Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Hadits-Hadits Tentang Keharaman Nyanyian dan Alat Musik ( 7 )

Posted by admin pada 6 Februari 2008

Hadits Ketujuh:

Diriwayatkan dari Abu Umamah bahwasanya beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah halal penjualan para penyanyi perempuan begitu-pula pembeliannya, [ lebih jelasnya: tidak halal transaksi jual-beli yang mereka lakukan, pent. ] dan tidak ada (tidak sah) perdagangan (transaksi) mereka dan harga (yang)  mereka (tetapkan) adalah haram… –beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda: “Ayat “… …” (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya sampai selesai) diturunkan tak lain sehubungan dengan hal tersebut…kemudian beliau bersabda lagi: “Dan demi Yang Mengutus aku dengan kebenaran, tidaklah seseorang mengangkat suaranya untuk bernyanyi kecuali Allah Azza wa Jalla mengutus ketika itu dua syaithan yang akan menggelayut di atas kedua pundaknya dan senantiasa menginjak-injak dadanya dengan kedua kaki mereka berdua –dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan menunjuk ke dada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai ia sendiri yang nantinya diam (dari bernyanyi)”.

Hadits ini dikeluarkan oleh oleh Ath-Thabrani dalam kitab “Al-Mu’jamul Kabiir” (8/no. 7739, 7805, 7825, 7855, 7861 dan 7862) dari dua jalan dari Al-Qasim bin Abdurrahman dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.

Saya berkata: “Dan saya telah menempatkan hadits ini dikarenakan kedua jalan tersebut dalam kitab “Silsilah Ash-
Shahiihah”
dengan no. 2922, lalu setelah itu saya melihat ternyata salah satu dari kedua jalan ini sangat lemah sehingga saya beralih untuk tidak menilainya sebagai hadits yang kuat kecuali yang berhubungan dengan turunnya ayat ini oleh karena ia memiliki beberapa syawahid dari sejumlah sahabat dan akan dijelaskan sebahagiannya pada pasal kedelapan, insyaa’ Allah Ta’aala.

Pada bagian penutup dari uraian mengenai hadits-hadits shahih ini baik yang shahih li dzaatihi maupun yang shahih li ghairihi haruslah kiranya dikemukakan suatu masalah yang sangat penting agar faedah yang kita ambil bisa lebih sempurna, sebagai berikut:

Ulama-ulama hadits –semoga Allah Subhanahu wa ta’ala membalas mereka dengan kebaikan- sungguh telah berjalan di atas koridor kaidah-kaidah ilmiyah yang sangat penting sekali dalam usaha mereka menjaga warisan dari nabi ummat ini (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), sehingga selamat dan terhindar dari kelebihan (penambahan) maupun kekurangan atau pengurangan. Maka sebagaimana tidak boleh mengadakan perkataan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengatakannya maka begitu-pula tidak boleh membuang apa-apa yang pernah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan atau pun menolaknya. Jadi kebenaran berada diantara yang ini dan yang itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “…”.

Dan diantara yang tidak diragukan lagi adalah bahwasanya tahqiq (usaha memastikan) sesuatu yang adil dan menentukan jalan tengah antara pengurangan dan hal melebihlebihkan serta upaya membedakan yang shahih dari yang dha’if bukanlah berdasarkan kebodohan (tanpa ilmu) atau hawa-nafsu, akan tetapi berdasarkan ilmu dan ittiba’, dan hal ini tidak akan terjadi kecuali dengan pemahaman yang benar (al-fiqhushshahiih) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pemahaman ini tidak mungkin terjadi pula kecuali dengan mengetahui apa-apa yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ucapan, perbuatan serta ketetapan (taqrir).

