Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Pijakan lainnya yang Fasad

Posted by Abahnya Kautsar pada 29 Agustus 2008

Pasal

Pijakan lainnya yang Fasad

Hampir serupa dengan persoalan pelonggaran masalah-masalah khilafiyah, dan mengharuskan bersandar pada masalah yang disepakati adalah pembahasan tentang pelonggaran dalam masalah-masalah dhzonniyaat – yang berupa persangkaan – dan pengharusan berpegang dengan masalah-masalah yang qoth’iyaat – yang pasti/yakin -.

Dan pembahasan ini yang diangkat oleh DR. Sholah Ash showi dalam bukunya ” Ats Tsawabit wal Mutaghoyyiraat “ [1]

Yang mana ia menamakan masalah-masalah qoth’iyah dengan nama Ats Tsawabit sedangkan masalah-masalah dhzonniyah dengan nama Al Mutaghoyyiraat, bersamaan dengan pijakan ia pijakan yang disebutkan di atas. Dan ia telah memasukkan diantara karakteristik nash syara’ yang dhzonni adanya perselisihan dalam memahami nash tersebut, dan ia pun memasukkan dalam kategori mutaghoyyiraat sebagian masalah-masalah aqidah hanya karena dijumpainya perselisihan dalam masalah itu.[2]

Berkata Ash Shawi : ” Tujuan dari pasal pembahasan ini agar dapat dibedakan antara Ats tsawabit dan Al mutaghoyyiraat, antara perkara-perkara yang qath’i/yakin dan yang sebatas persangkaan –dhzonniyah– pada setiap masalah itu, sehingga tidak melangkahi suatu yang muhkam –pasti- dan qath’i hanya dikarenakan slogan pembaharuan ataukah reformasi, atau pula shaf barisan kita menjadi gerah kepanasan disebabkan perpecahan pada masalah-masalah yang bersifat dhzonni mutasyabih –yang tersamar– yang ditutupi oleh slogan salafiyah dan tamassuk –berpegang erat– pada persoalan ushuluddin dam juga sikap arogan kepada ahlul bid’ah ” [3]

Ash Showi menafsirkan sesuatu yang qath’i –atau dalam bahasa ia – ” Ats tsabit ” dengan nash syara’ yang shohih yang tidak didapati adanya pertentangan, atau suatu ijma’ yang jelas dimana tidak dijumpai adanya perselisihan dalam penetapan ijma’ itu. Kecuali pertentangan yang dikelompokkan sebagai bentuk ketergelinciran atau kesalahan yang tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan sama sekali dan tidak juga dijadikan suatu referensi “[4]

Jika enkgau memperhatikan penafsiran yang disebutkan oleh Ash Showi tentang perkara yang qath’i dan yang zhonni, sesungguhnya ia sedikitpun tidak mendatangkan suatu yang baku, dimana terjadinya perbedaan persepsi pada suatu nash syara’ tidaklah menghilangkan adanya sifat qath’iyah pada nash itu, dijumpai sekian banyak masalah-masalah furu’iyah yang sifatnya qah’iyah walaupun didapati adanya khilaf pada masalah tersebut.[5]

Suatu yang qath’i jikalau begitu adalah suatu yang mengharuskan penetapan apa yang ditunjukkan oleh suatu dalil, sedangkan tidak adanya pengetahuan pada diri seseorang tentang qath’i tidaknya suatu nash tidaklah menunjukkan bahwa nash tersebut tertolak dalam penetapannya.[6]

