Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Hukum-hukum Ramadhan : Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan Puasa Pada Hari Yang Meragukan (Yaum Asy-Syak)

Posted by Abahnya Kautsar pada 14 Agustus 2009

Dalam menentukan maksud dari yaum asy-syak (hari yang meragukan) terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yaum asy-syak adalah hari ketiga puluh bulan Sya’ban, apabila pada malamnya sangat cerah tidak terdapat awan. Dan kaum muslimin tidaklah menyaksikan hilal Ramadhan atau seseorang yang rukyah hilalnya tidak dapat dipercaya mempersasikannya.

Sementara hari yang mendung atau berkabut tidaklah dikategorikan sebagai yaum asy-syak.

Di antara mereka ada yang berpendapat, apabila kaum muslimin berbeda pendapat, apakah hari ini Ramadhan atau masuh bagian dari bulan Sya’ban, maka hari itulah yaum asy-syak.

Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa langit yang cerah pada saat rukyah hilal- bukanlah yaum asy-syak, melainkan disaat mendung itulah dikatakan yaumu asy-syak.

Pendapat yang tepat bahwa yaum asy-syak -hari yang meragukan- adalah hari dimana terdapat kemungkinan, apakah hari tersebut termasuk bulan Ramadhan ataukah masih termasuk bulan Sya’ban, baik dalam keadaan cerah atau mendung. Wallahu a’lam.

Adapun hukum berpuasa pada yaum asy-syak -hari yang meragukan- terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama.

Pendapat yang pertama, bahwa diharuskan berpuasa pada hari ke tiga puluh dengan niat Ramadhan.

Pendapat ini merupakan mazhab Umar, Ali, Ibnu Umar, Mu’awiyah, Amru bin Al-‘Ash, Anas, Abu Hurairah, Aisyah dan Asma` -radhiallahu ‘anhum-. Dan juga merupakan pendapat para ulama besar generasi tabi’in, di antara mereka adalah Thawus, Mujahid, Salim, Bakr bin Abdullah Al-Muzan, Mutharrif bin Abdullah dan Maimun bin Mihran.

Berdasarkan pendapat ini, apakah hari itu boleh dinamakan sebagai yaum asy-syak ataukah tidak?

Terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat yang kedua, puasa pada hari itu tidaklah diperbolehkan jika dikategorikan sebagai puasa Ramadhan atau sebagai puasa sunnah yang mutlak. Akan tetapi diperbolehkan jika puasa pada hari tersebut sebagai puasa qadha`, puasa nazar atau puasa sunnah yang sesuai dengan kebiasaan.

Pendapat ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Malik, Sufyan, Ibnu AlMubarak, Al-Auza’i dan selain mereka.

Pendapat yang ketiga, bahwa rujukan puasa tidaknya pada hari itu diserahkan kembali kepada pandangan imam/pemimpin.

Pendapat ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin.

Ketiga pendapat ini adalah juga merupakan tiga riwayat dari Imam Ahmad yang masyhur didalam mazhab Hanabilah.

(Lihat: Al-Inshaf 3/269-270, Al-Furu’ 3/706, At-Tahqiq fii Masaa`il Al-Khilaf 5/287-289, Hilyah Al-Fuqaha` 3/178-179, Al-Mughni 4/128, Fathul Bari 4/145-146 dan Nail Al-Authar 4/216)

Pendapat yang keempat, bahwa puasa pada hari tersebut makruh, baik puasa yang dilakukan sebagai puasa wajib, atau puasa sunnah, atau puasa kaffarah, ataukah puasa nazar. Terkecuali jika dia menyambungnya dengan puasa sebelumnya ataukah sesuai dengan hari dimana dia terbiasa berpuasa, maka jika demikian puasa tersebut tidaklah makruh.
Pendapat ini adalah pendapat beberapa sahabat seperti, Ali, Ammar bin
Yasit -radhiallahu ‘anhuma-, dan dari ulama tabi’in semisal Asy-Sya’bi dan An-Nakha’i dan juga merupakan pendapat Malik dan Al-Auza’i.

Pendapat yang kelima, bahwa puasa pada hari tersebut tidaklah makruh, baik puasa wajib atau puasa sunnah.

Pendapat ini merupakan mazhab Aisyah dan Asma`.

Pendapat yang keenam, bahwa jika hari itu cerah, maka puasa pada hari tersebut makruh. Dan jika mendung maka dia haruslah berpuasa sebagai bagian dari puasa Ramadhan.

