainah meriwayatkan secara mauquf. Dan pula riwayat Ibnu Juraij sendiri dengan pola “‘an’anah” sementara dia adalah perawi mudallis. Dan juga dia meriwayatkannya dari Az-Zuhri, sedangkan riwayatnya dari Az-Zuhri diperbincangkan.

Selain itu juga, terdapat idhthirab (kegoncangan) dalam riwayatnya, terkadang dia mengatakan dari Salim dari bapaknya, dan terkadang mengatakan dari Hamzah dari bapaknya, … Dan juga dengan atsar Ibnu Umar, beliau berkata, “Tidak sah puasa kecuali yang meniatkannya sebelum fajar.”

Dan atsar senada juga diriwayatkan dari Aisyah.

(HR. Malik didalam Al-Muwaththa` 1/288, dan An-Nasa`i 4/198)

Mereka mengatakan, bahwa puasa Ramadhan puasa wajib. Maka ibadah tersebut membutuhkan adanya niat sebagaimana halnya puasa qadha’.

Dan mayoritas ulama, memberi jawaban terhadap hadits yang dijadikan argumen oleh ulama yang membolehkan niat puasa wajib disiang hari, bahwa hadits tersebut berkaitan dengan puasa Asyura`, yang bukan merupakan puasa fardhu/wajib.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Adapun puasa Asyura`, maka tidaklah ada penetapak kewajibannya. Karena Mu’awiyah berkata, saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah hari Asyura`, dan Allah tidaklah mengharuskan bagi kalian untuk berpuasa pada hari tersebut. Bagi siapa yang mau, dia diperbolekan berpuasa, dan bagi yang mau juga diperbolehkan berbuka.”

(HR. Al-Bukhari no. 2003 dan Muslim no. 795)

Seandainya puasa Asyura` wajib, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membolehkan untuk berbuka, …”

Ketiga, Bagi yang tidak mengetahui masuknya Ramadhan kecuali di siang hari Ramadhan, apakah yang harus dia lakukan?

Dalam kaitannya dengan masalah niat, jikalau seseorang tidak mengetahui masuknya bulan Ramadhan -berdasarkan rukyah hilal- kecuali pada siang hari Ramadhan, semisal jika seorang Kafir memeluk Islam di siang hari Ramadhan, apakah dia diharuskan berpuasa pada hari tersebut ataukah tidak? Demikian juga jikalau seorang wanita bersih dari hadi dan
nifas, atau seorang anak kecil mendapatkan masa balighnya pada siang hari Ramadhan?

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat, bahwa dia diharuskan untuk berpuasa dan mengqadha` puasanya.

Ulama lainnya berpendapat, bahwa dia berpuasa, dan puasanya shahih.

Dan ulama lainnya berpendapat, bagi yang telah makan di awal hari, maka dia diperbolehkan makan pada akhir hari tersebut.

Pendapat yang lebih tepat -insya Allah-, bahwa puasa orang tersebut pada hari itu shahih dan tidak diharuskan baginya qadha`. Berdasarkan hadits Salamah bin Al-Akwa` terdahulu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyeru kepada kaum muslimin pada hari Asyura`, “Bagi siapa yang telah makan, hendaknya dia menyempurnakan atau berpuasa dan bagi yang belum maka, maka janganlah dia makan.”

Keempat, apakah niat puasa Ramadhan disyaratkan pada setiap hari di bulan Ramadhan ataukah cukup dengan niat di awal hari Ramadhan?

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha dan ahlil-ilmi. Terdapat dua pendapat dikalangan mereka yang juga merupakan dua riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat pertama, bahwa niat diharuskan pada setiap hari pada bulan Ramadhan.

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Mereka berargumen dengan hadits-hadits serta atsar yang mauquf kepada Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah -yang telah disebutkan sebelumnya-, bahwa tidak sah niat bagi yang tidak meniatkannya di waktu malam.