Jika demikian halnya, maka tidaklah mungkin seseorang dapat menegakkan hal tersebut diatas kecuali ia seorang yang termasuk fuqaha’ yang juga ‘alim (mengetahui) ilmu hadits serta ushulnya, atau minimal ia termasuk seorang yang mengikuti mereka serta berada di atas manhaj mereka. Sungguh mengagumkan orang yang pernah bertutur:

Ahlul hadits adalah ahlu (keluarga, pengikut) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sekalipun mereka tidak menemani jasad beliau, 

jiwa merekalah yang menemani”.

Mereka inilah yang dimaksud oleh sebuah hadits masyhur –terlepas dari perbedaan mengenai ketsabitannya- [ lihat ta’liq saya atas “Al-Miskaah”  (248) ]: “Ilmu ini (ilmu hadits) akan dibawa dari setiap generasi khalaf oleh orang-orang yang ‘adil diantara mereka, mereka membersihkannya dari perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dan dari pengurangan orang-orang bathil serta ta’wil orang-orang bodoh”. Bahkan oleh sebuah hadits shahih: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil kembali ilmu dengan mencabutnya dari manusia, akan tetapi Dia akan mengambilnya dengan cara “mengambil” para ulama sehingga jika tidak ada lagi seorang ‘alim yang tersisa maka manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh dan mereka (para pemimpin ini) kemudian ditanya maka mereka memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan”. (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim) [lihat ta’liq saya atas “Al-Miskaah”  (248), dan dikeluarkan oleh saya dalam “Ar-Raudhun Nadhiir” (579) ].

Berdasarkan ini semua, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab beliau ”Majmuu’ul Fataawaa” pada salah satu pasal mengenai hal ini (18/51): “Maka sebagaimana halnya orang yang tidak mengetahui dalil-dalil hukum tidak diperhitungkan ucapannya, maka demikian pula halnya dengan orang yang tidak mengetahui cara-cara mengetahui (atau menetapkan) keshahihan sebuah hadist tidak diperhitungkan ucapannya. Bahkan seharusnya setiap yang bukan ‘alim hendaknya mengikuti apa yang telah disepakati oleh ahlul ‘ilmi”.

Saya berkata: “Dan diantara yang sudah jelas di mata para ulama adalah bahwasanya dasar dari kesepakatan atau pernyataan di atas ini adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “…”. Jadi barang-siapa yang tidak mengetahui hadits (bukan seorang ‘alim) sehingga mampu membedakan hadits yang shahih dari yang saqim (cacat; tidak shahih), maka ia tidak boleh berhujjah dengannya (dengan hadits) kecuali setelah ia bertanya kepada orang-orang yang ‘arif (memahami betul) mengenai seluk-beluk hadits, ini sesuai dengan nash ayat di atas. Terlebih lagi ia tidak boleh menshahihkan dan mendha’ifkan dengan kebodohan yang ia miliki sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Al-Ghazali dan yang lainnya dari orang-orang zaman sekarang yang kelihatannya faqih (memahami; menampakkan diri sebagai seorang yang faqih)”.

Lebih jelasnya bahwasanya orang-orang seperti ini seharusnya tidak mengikuti isi kepala mereka sendiri sehingga mendha’ifkan satu bagian dari pembagian-pembagian hadits yang dalam hal ini sudah ma’ruf dikalangan para ulama, misalnya saja hadits hasan atau hadits shahih li ghairihi seperti halnya dengan hadits keenam di atas dan yang lainnya, karena sesungguhnya diantara ushul dan kaidah para ulama ini adalah hadits dha’if bisa menjadi kuat dengan banyaknya jalan atau sumber yang dimilikinya; sebagai iqtibas (cerminan, dasar pengamalan) dari mereka kepada firman Allah Subhanahu wa ta’ala misalnya mengenai kesaksian seorang wanita: “…”.