Pendapat ini merupakan mazhab Hanabilah.

Pendapat yang ketujuh, bahwa jika dia berpuasa padahari tersebut sebagai bagian dari puasa wajib Ramadhan tidaklah diperbolehkan. Dan jika dia berpuasa sebagai puasa sunnah, maka diperbolehkan dan bukan suatu yang makruh.

Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik pada salah satu riwayat beliau.

Pendapat yang kedelapan, bahwa puasa pada hari tersebut sebagai bagian dari puasa wajib Ramadhan, adalah amalan yang sunnah.

Pendapat ini adalah mazhab Ahlil Bait.

Adapun ulama yang mengemukakan pendapat pertama berargumen dengan beberapa dalil, di antaranya,

Hadist Abdullah bin Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya -bilangan hari- bulan adalah dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka hingga melihat hilal. Dan jika kalian terhalang mendung, maka takdirkanlah bulan tersebut.”

Nafi’ mengatakan, “Dan adalah Ibnu Umar apabila dua puluh sembilan hari bulan Sya’ban telah berlalu, beliau mengutus seseorang untuk melihat hilal. Jika dia melihatnya, maka demikianlah. Dan jika dia tidak melihatnya dan antara pandangannya tidak terhalang awan atau kabut maka beliau pada keesokan harinya berbuka. Dan jika pandangannya terhalang dengan awan atau kabut maka kesokan harinya beliau berpuasa.”

(HR. Malik di dalam Al-Muwaththa` no. 286, Asy-Syafi’i dari jalan Malik di dalam Al-Umm 2/94, Al-Bukhari -Fathul Bari 4/119-, Muslim no. 2459, Ahmad 1/272, An-Nasa`i 4/134, Ibnu Majah no. 3449 dan Al-Baihaqi didalam Al-Kubra 4/25 dan Al-Ma’rifah 8/601)

Tinjuan argumentasinya,

Pertama, amalan Ibnu Umar. Karena sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengetahui maksud sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana kita merujuk pada penafsiran beliau pada hadits tentang khiyar majlis -konsepsi aqad jual beli ditempat-, maka demikian juga pada hadits ini.

Kedua, bahwa makna dari perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “takdirkanlah bulan tersebut,” adalah sempitkanlah hitungan harinya. Dan hal itu berarti dua puluh sembilan hari. Semisal dengan firman Allah ta’ala,

“Dan bagi yang rizkinya disempitkan.”

Demikianlah dalil pendapat yang pertama. Namun telah diriwayatkan dari Ibnu Umar sendiri hadits yang menyelisihi pendapat beliau ini. Diriwaytakan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/71 dan Al-Baihaqi 4/209, dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Seandainya saya berpuasa selama setahun, niscaya saya akan berbuka pada hari yang meragukan (yaumusy-syak).”

Hanya saja, pada atsar ini terdapat perawi yang bernama Abdul Azis bin Hakim dan dia adalah perawi yang dha’if.

Dalil yang lainnya, adalah hadits Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seseorang, “Wahai fulan ! Tidakkah engkau berpuasa pada akhir bulan ini?” yaitu bulan Sya’ban.

Orang tersebut mengatakan, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Belaiu Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila engkau berbuka, maka puasalah dua hari. –pada riwayat Muslim, “Apabila engkau berbuka pada bulan Ramadhan, maka berpuasalah sehari atau dua hari.”

(HR. Al-Bukharino. 1882 dan Muslim no. 1161)

Sisi inferensi dari hadits ini, bahwa makna (sarir/sarur) adalah akhir-akhir pada bulan Sya’ban, sebagaiman pendapat ini adalah pendapat mayoritas pakar semantik Arab.

Mereka mengatakan, maka puasa pada akhir bulan Sya’ban, tidak lain adalah puasa pada yaumusy-syak (hari yang meragukan) ini. Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang tersebut untuk berpuasa sehari atau dua hari, hal itu menunjukkan kewajiban untuk berpuasa pada yaukus-syak.

Dan juga hadits Ummu Salamah dan Aisyah, keduanya mengatakan, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa bulan Sya’ban dengan puasa Ramadhan.” Pada riwayat lainnya, “Bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berpuasa sebulan penuh dalam satu tahun kecuali bulan Sya’ban yang beliau sambung dengan Ramadhan.”

