Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

USHUL AS-SUNNAH (bag. 2)

Posted by Kautsar pada 28 Januari 2008

Meninggalkan segala bentuk khusumah – pertikaian – dan bermajelis bersama dengan para Ahlul Ahwa’ – pengikut hawa nafsu -. Meninggalkan semua perbincangan dan perdebatan yang berkaitan dengan masalah-masalah – ushul – Agama.

Penjelasan:
Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan didalam Al-Qur`anAl Karim , larangan memperdebatkan masalah-masalah yang telah terang didalam Agama, Allah ta’ala berfirman : –

” Dan diantara kaum manusia ada diantara mereka yang yang mempertentangkan tentang Allah ta’ala tanpa dasar ilmu dan tidak juga adanya petunjuk dan Kitab yang membawa cahaya. Dan tempat berpalingnya ia selanjutnya adalah kesengsaraan tatakala ia telah disesatkan dari jalan Allah di dunia ini dan kami timpakan baginya adzab yang pedih pada hari kiamat “

Dan firman Allah ta’ala : ” Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki ilmu atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan apa yang diniatkan kesemuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya ”

Dan bersabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam :

” Tidaklah akan sesat suatu kaum setelah diberikan kepada mereka hidayah terkecuali mereka berpaling kepada Al Jidal – perdebatan – , lantas beliau membacakan firman Allah ta’ala : Dan sekali-kali mereka tidak akan menyanggah mu Muhammad melainkan hanyalah perdebadat belaka ”
( Dikeluarkan oleh Ahmad 5 / 252 dan 256 dan juga oleh Ibnu Majah dan At Tirmidzi )

Dalil-dalil syara’ ini menunjukkan tercelanya prilaku memperdebatkan dan memperpanjang perbincangan – yang sia-sia tanpa adanya contoh dari Salaf – berkenaan dengan masalah-masalah Agama, terlebih lagi jika menyangkut dengan bahasan Aqidah Asma’ dan Shifat. Dimana sebagian besar firqoh-firqoh yang telah menyelisihi Al Haq, tiada lain dikarenakan kerancuan mereka dalam memahami dalil-dalil syara’ lantas memperdebatkannya sesama mereka.

Berkata Al Hafidz Ibnu Khuzaimah – rahimahullah : ” Perdebatan seputar tauhid Asma’ dan Shifat adalah suatu bid’ah yang mereka – firqah-firqah yang menyimpang – ada-adakan, yang mana hal ini tidaklah dijumpai dari para Imam kaum muslimin , para penghulu madzhab-madzhab Islam, dan para Imam besar dalam Islam semisal Malik, Sufyan – Ats Tsaury-, Al Auza’I, Asy Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Yahya bin Yahya, Ibnul Mubarak, Muhammad bin Yahya, Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan dan Abu Yusuf, mereka tidaklah memperpanjang perbincangan tentang hal ini, dan melarang dari perdebatan dalam masalah tersebut. Mereka mengajak para pengikut mereka untuk beralih ke Al-Qur`andan As Sunnah, maka hati-hatilah kalian dengan semua bentuk perdebatan dalam masalah ini dan juga dari mempelajari kitab-kitab mereka – firqah firqah tersebut – bagaimanapun bentuknya, ”
( Lihat Kitab Al Istiqomah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 1 / 108 )

Berkata pula Abu Manshur Ma’mar bin Ahmad : ” Dan setelah itu , merupakan bagian dari As Sunnah, adalah dengan meninggalkan segala bentuk Ro’yi – Rasionalitas – , Qiyas dalam perkara Agama, meninggalkan semua bentuk Jidal/perdebatan, dan perselisihan. Dan meninggalkan untuk memulai percakapan dengan kaum Qadariyah dan Ahli Kalam, tidak mempelajari kitab-kitab tentang Ilmu Kalam, kitab-kitab tentang ilmu perbintangan – peramalan nasib dengan bintang -, maka inilah As Sunnah yang disepakati oleh para Imam yang diteladani dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. ”
( Lihat Al Hujjah bi Bayanil Mahajjah 1 / 231 – 231 ).

Dan As Sunnah menurut kami pula hanyalah setiap yang ditinggalkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berupa Atsar- Atsar, dan As Sunnah adalah suatu yang menafsirkan Al Qur’an, dan tidak didapati dalam As Sunnah adanya Qiyas, dan tidaklah kami mendatangkan bagi As Sunnah segala bentuk pemisalan, tidaklah As Sunnah itu dijangkau dengan nalar dan tidak pula dengan mengikuti hawa nafsu, melainkan bahwa As Sunnah adalah Ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.

Penjelasan:
Telah dikemukakan terdahulu, dalil-dalil dari Al-Qur`andan As Sunnah, wajibnya seorang mu’min untuk berpegang dengan As Sunnah Ash Shohihah. Dimana As Sunnah sebagai suatu pegangan dalam Syari’at yang berdiri sendiri, namun juga kebanyakan dari As Sunnah Ash Shohihah merupakan penjelas dan penafsir Al-Qur`anAl Karim

Allah subhanahu wata’ala berfirman : –

” Penjelas bagi setiap sesuatu, pemberi hidayah dan kabar gembira bagi mereka yang berserah diri ”
Berkata Abu Zamnin : ” Ketahuilah semoga Allah merahmati engkau, bahwa As Sunnah adalah penunjuk kejelasan Al Qur’an, dan As Sunnah tidak akan dijangkau sebatas Qiyas belaka dan tidak pula bersumberkan dari pemikiran akal, melainkan As Sunnah adalah Ittiba’ kepada para Imam kaum muslimin, dan sebagaimana pijakan awal kebanyakan Ulama Ummat ini … ”