Memang penerapan kaidah ini tidak akan mampu ditegakkan kecuali oleh sedikit dari orang-orang yang menyibukkan diri (meluangkan segenap waktunya) dengan ilmu yang mulia ini dan bukan orang lain selain mereka; dikarenakan hal ini menuntut pengetahuan yang sangat luas akan hadits-hadits yang ada begitu-pula jalan-jalannya serta lafazh-lafazhnya pun titik-titik yang dijadikan istisyhad (yang diunjuk; dalalahnya) darinya. Dan memohon bantuan dengan fahaaris (indeks atau kitab kamus) penggalan hadits tidaklah dapat menolong pada banyak situasi. Yang dapat menolong adalah ilmu yang sudah “mendarah daging” dalam diri seorang yang menekuni bidang ini dalam jangka waktu yang lama.

Dan yang paling baik dalam menguraikan berdasarkan kaidah ini serta memperkuatnya dengan apa yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya berupa ilmu yang ia miliki adalah tak lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu Ta’aala dalam kitab beliau “Majmuu’ul Fataawaa” (18/25-26), beliau berkata sebagaimana yang telah saya nukil dalam kitab saya “Ar-Raddul Mufahham” –semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memudahkan saya dalam menyelesaikan dan menerbitkannya- sebagai berikut:

“Dan hadits-hadits dha’if menurut mereka para ulama terdiri dari dua macam: dha’if yang tidak terlarang untuk diamalkan yang dalam hal ini serupa dengan hadits hasan dalam istilah Imam At-Tirmidzi, dan yang kedua: dha’if dengan kedha’ifan yang wajib ditinggalkan (tidak boleh diamalkan).

Terkadang seorang perawi di sisi para ulama dha’if oleh karena seringnya ia melakukan kesalahan dalam riwayat haditsnya, akan tetapi pada umumnya riwayatnya shahih (sehingga mereka para perawi hadits meriwayatkan hadits (dari)-nya) berdasarkan i’tibar dan faktor penguat ini; karena sesungguhnya banyaknya serta berbilangnya jalan menguatkan satu dengan yang lainnya serta terkadang keyakinan dapat diperoleh dengan kenyataan seperti ini sekalipun seandainya para penukilnya adalah orang-orang fajir (pelaku dosa) lagi fasik, maka bagaimana halnya jika mereka adalah para ulama yang ‘adil hanya saja sering salah dalam menceritakan hadits mereka?! Sebutlah misalnya Abdullah bin Luhai’ah, beliau termasuk diantara ulama besar kaum muslimin dan pernah menjabat sebagai qadhi di Mesir, beliau meriwayatkan banyak hadits, hanya saja kitab-kitab beliau terbakar sehingga beliau menceritakan hadits berdasarkan hafalan beliau semata, akibatnya beliau seringkali melakukan kesalahan dalam (menceritakan) hadits beliau, meskipun sebenarnya secara umum hadits-hadits beliau shahih (tidak memiliki kesalahan). Imam Ahmad pernah berkata: ”Terkadang saya menulis hadits seorang perawi berdasarkan i’tibar ini seperti (hadits) Ibnu Luhai’ah misalnya”.

Dilain tempat beliau menjelaskan mengenai sebab dalam menguatkan hadits dha’if yang memiliki banyak jalan, begitu-pula syaratnya serta kewajiban berpegang-teguh kepada kaidah ini, beliau berkata dalam “Majmuu’ul Fataawaa” (13/347):

“Hadits-hadits mursal jika memiliki banyak jalan serta terlepas dari indikasi adanya kesepakatan yang disengaja sebelumnya, atau terjadi kesepakatan tetapi tidak direncanakan (atau disengaja), maka hukumnya adalah shahih secara qath’i (pasti), karena sesungguhnya penukilan itu benar serta secocok dengan yang diberitakan dan adakalanya dusta (tidak benar) yang disengaja oleh si penukil ataukah tidak disengaja. Nah, ketika tidak terjadi dusta yang disengaja (salah) maka penukilan tersebut shahih tanpa ada keraguan lagi.