(HR. Abu Dawud no. 2336, At-Tirmidzi no. 736, An-Nasa`i4/2174, Ibnu Majah no. 1648, Ahmad 6/311 dan Ad-Darimi 2/1739, hadits tersebut dishahihkan juga oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Adapun ulama yang mengemukakan pendapat yang kedua, diantara dalil-dalil mereka adalah sebagaimana dibawah ini,

Hadist Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Berpuasalah kalian berdasarkan rukyah/melihat hilal dan berbukalah kalian berdasarkan rukyah hilal. Jikalau rukyah tersebut terhalangi mendung maka sempurnakanlah bilanyan Sya’ban tiga puluh hari.”
Pada riwayat lainnya, “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal dan jananlah kalian berbuka hingga kalain melihat hilal. Jikalau rukyah kalian terhalangi mendung maka hitunglah bilangan bulan menjadi tiga puluh.”

(HR. Al-Bukhari no. 1906 dan 1909 dan Muslim -Al-Minhaj- 7/188-189)

Dan hadits Abu Hurairah, beliau mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah kalian dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Jikalau kalian terhalangi dengan mendung maka puasalah kalian selama tiga puluh hari.”

(HR. Muslim -Al-Minhaj- 7/189, An-Nasa`i 4/133, Ibnu Majah no. 1655 dan Ahmad 2/259)

Hadist Hudzaifah bin Al-Yaman, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendahulukan bulan Ramadhan hingga kalian melihat hilal atau menyempurnakan bulan sebelumnya. Setelah itu berpusalah kalian hingga kalian melihat hilal atau menyempurnakan bilangan bulan tersebut.”

(HR. Abu Dawud no. 2326, An-Nasa`i 4/2125, Ibnu Khuzaimah 3/1911 dan Ad-Daraquthni 2/161)

Hadist Aisyah beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga kemunculan- hilal Sya’ban yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjaganya pada bulan lainnya. Lalu beliau berpuasa Ramadhan karena melihat hilal, jika beliau terhalangi oleh mendung, maka beliau menghitung menjadi tiga puluh hari lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa.”

(HR. Abu Dawud no. 2325, Ahmad 6/149, Ibnu Khuzaimah 3/1910 dan AdDaraquthni 2/156)

Dan juga hadits Ibnu Abbas secara marfu’, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Apabila antara kalian dan hilal terhalangi kabut, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tig apuluh dan janganlah kalian mendahulu bulan tersebut.”
Pada lafazh riwayat An-Nasa`i, “Maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban.”
Dan pada lafazh lainnya, “Janganlah kalian mendahului bulan tersebut dengan puasa sehari atau dua hari kecuali jika hari yang salah seorang diantara kalian terbiasa berpuasa. Dan janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya lalu berpuasalah kalian hingga kalian melihat hilal. Apabila hilal terhalangi dengan awan maka sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh kemudian berbukalah.”

(HR. Abu Dawud no. 2327, At-Tirmidzi no. 688, An-Nasa`i 4/2129, Ahmad 1/226, Ibnu Hibban no. 3590, Ibnu Khuzaimah 1912 dan Al-Hakim 1/424)

Hadist ini diriwayatkan dari jalan Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Dab beberapa perawi telah meriwayatkan hadits tersebut dari Simak, diantara mereka Zaidah bin Qudamah, Al-Hasan bin Shalih, Syu’bah bin Al-Hajjaj, dan Hatim bin Muslim bin Abi Shaghirah.

Dan hadits yang diriwayatkan dari jalan Ayyub bin Abi Tamimah dari Nafi’ dari Ibu Umar, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hilal Ramadhan, “Apabila kalian telah melihatnya maka puasalah. Dan apabila kalian telah melihatnya maka berbukalah. Apabila kalian terhalangi mendung maka takdirkanlah bulan tersebut menjadi tiga puluh hari.”

Dan juga diriwayatkan dari jalan Ibnu Abi Dawud dari Nafi’ dari Ibnu Umar dengan lafazh hadits yang sama dengan lafazh hadits Ibnu Abbas.

(HR. Abdurrazzaq didalam Al-Mushannaf 4/156)

Dan hadits Ammar bin Yasir, beliau berkata, “Barang siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka sungguh dia telah melanggar Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Hadist tersebut berasal ari jalan Abu Khalid Al-Ahmar dari Amru bin Qais dari Abu Ishaq dari Ammar.