Dan diantara As Sunnah yang wajib – yang mana jikalau seseorang meninggalkan salah satu bagian darinya tidak menerimanya, namun ia beriman kepada hal itu, tidaklah ia dikategorikan sebagai Ahlus Sunnah – adalah Beriman kepada Al Qadar – Takdir – yang baik maupun yang buruk. Dan membenarkan hadis-hadist yang menerangkan tentang adanya Takdir dan beriman dengan Takdir.
Penjelasan:
Masalah selanjutnya yang disebutkan oleh Al Imam Ahmad, adalah masalah yang menjadi bahan perdebatan kebanyakan firqah-firqah yang menyimpang dari kebenaran, bahkan merupakan satu dari sekian masalah yang menjadi sebab penyimpangan ummat – kaum muslimin – sepeninggal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam, berbicara tentang hak Allah atas diri hamba-hamba-Nya, mempertanyakan dan memperdebatkan ketentuan Allah yang Allah telah gariskan bagi setiap hamba disetiap desahan nafas mereka, yang tiada lain adalah perkara gaib yang Allah tidak berikan kepada makhluq pengetahuan sedikitpun tentangnya … terkadang mereka –para firqah-firqah yang keliru tersebut – menukilkan Al Haq, namun kebanyakan yang terjadi mereka lebih banyak menorehkan kebatilan diatas Al Haq yang mereka inginkan …

Berkata Al Imam Asy Syaukani – rahimahullah -, menyebutkan sebab peyimpangan yang ada dari firqah-firqah tersebut, : ” Dan sebab dari kesemua itu, dikarenakan mereka yang telah menasabkan diri mereka kepada ilmu, tidaklah menahan diri sebagaimana yang Allah ta’ala serukan, dan mereka menelaah beberapa pebahasan yang Allah tidak idzinkan bagi mereka untuk menelaahnya, dan usaha mereka untuk menyingkap suatu ilmu yang Allah telah simpan di ilmu gaib-Nya … ” -hingga beliau berkata : – ” Dan salah satu kalangan dari mereka – yang merupakan kalangan – dari sekian kelompok yang menapaki ilmu yang Allah subahanhu wata’ala tidak bebankan atas mereka – yang paling ringan beban dosa dan paling kecil ancaman atas mereka dan kema’shiyatannya, adalah kelompok yang hendak meraih pencapaian menuju kebenaran, meniti diatas kebenaran, hanya saja mereka menempuh jalan yang sulit, mendaki pendakian yang penuh dengan rintangan yang berat untuk menyingkap kebenaran itu, dimana yang menempuh jalan tersebut tidak ada yang kembali dengan selamat terlebih lagi untuk meraih dengan jalan itu tujuan yang benar .
Namun dengan demikianpun, mereka menegaskan beberapa landasan ushul yang mereka sangkakan sebagai suatu kebenaran, lalu menepis dengan ushul tersebut ayat-ayat Qur’aniyah, hadist-hadist yang shohih dan menyebutkan sebab penolakan mereka dengan argumen yang rapuh dan angan-angan yang kosong. Dan mereka ini ada dua kelompok. Yang kedua : Adalah mereka yang telah melampaui batas dalam penetapan Takdir Allah … ” hingga akhir perkataan Al Imam Asy Syaukani .
( Lihat dalam At Tuhaf fii Madzahib Salaf hal. 27 – 28 )
Masalah yang dimaksud oleh beliau – rahimahullah – adalah masalah yang berkenaan dengan Takdir – Al Qadar – Allah subhanahu wata’ala.
Al Qadar / takdir , sendiri dalam tinjauan maknanya, adalah suatu pengkhabaran tentang Ilmu allah yang mendahului segala sesuatu yang terjadi dari setiap amalan para hamba-hamba-Nya dan segala bentuk upaya mereka dan bahwa kesemuany itu bersumberkan dari ketentuan Allah ta’ala, dan Dia jugalah yang menciptakannya – perbuatan tersebut – yang baik maupun yang buruk.

Masalah iman kepada Al Qadar, yang baik maupun yang buruk, adalah salah satu dari ushul Iman dan merupakan juga salah satu dari rukun Iman, yang disebutkan dalam hadist Jibril – ‘alaihis salam – yang datang mengajarkan Al Islam, Al Iman dan Al Ihsan. Dimana dalam pengajaran tentang Al Iman, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab :

” Yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, kepada hari Akhir dan beriman kepada Al Qadar yang baik dan yang buruk. ”

Dan tidak akan sempurna keimanan seseorang terkecuali ia telah menyempurnakan rukun-rukun Iman tersebut, termasuk diantaranya beriman kepada Al Qadar, yang baik dan yang buruk, dengan membenarkannya dan menerimanya sebagaiamna dijelaskan oleh Al-Qur`andan As Sunnah.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat tanpa adanya perbedaan pendapat dan keragu-raguan dikalangan mereka , wajibnya untuk menetapkan serta beriman kepada Al Qadar, dan tidaklah suatu kaum atau seseorang yang menolak keimanan kepada Al Qadar kecuali ia termasuk orang yang tidak mengenal Aqidah Nabawiyah yang lurus ataukah ia seorang pengikut hawa nafsu yang telah tergelincir dari Shirothol Mustaqim.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dalam menetapkan Al Qadar , berlepas dari sikap berlebih-lebihan – ghuluw- namun tidak juga menolak dan mengabaikan keberadaan Al Qadar bagi setiap makhluq, baik itu berkaitan dengan dzat wujud makhluq dimuka bumi namun juga dengan segala bentuk perbuatan mereka.
Mereka berpendapat bahwa Al Qadar tidaklah menafikan – menolak – adanya ikhtiar seorang hamba, bahkan bukan pula penghalang ikhtiar, disisi lain mereka mendudukkan masalah tersebut , bahwa bagaimanapun ikhtiar seorang hamba, pada akhirnya itulah ketentuan/takdir ( Al Qadar ) yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Diantara dalil-dali dari Syara’ yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Al Qadar : –