Dan selanjutnya pula, hukum qath’i ataukah dhzonny bukanlah sifat yang mesti menyertai suatu pendapat dilihat dari pendapat itu berasal, melainkan suatu hal ikutan sesuai dengan keadaan orang yang menilainya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : ” Maka keberadaan suatu masalah apakah masalah itu qath’iyah ataukah dhzonniyah, merupakan perkara ikutan yang sesuai dengan keberadaan kaum yang memberikan penilaian, bukannya suatu sifat yang mengiringi suatu pendapat itu sendiri, dikarenakan seorang manusia bisa jadi ia menghukumi beberapa hal sebagai suatu yang qath’i, yang ia dapati secara langsung, atau karena penukilan yang ia benarkan, namun selain dari dia tidaklah menjangkau hal itu tidak itu secara qath’i ataukah sebatas dhzonni. Dan terkadang seseorang yang cerdas dan memiliki ketajaman nalar, dan mudah dalam memahami baik berupa ilmu yakin ataukah dhzonn, maka iapun akan mudah mengetahui kebenaran dan menjadikannya suatu yang qath’i yang selain darinya tidak dapat menggambarkannya demikian dan tidak pula mengetahuinya baik itu secara ilmu yang yakin ataukah sebatas dhzon. Kalau begitu hukum qath’i atau dhzonni hanya bisa dilihat sesuai dengan dalil-dalil yang samapai kepada seorang manusia, dan juga sesuai dengan kemampuan ia dalam menginterpretasikan suatu dalil.

Dan kaum manusia dalam perkara ini berbeda satu sama lainnya, dan keberadaan suatu masalaha apakah masalah itu qath’iyah atau dhzonniyah bukan sifat yang mesti mengiringi suatu pendapat yang sedang diperdebatkan, sehingga jangan sampai dikatakan : ” setiap yang menyelisihi pendapat itu berarti telah menyelisihi suatu yang qath’I ” , namun tiada lain adalah sifat yang ada pada seseorang yang menelaah dan meng-interpretasikan suatu dalil dan bagi yang memberikan penilaian, dan inilah yang mana kaum manusia berbeda satu sama lainnya.

Maka kalau begitu perbedaan yang ada ini –antara qath’i dan dhzonni, pen- tidaklah baku dan tidak pula sebaliknya.[7]

Dan dalam buku ” Ats Tsawabit wal Mutaghoyyiraat “, banyak sekali perkara-perkara yang harus diwaspadai oleh pembaca, diantaranya penulis buku ini –semoga Allah mengampuninya – berlebih-lebihan sekali dalam memberikan udzur bagi para penyembah qubur, wali-wali dan orang-orang yang sholeh, dan ia dalam hal itu telah panjang lebar mengupas dengan ta’wilan buruk dan pendefinisian yang batil, dimana engkau akan dapati ia mengkategorikan istighotsah kepada para wali termasuk bentuk tawassul yang masih diperdebatkan !, dan ia menganggap bahwa thawaf dikubur paling-paling hanyalah suatu bid’ah dan bukannya suatu kesyirikan, dan iapun menyodorkan udzur bahwa perbuatan itu adalah thawah tahiyyah –ucapan selamat datang – dan bukan thawaf ibadah, demikianlah pendapatnya !!

Dan ia sama sekali tidak mengetahui bahwa segala bentuk thawaf bagaimanapun keadaannya adalah ibadah, dan tidak ada satupun penjelasanpun dalam syari’at Islam tentang thawaf kecuali bahwa thawaf itu dilakukan di Baitullah Al ‘Atiiq –Ka’bah -.

Lantas ia menyifati thawaf selamat datang tersebut sebagai suatu yang tidak terlepas dari salah satu bentuk pelaksanaan ibadah, bahkan ia lebih memastikan lagi, dimana ia menyamakan kuburan sama dengan Ka’bah, maka disyari’atkan adanya ucapan selamat tiba dalam bentuk thawaf !! [8]

Berkata Ash Showi : ” Setelah adanya kesepakatan dalam mengusung ta’wil pada penjabaran sejumlah permasalahan hukum syari’at, terkadang dijumpai pertentangan ketika menjadikan ta’wil ini sebagai dasar pada permasalahan itu sendiri. Sebagaimana dasar yang dijadikan patokan ta’wil oleh kaum sufiyah pada nadzar yang mereka kedepankan kepada para penghuni kubur, bahwa sesungguhnya nadzar itu kepada Allah sedang pahalanya bagi para wali Allah, dan juga do’a yang mereka hadapkan kepada para fpenghuni kubur, yang mana mereka maksudkan untuk mendapatkan syafa’at dari wali itu disisi Allah, dan mayat yang berada didalam kubur itu mendengarnya, sebagaimana ini adalah pendapat sebagian kalangan ulama. Dan juga thawa disekeliling makan, yang merupakan thawaf tahiyyah dan bukannya thawaf ibadah, yang pendek kata hanya merupakan perbuatan bid’ah dan tidak termasuk kesyirikan, dan juga dalam meminta pertolongan kepadanya adalah bentuk laindari berdo’a dan meminta syafa’at kepada Allah, dan dita’wilkan sebagai tawassul yang masih diperselisihkan ” [9]