(HR. Ad-Darimi 2/1682 dan Ibnu Khuzaimah 3/1914)

Adapun pendapat yang ketiga , yang merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, mereka berargumen dengan beberapa dalil diantaranya, Hadist, “Puasalah kalian adalah hari dimana kaum muslimin berpuasa dan hari berbuka kalian adalah hari dimana mereka berbuka.”

(HR. Ibnu Adi didalam Al-Kami 6/ no. 2279 dan didalam sanadnya terdapat Muhammad bin Amru Al-Waqidi. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu AlQaisaraani didalam At-Tadzkirah no. 501, dan dia adalah perawi yang munkarul-hadits)

Mereka juga mengatakan, bahwa hal ini bertujuan untuk mncegah mafsadat yang sangat besar karena menyelisihi imam/pemimpin kaum muslimin. Demikian pula hal ini bertujuan untuk menyatukan kaum muslimin dan mencegah penyebaran perbedaan pendapat ditengah-tengah komunitas kaum muslimin.

Sementara ulama yang berpendapat bahwa hukum puasa pada yaumussyak adalah makruh, berargumen dengan hadits-hadits pada pembahasan ini dan menarik kesimpulan bahwa larangan tersebut hanya mengindikasikan makna makruh tidak sampai pada derajat haram. Dan ulama yang menyatakan adanya perbedaan antara hari yang cerah dan yang mendung, hadits-hadits pada pembahasan ini menyanggah perbedaan tersebut. Wallahu a’lam

Dan pendapat yang paling tepat dalam masalah ini, insya Allah adalah pendapat yang kedua. Yaitu pendapat yang menyebutkan larangan berpuasa pada yaumusy-syak -selain beberapa puasa yang telah disebutkan sebelumnya- Dan pendapat ini adalah pendapat yangpaling utama untuk di amalkan.

Adapun argumentasi ulama yang mengemukakan pendapat pertama, yaitu yang mengharuskan puasa pada yaumusy-syak atau yang membolehkannya, dapat dijawab dari beberapa tinjauan,

Pertama, perkataan Ibnu Umar berkaitan dengan puasa yaumusy-syak, bukanlah pendapat yang disepakati oleh kalangan sahabat, melainkan pendapat yang terdapat perselisihan diantara mereka. Asy-Syaukani menyebutkan, “Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Diantara riwayat dari sahabat yang mengatakan makruh berpuasa pada yaumusy-syak adalah riwayat dari Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ammar, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah danAnas bin Malik.”

Kesimpulannya bahwa para sahabat berbeda pendapat dalam hal itu. Dan pendapat sebagian diantara mereka bukan argumen untuk menggugurkan pendapat sebagian lainnya. Melainkan yang menjadi acuan hukum adalah keterangan yang datang dari syariat …”

Dan juga beberapa atasar dari ulama Tabi’in berkaitan dengan larangan berpuasa pada yaumusy-syak, yang mana menunjukkan bahwa pendapat ini mayshur, dan sanggahan bagi yang berpendapat selain pendapat larangan tersebut.

(Atsar-Atsar ini dapa ilihat didalam Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah 2/285-286)

Kedua, penafsiran sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “maka takdirkanlah bulan tersebut.” Yang mana makna takdirkan menurut anggapan ulama yang mengharuskan puasa yaumusy-syak bermakna sempitkanlah hitungan bulannya.

Jawabnya: Bahwa hadits-hadits yang menerangkan tentang hilal sebuah bulan berlaku secara umum pada bulan apapun juga, baik itu bulan Sya’ban, Ramadhan dan selainnya.

Sementara lafazh riwayat, “Maka sempurnakanlah hitungan bulan,” juga berlaku umum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan sebuah bulan selain bulan hijriyah lainnya. Bahkan makna hadits-hadits tersebut, “Puasalah kalian jika melihat hilal dan berbukalah kalian jika melihat hilal, jika kalian terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan tersebut,” yakni jika puasa kalian dan berbuka kalian terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan tersebut.

Yang menguatkan juga, adalah penegasan pada beberapa riwayat yang menyebutkan bilangan tiga puluh hari, sebagaimana pada hadits Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas dan selainnya. Riwayat-riwayat tersebut adalah tafsir dari sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka takdirkanlah bulan tersebut.”