Firman Allah subhanahu wata’ala : –

” Dia –lah yang baginya seluruh kekuasaan yang ada di langit dan di bumi, dan sekali-kali Ia tidak menjadikan bagi diri-Nya seorang anak dan tidak pula syarikat pada kekuasaan-Nya dan Ia menciptakan segala sesuatu lalu menetapakan atas masing-masingnya takdir ”

” Agar kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Allah telah menetapkan takdir bagi setiap sesuatu, dan sesungguhnya Allah telah melingkupi segala sesuatu dengan keluasan ilmu-Nya ”

” Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu bersamaan dengan takdirnya ”

” Tidaklah ditimpakan suatu musibah di muka bumi dan tidak juga pada diri-diri kalian melainkan musibah itu sudah dituliskan dalam suatu kitab sebelum Kami menampakkannya ”

” Katakanlah wahai Muhammad, tidaklah ditimpakan kepada kami melainkan yang sudah dituliskan oleh Allah ta’ala atas kami ”

” Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui segala yang ada dilangit dan di bumi, sesungguhnya kesemuanya itu telah tertera dalam suatu kitab, sesungguhnya kesemuanya itu teramat mudah bagi Allah ”

” Dan ketika ditimpakan bagi mereka kebaikan mereka mengatakan bahwa ini datangnya Allah dan jikalau ditimpakan atas mereka keburukan mereka mengatakan ini datangnya dari engkau, maka katakanlah Muhammad bahwa semuanya datangnya dari Allah, lantas mengapa mereka itu sama sekali tidaklah mengerti apa yang disampaikan ”

Dan masih banyak lagi dari ayat-ayat Al-Qur`anAl Karim yang berbicara tentang masalah ini.

Adapun dari sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya : –

Hadist Abu Hafsh ‘Umar bin Al Khoththab – radhiallahu ‘anhu – , mengenai pengajaran Jibril ‘alaihis salam – dalam bentuk soal jawab kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tentang Al Islam, Al Iman dan Al Ihsan. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ketika ditanyakan kepada beliau tentang Al Iman :
” Yakni beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para RAsul-Nya, kepada hari akhirat dan beriman kepada Al Qadar baik maupun buruk ”
( Dikeluarkan oleh Muslim – Al Minhaj 1 / 157 -, At Tirmidzi 5 / No. 2610, An Nasa’I 6 / 11271, Ibnu Majah 1 / 63 )

Dan hadist ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau berkata : Bersabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam :

” Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan takdir masing-masing makhluk sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi , lima puluh ribu tahun sebelumnya dan ‘Arsy Allah ta’ala telah berada diatas air “( Dikeluarkan oleh Muslim – Al Minhaj 16 / 442 ).

Dan juga hadist ‘Ubadah bin Ash Shomit – radhiallahu ‘anhuma – beliau berkata : Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
” Sesungguhnya awal suatu yang Allah ciptakan adalah Al Qalam, lantas Allah berfirman kepadanya : Tuliskanlah ! Ia pun bertanya : apakah yang mesti saya tuliskan ?
Allah ta’ala berfirman : Tuliskan segala yang akan terjadi hingga hari kiamat. ”

Berkata ‘Ubadah : Wahai anak-ku, saya telah mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : –
” Barang siapa yang meninggal tidak sejalan dengan –keyakinan- seperti ini, bukanlah ia tergolong ummat-ku ” (Dikeluarkan oleh Abu Daud 4 / No. 4700, At Tirmidzi 5 / 3319 dan Ahmad 5 / 317).

Dan hadist Abu Hurairah – radhiallahu ‘anhu – dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam , beliau bersabda :