Beliau melanjutkan: “Dan jika sebuah hadits diriwayatkan dari dua arah (jalan) atau beberapa arah (saya berkata: “Seperti halnya dengan hadits yang kita bahas ini) dan sudah diketahui atau diyakini sebelumnya bahwasanya si pembawa berita (dari dua arah tersebut) keduanya tidak pernah bersepakat untuk menceritakan hadits tersebut serta diyakini pula bahwasanya dalam hal seperti ini tidak terjadi kesepakatan yang tidak disengaja atau direncanakan sebelumnya maka hadits tersebut diyakini sebagai hadits shahih, seperti halnya dengan seseorang yang menceritakan peristiwa yang pernah terjadi dan menyebutkan secara detail apa-apa yang terjadi di dalamnya berupa ucapan dan perbuatan kemudian datang seorang lagi yang diyakini tidak pernah bersepakat dengan orang yang pertama tadi lalu ia menyebutkan seperti seperti apa yang telah disebutkan oleh orang pertama dari rincian ucapan dan perbuatan, maka diyakini secara pasti bahwasanya peristiwa tersebut benar-benar pernah terjadi; karena sesungguhnya jika sekiranya masing-masing dari keduanya berdusta mengenai peristiwa tersebut secara sengaja ataukah tidak disengaja (salah), maka secara adat kebiasaan yang berlaku tidaklah mungkin disepakati jika masing-masing dari keduanya menceritakan rincian kejadian yang sama, yang secara adat kebiasaan pula mustahil terjadi kesepakatan atas sesuatu antara dua orang tanpa adanya persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak sebelumnya”. Beliau berkata: “Dan dengan cara ini maka diyakini secara umum kebenaran hadits yang datang dari berbagai arah dan jumlahnya berbilang (banyak) dari segi ini berupa nukilan-nukilan yang ada, sekalipun memang jika berdasarkan salah satu arah atau jalan saja maka tidak cukup (untuk dibenarkan atau diterima) dikarenakan kemursalannya atau karena kelemahan penukilnya”.

Beliau juga berkata sebagai berikut: 

“Dan kaidah ini haruslah dipahami, karena sesungguhnya ia merupakan kaidah yang sangat berguna dalam menetapkan (keshahihan) banyak nukilan-nukilan dalam hadits, tafsir maupun ilmu-ilmu yang istimewa lainnya serta menetapkan apa-apa yang dinukil dari ucapan dan perbuatan orang-orang dan seterusnya”.

Terakhir, beliau menyimpulkan: “Karena itu jika sebuah hadits yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua arah atau jalan diriwayatkan dan salah satu dari kedua jalan ini tidak mengambil hadits tersebut dari yang lainnya, maka ditetapkan bahwa hadits atau riwayat tersebut adalah benar, apatah lagi jika para penukilnya diketahui termasuk orang-orang yang tidak pernah secara sengaja berdusta tetapi hanya dikhawatirkan salah satu dari keduanya lupa dan salah”.

Pernyataan terakhir beliau ini sama dengan apa yang pernah dinyatakan oleh al-hafizh Al-‘Ala’i dalam kitab “Jaami’ut Tahshiil” hal. 38 yang beliau (Al-‘Ala’i) tambahkan di dalamnya:

“Bahwasanya hadits seperti ini meningkat berdasarkan kedua arah yang dimilikinya kepada derajat hasan dikarenakan pada saat itu kekhawatiran akan jeleknya hafalan para perawi sudah tidak ada lagi, sehingga dengan demikian masing-masing dari kedua arah ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya”.

Dan pernyataan yang sama disebutkan pula dalam kitab “Muqaddimah Ibnush Shalaah” begitu-pula dalam kitab “Mukhtashar”nya (ringkasan kitab “Muqaddimah Ibnush Shalaah”) yang ditulis oleh Ibnu Katsir.

Kemudian Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata di hal. 352:

“Dan sehubungan dengan hal ini pula, maka riwayat si majhuul (yang tidak dikenal atau tidak diketahui) serta yang jelek hafalannya bisa diterima begitu-pula dengan hadits mursal serta yang sama dengannya. Karena itu para ulama menulis hadits-hadits seperti ini (tidak membuangnya), mereka pun berkata: “Hadits-hadits seperti ini boleh digunakan sebagai syawahid dan i’tibar, dimana untuk selain keduanya tidak boleh (atau tidak pantas)…”.