Ketiga, sedangkan hadits Imran bin Hushain, berkaitan dengan makna “sarar/sarur,” yang ditafsirkan sebagai akhir sesuatu. Dimana pada hadits tersebut maknanya adalah akhir bulan Sya’ban, dapat dijawab sebagai berikut:

Al-Khaththabi didalam Ma’alim As-Sunan mengatakan, “Kedua hadits ini yaitu hadits Imran dan hadits Ibnu Abbas, “Janganlah kalian mendahulu bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari,” adalah dua pendapat yang kontradiksi secara zhahir.

Dan sisi penyelarasan keduanya, bahwa hadits yang pertama, disaat seseorang telah menharuskan dirinya untuk berpuasa pada hari tersebut karena sebuah nazar, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikannya. Ataukah hari itu adalah hari dimana dia terbiasa melakukan puasa yang bertepatan dengan akhir bulan Sya’ban. Lalu orang tersebut meninggalkannya karena menanti masuknya bulan Ramadhan. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajurkan baginya untuk meng-qadha` puasanya. Sedangkan larangan pada hadits Ibnu Abbas, jika seseorang memulai berpuasa tanpa adanya pengharusan puasa akibat nazar dan bukan juga suatu kebiasaan dia sebelumnya. Wallahu a’lam.

(Mukhtashar Sunan Abu Dawud 3/217-218)

Keempat, dan hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan Ramadhan.

Dapat dijawab, bahwa maksud beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa bulan Sya’ban seluruhnya, sebagaimana pada riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan AnNasa`i. Namun hal tersebut bukanlah permasalahan yang diperselishkan. Karena ulama yang melarang puasa yaumusy-syak membolehkan hal itu, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Jawabannya lainnya dengan mengatakan, bahwa terdapat hadits Aisyah lainnya, beliau mengatakan, “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.”

Dan pada lafazh lainnya, “Tidaklah beliau berpuasa pada sebuah bulan sebagaimana beliau berpuasa pada bulan Sya’ban. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali sedikit bahkan beliau telah berpuasa pada bulan Sya’ban penuh.”

Dan pada lafazh lainnya, “Tidaklah saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan dan tidaklah saya melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bepuasa pada suatu bulan lebih banyak kecuali pada bulan Sya’ban.”

(HR. Al-Bukhari no. 1970, Muslim no. 1156 danAhmad 6/128)

Adapun pendapat yang ketiga, dapat dijawab bahwa masalah ini didasarkan pada penetapan syara’. Dan telah shahih bahwa pendapat yang dikuatkan oleh dalil syara’ adalah pendapat yang melarang puasa pada yaumusy-syak. Sedangkan pendapat ketiga, yang menganjurkan agar kaum muslimin ikut kepada para pemimpin mereka, sehingga tecapai mashalat persatuan dan ukhuwah, menghindari mafsadat perbedaan dan penyeisihan dari pemimpin mereka, adalah hukum yang disadur atas dasar sebab-akibat. Jika sebabnya telah sirna, maka hukum tersebut juga turut terhapuskan.

Ibnu Abdil Barr mengatakan di dalam Kitab beliau Al-Istidzkar,

“Pendapat mayoritas ulama, bahwa tidaklah berpuasa Ramadhan kecuali dengan dasar keyakinan keluarnya/berakhirnya bulan Sya’ban. Dan keyakinan itu adalah berdasarkan rukyah hilal dan penyempurnaan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Dan demikian pula tidaklah memutuskan berakhirnya bulan Ramadhan kecuali dengan keyakinan yang semisalnya.

Allah ta’ala berfirman,

“Bagi siapa yang telah menyaksikan bulan -Ramadhan- tersebut maka dia diharuskan berpuasa.” Maksudnya -wallahu a’lam- bagi siapa diantara kalian yang mengeahui masuknya bulan Ramadhan atas dasar keyakinan, mka dia diharuskan berpuasa. Ilmu yakin, adalah rukyah yang benar, jelas dan zhahir atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban.”

(Lihat: Al-Majmu’ 1/400, Fahul Bari 4/120, Ma’alim As-Sunan 3/217, AtTamhid 14/349-350, Al-Istidzkar 10/15-16, Majmu’ Al-Fatawa 20/96, Al-Mghni 4/128-130, Sail Al-Jarrar 2/35-36, Nail Al-Authar 4/213-216, Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/312 dan Tamamul Minnah hal. 398)

Sumber : darel-salam.com

Tinggalkan komentar