” Adam –’alaihis salam – telah melakukan perdebatan dengan Musa –’alaihis salam -, dimana Musa –’alaihis salam – berkata : Wahai Adam engkau adalah bapak kami, engkau telah mengecewakan kami dan engkau menjadikan kami dari sorga.
Adam – ‘alaihis salam – menjawab : Engkau adalah Musa yang telah ditinggikan kedudukanmu oleh allah tengan Kalam-Nya dan Allah telah menuliskan At Taurat dengan tangan-Nya sendiri, akankah engkau mencelaku dikarenakan suatu perkara yang telah ditakdirkan oleh Allah sebelum Allah menciptakan diriku empat puluh ribu tahun sebelumnya ? . Maka Adam pun menggugurkan pegangan Musa. ”
( Dikeluarkan oleh Al Bukhari No. 6614 dan Muslim 4 / 2042 )
Dalam riwayat lainnya : ” Sesungguhnya Musa –’alaihis salam – telah berkata : Wahai Rabb- ku tampakkanlah kepada kami Adam , yang telah mengeluarkan kami dan dirinya dari sorga.
Maka Allah ta’ala menampakkan baginya Adam – ‘alaihis salam -.
Berkatalah Musa : Apakah engkau bapak kami Adam ?
Berkata Adam kepadanya : Benar
Berkata Musa : Engkau-kah yang telah ditiupkan Allah salah satu ruh-Nya pada dirimu, lantas mengajarkan kepadamu segala sesuatu dan memerintahkan kepada malaikat untuk sujud dihadapanmu ?
Berkata Adam : Benar
Berkata lagi Musa : Lalu apa alasan engkau telah mengeluarkan kami dan dirimu sendiri dari sorga ?
Adam-pun bertanya : Dan engkau ini siapakah ?
Berkata Musa : Saya adalah Musa
Berkata Adam : engkaukah Nabi bagi Bani Israil yang mana Allah ta’ala telah berbicara langsung kepadamu dari balik hijab , dan Allah tidak menjadikan adanya perantara antara engkau dan Allah ?
Musa menjawab : Benar
Berkata Adam : Apakah engkau telah mendapatkan bahwa kesemuanya itu telah tertera di Kitab Allah sebelum saya diciptakan ?
Musa menjawab : Benar
Berkata Adam : Kalau begitu mengapa engkau mencelaku karena suatu hal yang Allah telah menentukan ketetapan-Nya sebelum diciptakannya diriku ? ”
Bersabda Rasulullah , mengenai hal ini : ” Maka Adam pun akhirnya menggugurkan pegangan Musa, Maka Adam pun akhirnya menggugurkan pegangan Musa ”
( Dikeluarkan oleh Abu Daud 4 / 4702, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah 1 / 63, Al Baihaqi dalam Al Asma’ wash Shifat hal. 193, dan Al Albani menyebutkan hadist ini dalam Ash Shohihah 4 / 1702 )

Dan demikian juga hadist ‘Imran bin Hushain, beliau berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam : Wahai Rasulullah, apakah sudah dipilah antara penghuni sorga dan penghuni neraka ?
Beliau menjawab : Benar
Beliau bertanya lagi : Kalau begitu , atas alasan apakah mereka melakukan amal perbuatan ?
Beliau bersabda : –
” Kesemuanya dimudahkan atas apa mereka diciptakan ”
( Dikeluarkan oleh Al Bukhari No. 6596 dan Muslim 4 / 2041 )

Demikianlah diantara sebagian dalil-dalil baik itu dari Al Qur’anul Karim maupun dari Sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan wajibnya beriman akan setiap ketentuan Allah ta’ala dan kesemua yang terjadi di muka bumi ini adalah karena Al Qadar/Takdir dari sisi Allah subhanahu wata’ala. Dalam berbicara tentang Iman kepada Al Qadar, Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi keimanan kepada Al Qadar atas empat tingkatan Al Qadar, yang mana masing-masingnya mesti diimani dengan iman yang benar, barulah dikatakan seseorang telah beriman kepada Al Qadar. Tingkatan-tingkatan Al Qadar ada empat : –
Pertama : Adanya Ilmu Allah subhanahu wata’ala pada setiap ketentuan-Nya yang berlaku
Yakni bahwa yang mesti diimani oleh setiap hamba , bahwa Allah ta’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui akan perihal makhluk dan mereka melakukan amal perbuatan dibawah jangkauan Ilmu Allah ta’ala yang dengan ilmu tersebut Allah ta’ala disifatkan, sejak dahulu dan selamanya – sifat Dzatiyah – dan Allah ta’ala juga mengetahui setiap keadaan para makhluk, baik itu berupa keta’atan, kema’shiyatan, ketentuan rizki mereka maupun ajal mereka … barulah setelah itu Allah ta’ala menuliskannya di Lauh Mahfudz, semuat ketentuan-ketentuan makhluk yang mana ini merupkan derajat selanjutnya setelah ilmu Allah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman : –

” Dan Dia-lah Dzat yang tiada sesembahan yang haq selain-Nya yang mengetahui perkara yang ghaib dan yang nampak ”

Dan firman Allah ta’ala : –

” Agar kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Allah telah menentukan takdir segala sesuatu dan sesungguhnya Allah telah melingkupi segala sesuatu dengan keluasan ilmu-Nya ”

Dan firman Allah ta’ala : –

” Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang paling mengetahui siapa yang telah disesatkan dari jalan-Nya dan siapa yang telah mendapatkan hidayah ”

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala : –

” Dia – Allah – yang paling mengetahui ketika Ia menjadikan kalian berada dimuka bumi dan ketika kalian berupa janin di dalam perut ibu-ibu kalian, maka janganlah kalian menquduskan diri-diri kalian – karena – Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa ”

” Dan bukankah Allah yang paling mengetahui segala yang ada di alam semesta ini ”
Kedua : Al Kitabah, yakni penulisan takdir makhluk di Lauhil Mahfudz
Dan ini merupakan derajat kedua setelah Al ‘Ilmu. Bahwa ketentuan yang telah terjadi pada makhluk ,dan juga yang sedang dan akan terjadi, baik maupun buruk, keta’atan maupun kema’shiyatan, beserta balasannya didunia maupun diakhirat, telah digariskan oleh Allah ta’ala dalam takdir-Nya dan dituliskan dalam Lauhil Mahfudz.