Kemudian beliau rahimahullaah mengemukakan ucapan Imam Ahmad sebelumnya, yaitu: “Terkadang saya menulis hadits seorang perawi demi menjadikannya sebagai i’tibar”.

Saya berkata: “Dari penjelasan di atas maka menjadi jelaslah bagi para penuntut ilmu suatu faedah dari beberapa faedah mengenai riwayat para huffazh yang terdahulu yang meriwayatkan hadits dengan (menyebutkan) sanadsanadnya, yang di dalamnya terdapat sanad yang dha’if akan tetapi mereka tetap menulisnya dalam kitab-kitab mereka. Dan ini merupakan ”marja’ asaasi” (rujukan utama) dalam beri’tibar serta menelusuri mutaba’aat (yang mengikuti) dan syawahid yang menguatkan sebahagian sanad-sanad yang dha’if tersebut. Akan tetapi bisa saja terdapat faedah-faedah lain yang bisa diambil dari sebahagian hadits yang bersanad lemah ini, yaitu berupa pelajaran serta taujih (arahan, nasehat) yang maknanya benar atau shahih. Sekalipun demikian seseorang tidak diperbolehkan memastikan nisbah hadits-hadits tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang sudah ma’ruf (atau ditetapkan) di kalangan para ulama, berbeda dengan sebahagian ahlul ahwaa’ (orang-orang yang mengikuti hawa-nafsu) dari dulu sampai sekarang (yang membolehkan penisbahan ini atau melakukannya) sebagaimana yang telah dijelaskan di awal risalah ini ketika membantah Asy-Syaikh Al-Ghazali. Karena itu al-hafizh Ibnu Abdil Barr berkata dalam “AtTamhiid” (1/58): “Dan hadits dha’if tidak diangkat (maksudnya: tidak disiasiakan atau ditolak) sekalipun tidak dijadikan sebagai hujjah. Dan bisa jadi banyak hadits yang sanadnya lemah akan tetapi maknanya shahih (benar, baik)”.

Sebagai kesimpulan bahwasanya hadits yang sanadnya dha’if terkadang maknanya shahih dikarenakan sejalan dengan nash-nash syari’at, seperti halnya hadits: “Beruntunglah orang-orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dibanding aib orang lain”. [dan dikeluarkan pada juz 8 dari ““Silsilah Adh-Dha’iifah” dengan no. 3835. ] Dan masih banyak hadits-hadits dha’if yang lain lagi yang tidak dibolehkan menisbahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan adakalanya maknanya shahih begitu-pula dasar kemunculannya (periwayatannya) dikarenakan ia memiliki  syawahid yang menguatkannya, seperti halnya dengan hadits keenam yang telah disebutkan di atas serta sebahagian hadits sebelumnya. Jadi hendaknyalah hal ini menjadi perhatian kalian dan janganlah sekali-kali kalian dihalangi darinya (dari hadits-hadits dha’if seperti ini) oleh bualan orang-orang bodoh serta hasutan orang-orang yang menghasut, karena sesungguhnya kita sekarang ini berada pada zaman dimana di dalamnya banyak penulis akan tetapi ulamanya sedikit, dan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala jualah kita mengadu dan tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Subhanahu wa ta’ala semata.

Diterjemahkan dari Kitab : “ Tahrim Aalat Ath Tharb “ Karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

2 Tanggapan to “Hadits-Hadits Tentang Keharaman Nyanyian dan Alat Musik ( 7 )”

  1. Rusmana said

    Artikelnya menarik juga hanya sayang hurup perhurupnya kecil-kecil kalau bisa dibesarkan ukuran 10 supaya lebih terbaca, terima kasih

Tinggalkan komentar