Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Hukum seseorang yang makan dan minum atau menggauli istrinya namun dalam keadaan lupa, apakah yang diharuskan baginya?

Posted by Abahnya Kautsar pada 22 Agustus 2009

Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat dikalangan ulama,

Pertama, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa dia tidaklah dianggap berbuka dan tidak ada keharusan meng-qadha`.

Pendapat  ini  merupakan  pendapat  Abu  Hanifah,  asy-Syafi’i,  Ahmad  dan Ishaq.  Dan  juga  diriwayatkan  dari  pendapat  Ali  bin  Abi  Thalib,  Abu Hurairah, Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhum-, Atha, Thawus bin Kaisan, Ibnu Abi Dzi’b, al-Auza’i dan ats-Tsauri.

Di antara  dalil  mereka,  adalah  hadits  Abu  Hurairah -radhiallahu ‘anhu- bahwa seseorang telah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telahmkan dan minum tanpa sengaja dan saya dalam keadaan berpuasa.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya  Allah  telah  memberimu  makan  dan minum.”

Pada  riwayat  lainnya,  “Sempurnakanlah  puasamu,  karena  sesungguhnya Allah telah memberimu makan dan minum.”

(HR. al-Bukhari no. 1933, Muslim no. 809, Ahmad 2/395, 425, 489, 491, 493, dan 514, Abu Dawud no. 2398 dan selainnya)

Dan hadits Abu Hurairah  -radhiallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berbuka pada siang hari Ramadhan karena lupa,  maka  dia  tidak  diharuskan  mengqadha`  dan  tidak  ada  keharusan kaffarah baginya.”

(HR. al-Hakim 1/430, Ibnu Khuzaimah no. 1990, Ibnu Hibban no.  3521, alBaihaqi 4/486-487 dan didalam al-Ma’rifah no. 3484)

Namun hadits ini, pada lafazh, ” maka dia tidak diharuskan mengqadha` dan   tidak   ada   keharusan   kaffarah   baginya.”   Berasal   dari   riwayat Muhammad bin Amru dari Abu Salamah. Dia perawi yang tsiqah hanya saja para  huffazh  hadits  lainnya  semisal  Ibnu  Sirin  dan  Khallas  bin  Amru meriwayatkan hadits tersebut tanpa lafazh tambahan tersebut.

Kedua,   bahwa   dia   telah   dianggap   berbuka,   dan   diharuskan   untuk mengqadha`.  Dikarenakan  sesuatu  yang  dilakukan  dengan  sengaja  dapat membatalkan puasa maka dalam keadaan lupa tidaklah diperbolehkan dan juga  membatalkan  puasa.  Semisal  dengan  hubungan  suami  istri  dan meninggalkan niat karena lupa.

Pendapat ini adalah mazhab Malik dan Rabi’ah ar-Ra’y

(Lihat, at-Tarikh ash-Shaghir 1/325, al-Kami fi adh-Dhu’afa 7/109, adh-Dhu’afa-al-
‘Uqaili 4/232, al-Ilal karya Ibnu Abi Hatim 1/225, at-Tamhid 7/174.)

Ketiga,  puasanya  makruh.  Pendapat  ini  adalah  riwayat  dari  imam  asySyafi’i.

Pendapat yang rajih, insya Allah, adalah pendapat mayoritas ulama. Asy-Syaukani  mengatakan,  “Dan  mayoritas  ulama  telah  mengamalkan hadits  ini  dan  inilah  yang  benar.  Dan  bagi  siapa  yang  membenturkan sunnah ini dengan pendapat yang keliru, maka pendapat dia dicampakkan ke wajahnya. Dan sebagian besar kaidah-kaidah Ushuliyah yang dijadikan sandaran oleh para penulis kitab fiqh didasari atas pendapat/logika belaka,
merekapun mengacu kepada logika tersebut tanpa mereka sadari.”

Sedangkan mazhab Imam Malik danRabi’ah ar-Ra’y, hadits pada masalah ini adalah sanggahan baginya.

Ibnu Qudamah berkata, ”  … dan dikarenakan ibadah puasa adalah ibadah  yang  terdapat  hal  yang  diperbolehkan  dan  diharamkan.  Dan diantara hal-hal yang harus dihindarkan dari ibadah puasa terdapat hal-hal yang  dibedakan  -hukumnya-  antara  yang  disengaja  dan  terlupa  semisal pada  shalat  dan  haji.  Adapun  niat,  meninggalkannya  bukanlah  dalam bentuk perbuatan, dan dikarenakan niat adalah salah satu diantara syarat-syaratnya yang tidak dapat gugur karena lupa berbeda dengan pembatal-pembatal lainnya. Adapun jima’, hukumnya lebih berat dan dapat dilakukan pencegahan.”

Tinggalkan komentar