Allah ta’ala berfirman : –

” Dan segala sesuatu yang mereka perbuat tertera dalam Az Zubur, dan –juga – segala perkara yang besar maupun yang kecil ”

” Apakah engkau tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui segala yang berada dilangit dan dibumi, sesungguhnya kesemuanya itu telah dituliskan pada suatu kitab, sesungguhnya semuanya itu teramat mudah bagi Allah ”

” Tidaklah ditimpakan suatu musibah di muka bumi dan tidak juga pada diri-diri kalian melainkan musibah itu sudah dituliskan dalam suatu kitab sebelum Kami menampakkannya”

” Dan tidaklah engkau berada pada suatu keadaan dan tidak juga yang engkau bacakan dari Al Qur’an, dan tidak juga yang kalian perbuat dari suatu amalan, melainkan Kami sertakan bersama kalian beberapa penyerta yang mempersaksikan ketika kalian bertebaran dimuka bumi. Dan sekali-kali tidak akan tersamar bagi Rabb mu sedikitpun yang ada dimuka bumi, walau itu sebesar biji sawi dan tidak juga yang ada di langit, bahkan jika itu lebih kecil lagi atau lebih besar, melainkan semuanya telah dituliskan pada Kitab yang jelas ”

Dan demikian juga Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan perihal ini, dengan penjelasan yang jelas tanpa perlu di- ta’wil- kan lagi.
Diantaranya dari hadist ‘Ubadah bin Ash Shomit, beliau berkata : Bersabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam : –
” Sesungguhnya awal suatu yang Allah ciptakan adalah Al Qalam, lantas Allah berfirman kepadanya : Tuliskanlah !
Ia pun bertanya : apakah yang mesti saya tuliskan ?
Allah ta’ala berfirman : Tuliskan segala yang akan terjadi hingga hari kiamat. ”
( Telah disebutkan sebelumnya diatas )

Dan juga dalam Hadist ‘Abdullah bin Mas’ud – radhiallahu ‘anhu – beliau berkata : Telah diceritakan kepada kami oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam , dan beliau adalah yang benar dan dibenarkan : –
” Sesungguhnya dalam penciptaan setiap orang dari kalian, dijadikan dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa sebuah nuthfah – cairan kehidupan – , lalu setelah itu dijadikan segumpal daging selama itu pula, lalu dijadikan daging yang menempal pada tulang selama itu pula, lalu diutuskanlah malaikat kepadanya dan ditetapkan baginya empat perkara : tentang rizki-nya, ajalnya, amal-nya, lalu dituliskan penghabisan ia apakah ia orang yang disiksa –diakhirat – ataukah yang mendapatkan kebahagiaan. Lalu diiupkanlah padanya ruh.
Maka seseorang dari kalian akan mengamalkan amalan penghuni sorga, hingga antara ia dan sorga hanyalah sejarak satu hasta atau sekitar satu hasta namun ketantuan Kitab/Takdir-nya telah mendahuli-nya, maka iapun mengamalkan amalan penghuni neraka dan iapun dicampakkan kedalam neraka. Dan seseorang diantara kalian adalah amalan ia amalan penghuni neraka hingga antara ia dan neraka hanyalah sejarak satu hasta atau sekitar satu hasta, namun ketantuan Kitab/ Takdir-nya mendahuluinya, maka iapun akhirnya mengamalkan amalan penghuni sorga dan ia dimasukkan kedalam sorga. ”
( Dikeluarkan oleh Al Bukhari No. 6594 dan Muslim 4 / 2036 )

Adapun Al Kitabah – penulisan takdir – setiap makhluk terbagi atas lima tingkatan takdir : –
1. Takdir Al Azali
Yakni takdir yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala sebelum penciptaan langit dan bumi, sewaktu Allah ta’ala menciptakan Al Qalam dan memerintahkannya untuk menuliskan segala yang akan terjadi hingga hari Akhir.
2. Takdir Al Mitsaq
Yakni penulisan ketepan takdir bagi keturunan Adam – ‘alaihis salam -, sewaktu diambila dari mereka perjanjian, bahwa Alla ta’ala adalah Rabb mereka., beserta pembenaran mereka akan perjanjian itu.
Allah ta’ala berfirman :
“Dan ketika Rabb-mu mengeluarkan dari anak keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, Allah ta’ala berfirman : Bukankah Aku ini adalah Rabb kalian ? Mereka menjawab : Benarlah engkau adalah Rabb kami kami mempersaksikannya. Demikian agar supaya kalian nantinya di hari kiamat – tidaklah mengatakan – : Sungguhlah kami ini telah lalai dari dari persaksian tersebut, ataukah kalian mengataka : Sesungguhnya orang-orang tua pendahulu kami telah mempersekutukan Allah sebelumnya, sedangkan kami ini hanyalah anak keturunan yang datang setelah mereka, akankah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang sesat – sebelum kami ” ( Al A’raf : 172 – 173).

3. Takdir Al ‘Umri
Yakni takdir bagi setiap hamba anak keturunan Adam, sewaktu mereka berada dirahim ibu mereka, berupa tulang yang telah dibalut dengan gumpalan daging. Maka waktu itu ditetapkanlah jenis kelamin-nya , ajal, amal, apakah ia termasuk yang mendapatkan kebahagiaan diakhirat atau siksa yang pedih, dan juga rizkinya. Maka semua yang akan ia alami tidak akan ditambah maupun dikurang dari apa yang telah ditetapkan.