Dan juga penulis memberikan udzur bagi yang melakukan sujud ke-kuburan- para wali, dengan anggapan sebagai bentuk penghormatan, dimana ia berkata : ” Dan dari sini ada perbedaan antara yang sujud kehadapan para wali – dimana ia menyangkan ini sebagai bentuk penghormatan yang wajib bagi para wali itu, dan pelakunya akan diberi ganjaran pahala ditinjau bahwa ini adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah – dan sujud kepada kubur yang dilakukan oleh kaum hindu atau kepada api yang diperbuat oleh kaum majusi dan selainnya.

Dikarenakan adanya syubhat pada amalan yang pertama, dan adanya selubung kebodohan yang sangat mungkin dan bisa diterima, adapun pada yang kedua, maka perkara ini demikian jauh berbeda, dan pemberian udzur tidaklah tepat, dimana tidak dijumpai satu syari’atpun yang membolehkan pengagungan sapi atau api. Sedangkan sekian banyak syari’at datang menganjurkan kecintaan kepada orang-orang yang sholeh dan untuk mengagungkan mereka, dan tabarruk –mencari berkah – dari sisa-sisa mereka adalah masalah khilafiyah yang perlu diperhatikan [10], bahkan syari’at terdahulu ada yang membolehkan sujudanya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf ‘alaihis salam – dan sujudanya beliau kepada kedua orang tua beliau, dan sebelum itupula, sujudanya para malaikat kepada Adam, dimana ini adalah sujud tahiyyah dan bukannya sujud ibadah. Dan penghormatan yang disyari’atkan yang sedikit demi sedikit akan menjerumuskan kepada tabarruk yang terlarang dalam syara’ hal yang juga mungkin terjadi, dan kesamaran dalam masalah itu hal yang mungkin sekali, olehnya itu perlu diperhatikan dengan seksama. ” [11]

Dan penulis juga melecehkan kalangan Salafiyyiin dan begitu mengagungkan kelompok yang ia namakan sebagai Gerakan Jihad, ia berkata : ” Adapun Madzhab-madzhab ‘Ilmiyah, tiada laian adalah gerakan pembaharuan, yang mana tujuannya sebagian besar menyatu seiring perkembangan Islam, menegakkan da’wah pada sejumlah ushul ‘ilmiyah dan ‘amaliyah, engkau lihat keyakinan mereka hanya berupa konsukuensi dari keimanan, tidak menghadapi pertikaian yang berkembang dari lawan-lawan kaum muslimin, dan tidak juga mempunyai program yang terencana untuk merubah kondisi yang ada.

Sedangkan perkembangan yang dilakukan oleh Gerakan Jihadiyah sangat berbeda dengan perkembangan yang dilakukan oleh Madzab-madzhab ‘Ilmiyah , dimana Gerakan Jihadiyah memobilisir kaum muslimin dengan perbedaan latar belakang kelompok mereka masing-masing untuk menghadapi segala ancaman, yang merupakan sasaran utama adanya Gerakan Jihadiyah ini, dan juga menampik segala permusuhan dalam tubuh Gerakan ini, sandaran loyalitas dan permusuhan gerakan ini adalah penampakan keislaman yang umum, dan kesiapan untuk bergabung dalam jihad mereka ini.