Dalam penafsiran ulama yang menyatakan pendapat ini, hadits dan atsar tersebut berlaku pada setiap hari di bulan Ramadhan secara terpisah. Disebabkan puasa Ramadhan adalah ibadah dan setiap ibadah disyaratkan adanya niat.

Mereka juga mengatakan, bahwa hal tersebut di analogikan kepada shalat lima waktu pada setiap hari, dimana diantara dua ibadah shalat terpisahkan dengan perbuatan-perbuatan yang bukan bagian dari ibadah shalat, bahkan menggugurkan ibadah shalat. Dengan demikian setiap shalat mengharuskan adanya niat tersendiri secara terpisah. Demikian halnya dengan ibadah puasa.

Pendapat kedua, niat hanya diharuskan sekali di awal bulan. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, al-Laits bin Sa’ad, Imam Ahmad pada salah satu riwayat beliau dan Ishaq.

Argumentasi mereka adalah firman Allah subhanahu,

“Bagi siapa yang mendapati bulan Ramadhan diantara kalian, maka diharuskan baginya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)

Mereka mengatakan, bahwa penamaan bulan Ramadhan mengacu pada satu zaman waktu. Dan ibadah puasa Ramadhan dari awal hingga akhir adalah sebuah ibadah yang satu layaknya shalat dan haji, dengan begitu hanya membutuhkan sekali niat.

Dan juga dengan hadits Umar bin al-Khaththab -radhiallahu ‘anhuyang masyhur, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal haruslah disertai dengan niat. ..”

Ash-Shan’ani mengatakan, “Dikarenakan Ramadhan kedudukannya sama dengan sebuah ibadah, dan berbuka pada malam-malam Ramadhan juga merupakan ibadah, yang dengan berbuka tersebut akan membantu pengerjaan puasa pada siang hari Ramadhan.”

Pendapat yang shahih, adalah pendapat yang kedua. Sedangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat keharusan niat disetiap hari, telah diketahui ke-dha’ifannya. Dan atsar Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah sendiri, mujmal/global, dapat ditafsirkan pemberlakuannya yakni niat- pada setiap hari, dan juga hanya pada sekali di awal Ramadhan. Wallahu a’lam.

Kelima, -dari furu’ permasalahan diatas- apabila seorang wanita bersih dari hadih atau nifas pada siang hari Ramadhan, apakah dia dikenakan keharusan niat puasa Ramadhan?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama,

Bagi yang perpendapat bahwa niat diharuskan pada setiap hari Ramadhan, maka wanita tersebut dikenakan keharusan niat puasa Ramadhan. Dan dalam pandangan ulama yang berpendapat niat cukup pada awal bulan Ramadhan, membolehkan puasa dan tidak diharuskan bagi wanita tersebut niat.

Keenam, masih berkaitan dengan furu’ diatas- apabila seorang wanita haidh pada siang hari Ramadhan, dan dia tidak melakukan amalan-amalan yang membatalkan puasa. Apakah puasa pada hari itu sah baginya ataukah tidak?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama, Bagi yang berpendapat dengan pendapat yang pertama, puasa pada hari itu tidak sah baginya. Dan wanita tersebut diharuskan untuk mengqadha`.

Dan bagi yang berpendapat dengan pendapat yang kedua, puasa wanita tersebut sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengqadha`. Disebabkan wanita tersebut telah meniatkan puasa di awal bulan Ramadhan.

Demikian juga halnya dengan seorang muslim yang murtad pada siang hari Ramadhan, lalu dia masuk Islam kembali sebelum terbenamnya matahari sementara dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Terdapat dua pendapat semisal masalah di atas.

(Lihat pembahasan ini didalam Majmu’ al-Fatawa 25/121, al-Mughni 4/151 dan 154-155, al-Istidzkar 10/35, al-Bada’i ash-Shana’i 2/228, Kasysyaf al-Qina’ 2/284-285, Subul as-Salam 2/870, as-Sail al-Jarrar 2/37-38 dan asy-Syarh al-Mumti’ 6/369-370)

Sumber : darel-salam.com

Tinggalkan komentar