Allah ta’ala berfirman :

” Wahai segenap manusia, jikalau kalian meragukan adanya kebangkitan dari alam kubur, maka ketahuilah sesungguhnya Kmai telah menciptakan kalian dari tanah, lalu dari setetes air mani, kemudian dari segumpal darah kemudian dari segumpal daging yang sempurna penciptaannya dan yang tidak sempurna. Agar Kami jelaskan kepada kalian. Dan Kami tetapkan didalam rahim apa yang kami kehendaki hingga waktu yang telah ditentukan, lalu Kami keluarkan kalian sebagai bayi hingga kalian menjadi dewasa, diantara kalian ada yang diwafatkan dan diantara kalian ada yang dipanjangkan umurnya hingga tua renta, dimana ia tidak lagi mengetahui apa yang dahulu ia ketahui … ” ( Al Hajj : 5).
” Dan Allah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari setetes air mani, kemudian kalian dijadikan berpasang-pasangan. Dan tidak satupun wanita yang mengandung dan tidak juga yang menlahirkan kecuali dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak pula dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya melainkan sudah ditetapkan dalam suatu Kitab, sungguhlah hal itu sangat mudahnya bagi Allah. ” ( Fathir : 11).

” Dan Dialah Dzat yang telah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari setetes air mani kemudian dari segumpal daging lalu mengeluarkan kalian sebagai bayi kemudian kalian beranjak dewasa, lalu setelah itu menjadi orang-orang yang renta. Dan diantara kalian ada yang telah diwafatkan sebelum itu dan kalian akan mencapai ajal yang telah ditentukan , kesemuanya itu agar kalian mau memikirkannya ” (Ghofir : 67).

4. Takdir Al Hauli
Yakni takdir yang ditetapkan Allah subhanahu wata’ala ketika tiba malam Laitul Qadar. Dimana ditetapkan takdir yang akan berlaku hingga tahun berikutnya.
Allah ta’ala berfirman : –

” Haa Miim , Demi Kitab – Al-Qur`an– yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkati, dan sesungguhnyalah Kami yang telah memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan setiap perkara yang penuh hikmah. Yakni perkara yang datangnya dari Kami, sesungguhnya Kamilah yang telah mengutus – para Rasul – ” (Ad Dukhan 1 – 5).
Berkata Ibnu ‘Abbas – radhiallahu ‘anhuma – : ” Dituliskan ketetapan yang merupakan bagian dari ketetapan ” Ummul Kitab “, pada malam Lailatul Qadar semua yang akan terjadi pada tahun itu, kematian, kehidupan, rizki, hujan … ”
Berkata Al Hasan Al Bashri : ” Dan demi Allah yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, sungguhlah malam yang diberkati itu pada bulan Ramadhan, yakni Lailatul Qadar. Pada malam itu dijelaskan setiap urusan, dan malam itu Allah menetapkan ketentuan ajal, amal dan rizki hingga datang malam semisalnya ”

5. Takdir Al Yaumi
Yakni penjabaran masing-masing takdir hingga waktu yang telah ditentukan pada tiap harinya. Allah ta’ala berfirman :

” Dan semua yang berada dilangit dan dibumi selalu memohon kepada-Nya. Setiap harinya Dia berada dalam pengaturan ketetapan-Nya ”

Dan dalam beberapa Atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam , beliau menyebutkan bahwa maksud dari : ” Setiap harinya dia berada dalam pengaturan ketetapan-Nya ” yakni : Mengampuni dosa hamba-Nya, menyingkap kesusahan hamba-Nya, meninggikan derajat segolongan dari hamba-Nya dan merendahkan derajat sebagian yang lainnya ”
( Dikelurkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir beliau 27 / 135, pad sanadnya ada perowi bernama Munib bin ‘Abdillah , berkata Al Hafidz : Diterima hadistnya jika ada penguat kalau tidak maka ia perowi yang layyin . )

Ketiga : Al Masyiah – Kehendak Allah ta’ala –
Bahwa segala sesuatu yang berada di ala mini kesemuanya adalah kehendak dari Allah subhanahu wata’ala – Masyiah Allah -. Dimana kehendak-Nya adalah suatu yang pasti akan terjadi dan Takdir-Nya berlaku bagi segenap makhluk. Beriman akan Masyiah/Kehendak Allah ini adalah beriman bahwa segala yang Allah kehendaki pasti akan terwujudkan dan yang Allah kehendaki tidak akan terwujudkan, dan segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi baik itu yang bergerak maupun yang diam kesemuanya dibawah kehendak Allah ta’ala:

Allah ta’ala berfirman :

” Dan tiada yang mereka kehendaki melainkan kesemuanya adalah yang Allah kehendaki ” (Al Insan : 30).
” Dan sekiranya Rabb mu menginginkan, tentulah Ia akan menjadikan ummat manusia itu sebagai ummat yang satu ” ( Hud : 110).

” Bagi siapa saja yang Allah kehendaki diantara kalian untuk berada dijalan yang lurus, dan tiada yang kalian kehendaki melainkan yang Allah kehendaki, Dia-lah Rabb alam semesta ” (At Takwir : 28 – 29).

” Dan sekiranya Allah menghendaki, Ia akan memberikan bagi kalian semuanya hidayah-Nya ” (Al An’am : 149).

” Dan sekiranya Allah menghendaki tidaklah kaum yang datang setelah mereka akan saling bermusuhan setelah jelas bagi mereka penjelasan dari Allah, akan tetapi mereka pun bercerai berai ,ada diantara mereka yang beriman dan ada pula yang kufur/inkar. Maka sekiranya Allah kehendaki tentulah mereka tidak akan saling bermusuhan ” (Al Baqarah : 253).