Adapun Madzhab-madzhab ‘Ilmiyah, sesungguhnya fokus gerakan mereka terpaku hanya kepada yang telah mantap keislamannya, untuk diajak untuk berpegang pada semua pandangan-pandangan ‘ilmiyah dan ‘amaliyah mereka [12]. Dan permusuhan mereka diperhitungkan dengan apa yang menurut mereka sebagai bid’ah dan perkara yang diada-adakan dalam Agama Islam. Dan lingkup loyalitas dan permusuhan mereka adalah pandangan-pandangan mereka yang bersifat khusus, dan semena-mena terhadap pandangan madzhab lainnya ” [13]

Saya katakan : ” Pernyataan ini adalah suatu kedustaan dan kebohongan, bukan berasal dari dalil yang jelas, namun hanyalah hawa nafsu belaka. Hanya kalangan salafiyyiin sajalah dizaman ini yang menegakkan ajaran Agama yang benar dan juga Negara Islam. Da’wah Al Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab –rahimahullah- dengan Al Qur’an yang membawa petunjuk dan dengan pedang Al Imam Muhammad bin Su’ud –rahimahullah – yang membawa pertolongan .

Adapun Gerakan Jihadiyah yang dielu-elukan oleh Ash Showi yang memiliki program yang jelas –dalam anggapan mereka-, sama sekali tidak menegakkan Agama Islam maupun mengekalkan dunia mereka, bahkan kaum muslimin merasakan pahit getirnya gerakan ini, dan keadaan mereka semakin memburuk lebih buruk daripada keadaan mereka sebelum ketergesa-gesaan gerakan Jihadiyah.

Maka dari kedua kelompok ini, manakah yang lebih patut dibanggakan jikalau kalian memang mengetahui ?

Dan dalam buku tersebut, masih sekian banyak lagi hal-hal yang perlu diwaspadai dan diperingati, yang risalah yang ringkas ini tidak cukup untuk megupasnya, semoga Allah memudahkan bagi yang berkenan menunaikan kewajiban ini.

Judul Asli : Zajr Al Mutahawin Bidhorurah Qaidah Al Ma’dzarah wat Ta’awun

Penulis : Hamd bin Ibrahim Al ‘Utsman

Muroja’ah : Al ‘Allamah Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan

Rekomendasi : Al ‘Allamah Asy Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad

Penerbit : Maktabah Al Ghuraba’ Al Atsariyah

Cetakan Pertama 1419 H / 1999 M

Penerjemah : Abu Zakariya Al Atsary


[1] Yang disebar luaskan oleh Al Muntada Al Islami di Inggris (Yayasan kepunyaan Ibnu Surur, yang kemudian pengikutnya dinamakan sebagai Sururiyah yang para Ulama telah memperingatkan ummat akan kesesatanya, peny.)

[2] Ash Showi menjadikan rujukan makna al mutoghoyyirat kembali pada buah pemikiran masing-masing para cerdik pandai ! Dan ini adalah suatu pendudukan hukum yang tidak pada tempatnya, dikarenakan patokan al mutaghoyyirat dalam hakum syara’ dikembalikan pada niat, perbedaan zaman dan tempat.

[3] Ats Tsawabit wal Mutaghoyyiraat hal. 45.

[4] Ats Tsawabit wal Mutaghoyyiraat hal. 34

[5] Al Musawwadah – aali Taimiyah hal. 442

[6] Lihat pada Thoriqul Wushul hal. 53

[7] Minhajus Sunnah 5 / 91

[8] Ibadah Thawaf khusus dilakukan di Ka’bah, tidak diperbolehkan thawaf ditempat selain Ka’bah, dan barang siapa yang yang membolehkannya maka sungguhlah ia telah mengadakan syari’at didalam agama Allah ini yang Allah tidak syari’atkan, dan siapa yang menghalalkan perkara itu maka ia telah kafir. Ditulis oleh Asy Syaikh Sholeh Al Fauzan

[9] Ats Tsawabit wal mutaghoyyiraat hal. 219

[10] Ini adalah kedustaan, perselisihan dalam permasalahan itu sama sekali tidak layak ditinjau, dikarenakan yang menyelisihi tidaklah memiliki satu dalilpun atau yang serupa dengan dalil.

[11] Ats Tsawabit wal mutaghoyyiraat hal. 187

[12] Pada hakikatnya, kaum salafiyyiin tidaklah mengharuskan seorangpun untuk berpegang kecuali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

[13] Ats Tsawabit wal mutaghoyyiraat hal. 15 – 16

Tinggalkan komentar