Keempat : Penciptaan Allah ta’ala, makhluk, amalan-malan mereka. Mengadakannya dan mewujudkan amalan-amalan makhluk tersebut.

Allah ta’ala berfirman :

” Dan Allah Dzat yang menciptakan segala sesuatu ” (Az Zumar : 62).

” Dan Allah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan baginya ketetapan/Takdir ” (Al Furqan : 2).

” Dan Allah yang telah menciptakan kalian dan segala yang kalian amalkan ” (Ash Shoffat : 96).

” Maka Maha Sucilah Allah sebaik-baik pencipta ” (Al Mu’minun : 14).

” Dan tidaklah engkau yang melemparkannya ketika engkau melemparkan, akan tetapi Allah-la yang telah melemparkan ” (Al Anfal : 17).

Kelompok/Firqah yang berbeda pandangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berkaitan dengan masalah Al Qadha wal Qadar/ Takdir.

Berbicara mengenai kaum atau kelompok yang mengingkari adanya Takdir, merupaka salah satu diantara tanda-tanda kenabian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau telah mengkabarkan akan datang kaum/kelompok tersebut dan mereka akan berada ditengah-tengah kaum muslimin. Diantara hadist-hadist Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan kemunculan mereka, antara lain :

Hadist ‘Abdullah bin ‘Umar – radhiallahu ‘anhuma – beliau mengatakan : Saya telah mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
” Akan ada ditengah-tengah ummat ini –kaum – yang buruk , yaitu mereka yang mengingkari Qadar/Takdir ”
( Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al Musnad 2 / 108 namun pada sanadnya terdapat perowi bernama Rusydain bin Sa’ad ia perowi yang lemah, dan dalam Al Musnad 2 / 136 – 137. Dikeluarkan pula oleh Abu Daud No. 4663, At Tirmizi No. 2151 – 2152, Ibnu Majah No. 4061, Al Hakim 1 / 84 dan ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaid Al Musnad No. 967 ).

Dan dari hadist Abu Hurairah – radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan firman Allah ta’ala :

” ( Sesungguhnya kaum Mujrimin akan berada dalam kesesatan dan dalam neraka Sa’ir. Hari dimana diseret wajah-wajah mereka kedalam api neraka, – dan diserukan kepada mereka – : Rasakanlah hembusan neraka Saqar. Sesungguhnya segala sesuatu kami telah ciptakan dengan takdir-nya ). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka yang memperdebatkan masalah Takdir ”
( Dikeluarkan oleh Muslim No. 2656 dan Ahmad 2 / 444 dan 479 )

Dan berkata pula Al Hasan bin ‘Ali – radhiallahu ‘anhuma : ” Akan datang sekelompok manusia yang mana mereka dibenarkan – keberadaan mereka – dengan Takdir namun mereka mendustakan Takdir. Dan inilah yang sungguh telah dilaknat oleh Abu Hurairah karena perkataan mereka ini ”
( Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam As Sunnah No. 620 )

Dan demikianlah yang terjadi, para Sahabat – radhiallahu ‘anhum – masih ada disekitar mereka, namun kaum yang disesatkan dari jalan yang lurus, yang buta mata hati mereka dari kebenaran Risalah Nabawiyah telah berani menancapkan pemikiran mereka yang keliru. Mereka berbicara seputar Al Qadar/ Takdir, tanpa diiringi dengan tuntunan syara’ dan tidak pula dengan petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam . Dan yang pertama kali dikatakan mengusung pemikiran yang keliru tentang masalah ini adalah seseorang yang bernama Sansawaih Al Baqqal.

Berkata Al Auza’I : ” Yang pertama kali berbicara tentang hal ini adalah seseorang yang bernama Suusan, ia dari penduduk Irak. Dulunya ia seorang Nasrani lalu masuk Islam namun ia kembali keagama Nasrani ”
Setelah itu, barulah Ma’bad bin ‘Abdullah bin ‘Ulaim Al Juhani Al Bashri menyadur pemikiran tersebut darinya. Berkata Al Hasan Al Bashri tentang diri Ma’bad Al Juhani: ” Ia seseorang yang sesat lagi menyesatkan ”
Dan beliau pula memperingatkan kaum muslimin agar tidak hadir disetiap majlis Ma’bad Al Juhani. Dan ia akhirnya dibunuh oleh Al Hajjaj bin Yusuf, dan ada juga yang mengatakan ia disalib atas perintah ‘Abdul Malik bin Marwan.
Dari Ma’bad Al Juhani ini, lalu diikuti oleh Ghilan bin Muslim bin Abi Ghilan Abu ‘Imran Ad Dimasyqi dalam menyebarkan pemikiran yang salah tersebut. Dan dia adalah seorang Khotib yang sangat fasih. Ia dibunuh dan diisalib atas perintah Hisyam bin ‘Abdil Malik.
( Lihat tentang hal ini dalam Siyar A’lamin Nubala 5 / 124 dan 7 / 264 dan juga dalam Lawami’ Al Anwar 1 / 299 – 300 )

Inilah awal mula berkembangnya pemikiran yang menyimpang dari Al-Qur`andan As Sunnah dan juga dari Madzhab Sahabat, tentang masalah Takdir. Hingga lambat laun berkembang menjadi suatu pemikiran yang menjadi pondasi munculnya kaum Qadariyah yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah Ahlul hadiss wal Atsar. Dan kaum Qadariyah ini pada hakikatnya terbagi atas dua kelompok, yaitu Qadariyah yang berlebih-lebihan dalam menetapkan Takdir dan salah memahami ketergantungan hamba dalam Takdir Allah. Mereka inilah yang dikenali dengan nama lain yaitu kaum Jabariyah. Yang mana mereka berpendapat bahwa setiap hamba terpaksa dalam melakukan setiap perbuatannya, bagaikan selembar dauna yang kering yang terhempas kesana kemari diterpa angina yang berhembus. Ataukah seperti debu yang terbang ditiup angin kadang keatas dan akhirnya kebawah. Mereka mengatakan bahwa taklif – pembebanan syari’at – dari Allah subhanahu wata’al kepada hamba-Nya , baik itu berupa perintah untuk melakukan ketaatan ataukah larangan dari perbuatan ma’shiyat, tak ubahnya seperti pembebanan Allah bagi hewan ternak untuk terbang, atau seseorang yang cacat tak mampu berdiri untuk berjalan ataukah seperti seseorang yang buta untuk menulis buku. Akhirnya mereka berpendapat bahwa adzab yang ditimpaka bagi hamba karena perbuatan ma’shiyat adalah adzab bagi mereka karena perbuatan Allah sendiri bukan karena amalan-amalan hamba tadi.
Yang lainnya adalah kaum Qadariyah yang yang menolak keberadaan Takdir Allah dan keterkaitan antara Takdir Allah dan segala yang perbuatan yang dilakukan oleh hamba. Mereka inilah kaum Mu’tazilah dan yang mengikuti jejak mereka. Mereka berpendapat bahwa seorang hamba berbuat dengan kemauan ia sendiri tanpa campur tangan takdir Allah.. Dan mereka ini – yaitu Mu’tazilah, yang mana pemimpin mereka Washil bin Atho’ Al Ghazzal dan ‘Amru bin ‘Ubaid – mewarisi pendapat ini dari Ma’bad Al Juhani, dimana mereka mengingkari adanya Ilmu Allah, Al Kitabah – penulisan Takdir di Lauhil Mahfudz – dan beranggapan bahwa hambahlah yang menciptakan segala perbuatan mereka.
Olehnya itulah Qadariyah Mu’tazilah ini pun tercela oleh kalangan Salaf. Diantaranya yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar – radhiallahu ‘anhuma – beliau ditanyakan tengtang kaum yang berpendapat tidak ada takdir sama sekali. Maka beliau berkata : ” Mereka inilah Qadariyah, merekalah kaum Majusi ummat ini ”
( Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam As Sunnah No. 958 )

Dan berkata pula Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri – rahimahullah : ” … Demi Allah kaum Qadariyah sama sekali tidak sejalan pendapat mereka dengan firman Allah, tidak juga yang dikatakan oleh para malaikat, tidak juga perkataan para Nabi, tidak juga dengan perkataan penghuni sorga, tidak juga dengan perkataan penghuni neraka bahkan tidak juga dengan perkataan saudara tua mereka yakni Iblis.

Allah ta’ala berfirman : –
” Apakah engkau tidak memperhatikan yang menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkan mereka dengan sepengetahuan-Nya dan Allah menutup pendengaran dan hatinya dan menjadikan penutup pada penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberikan petunjuk setelah Allah – menyesatkannya – . Maka apakah engkau tidak mengambil pelajaran ” (Al Jaatsiyah : 23).
” Dan tidak ada yang mereka kehendaki melainkan apa yang Allah telah kehendaki ” (Al Insan : 30 , dan At Takwir : 29).

Dan berkata para malaikat : ” Maha suci Engkau – tiada imu atas diri kami kecuali yang Engkau telah ajarkan kepada kami. Engkaulah Dzat yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana ” (Al Baqarah : 32)

Berkata Musa –’alaihis salam – : ” Sungguhlah kesemuanya ini merupakan ujian dari-Mu, Engkau sesatkan dengannya siapa saja yang engkau kehendaki dan Engkau berikan petunjuk yang engkau kehendaki pula ” (Al A’raf : 155).

Berkata Nuh –’alaihis salam – : ” Dan tidak akan berguna nasihat dariku jika aku kehendaki untuk menasihati kalian, jika sekiranya Allah telah menghendaki untuk memalingkan kalian – dari kebenaran – Dialah Rabb kalian dan kepada-Nya lah kalian akan kembali ” (Hud : 34).

Dan berkata Syu’aib – ‘alaihis salam – : ” Dan tidaklah kami akan kembali kepadanya terkecuali jika Allah menghendaki Dialah Rabb kami, yang demikian luasnya ilmu Rabb kami yang melingkupi setiap sesuatu ” (Al A’raf : 89).

Berkata Penghuni Sorga : ” Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami petunjuk dan tidaklah kami akan mendapatkan petunjuk jikalau bukan karena Allah yang telah memberi kami petunjuk-Nya ” (Al A’raf : 43).

Berkata penghuni Neraka : ” Kami telah dikuasai oleh kejahatan yang telah kami lakukan dan kami ini dulunya adalah kaum yang sesat ” (Al Mu’minun : 106).

Dan berkata Iblis – semoga Allah melaknatnya – saudara mereka : ” Wahai Rabb-ku dengan apa-apa yang kengkau palingkan aku … ” (Al Hajar : 39)
( Lihat dalam Syarh Ushul I’tiqad – Al Laalikai 1 / 153 – 154 )

Sumber : http://www.pondoksantri.com/blog/?p=15

Tinggalkan komentar