Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Beberapa ketentuan dalam Masalah Ijtihadiyah

Posted by Abahnya Kautsar pada 23 Oktober 2008

 

Pasal

Beberapa ketentuan dalam Masalah Ijtihadiyah

 

Sejumlah masalah-masalah kontemporer bermunculan pada zaman belakangan ini, yang merupakan masalah yang tidak dijumpai keterangannya secara khusus , akan tetapi bukan hal yang diragukan bahwa masalah-masalah kontemporer ini telah pula masuk dalam bahasan syari’at secara ilmiyah, dikarenakan kesempurnaan syari’at Islam itu sendiri.

Syari’at Islam mempunyai Qawaid Kulliyat  –aturan aturan dasar yang bersifat umum menyeluruh – yang mana semisal  satu persatu detail pembahasan tersebut dikembalikan pada Qawaid Kulliyat tadi. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah – : ” Dikarenakan syari’at Islam, nash-nash yang ada dalamnya adalah Kalimat Jawami’ – kumpulan bahasan yang menyeluruh – dan Qadhoya Kulliyat – Aturan-aturan umum, Qawaid/aturan-aturan global, yang tidak mungkin membeberkan satu persatu persoalan juziyat yang ada dialam ini hingga datangnya hari kiamat. Maka diperlukan adanya ijtihad pada persoalan-persoalan tertentu, apakah termasuk pada Kalimat Kulliyat tadi ataukah tidak. ” [1]

Hanya saja teramat disayangkan, semisal persoalan-persoalan kontemporer ini akhirnya menjadi sebab terpisahkannya para syababul ummah –generasi muda islam – dari para Ulama. Dan sebagian para penuntut Ilmu berafiliasi dengan pendapat ia sendiri pada permasalahan kontemporer ini dan menyelisihi semua Ulama besar Islam yang telah diakui kedalaman pengetahuan mereka, niat dan perjalanan hidup mereka yang terpuji.[2] 

Dan ketika disampaikan kepada mereka tentnag hal itu ! Ia akan menjawabmu seraya mengatakan : Tidaklah dibenarkan pengingkaran pada permasalahan ijtihadiyah !!

Ini Qaidah yang benar, namun bukan seperti yang dikehendaki oleh mereka, dikarenakan ada katentuan dan sejumlah adab dalam menyikapi masalah-masalah ijtihadiyah :

Yang pertama : Masalah Ijtihadiyah adalah masalah yang dibebankan hanya kepada para Ahli Ijtihad, yang tiada lain adalah para Ulama.

Berkata Asy syathibi : ” Ijtihad yang secara syar’I diakui, adalah ijtihad yang berasal dari para Ahli ijtihad, yakni mereka yang telah menguasai semua  yang diperlukan dalam suatu ijtihad ” [3]

Kedua : Mengutamakan kemashlahatan menyatunya ummat islam dengan para Ulama mereka, dan kesepakatan para ulama dengan kaum muslimin jauh lebih baik dibandingkan ketimpangan yang diperbuat oleh penuntut ilmu terhadap mereka.

Berkata Ibnu Abil ‘Izzi : ” Nash-nash Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ ulama Salaf, bahwa waliyul Amri, Imam sholat, hakim, pemimpin perang, pengumpul shadaqah, dita’ati dalam tempat-tempat diperbolehkannya  berijtihad. Dan tidaklah diperkenankan mentaati pengikutnya dalam persoalan ijtihadiyah, melainkan yang wajib adalah taat kepadanya dalam setiap perkara itu, dan meninggalkan pendapat mereka demi melakukan pendapatnya, dikarenakan sesungguhnya kemashlahatan jama’ah dan persatuan kaum muslimin serta mafsadat akibat perpecahan dan perselisihan lebih utama daripada mempersoalkan masalah-masalah juziyat ” [4]

Dan inlah fiqh yang sesungguhnya, dimana ulama adalah salah satu dari dua kalangan yang dikatakan sebagai Waliyul Amri, yang Allah perintahkan kita untuk taat kepada mereka, dan jikalau tidak diwajibkan taat kepada mereka pada permasalhan-permasalahan kontemporer maka kapak lagi diwajibkan ketaat kepada mereka ?!

Adapun masalah-masalah yang telah jelas nash-nash syara’ –nya, ketaatan kepada mereka dalam masalah-masalah tersebut adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sepatutnya seorang yang berilmu mau memperhatikan bagian ini.

Ketiga : Musyawarah dengan para Ulama, dan ini merupakan tanda  adanya ilmu pada diri ia dan ittiba’ ia kepada perintah Allah dan petunjuk Nabi shollalahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Dan meninggalkan musyawarah bersama Ulama adalah tanda kurangnya ilmu orang yang berpaling dari ulama.

Berkata Ibnul Qoyyim –rahimahullah – : ” Dan jika ia mengetahui seseorang yang ia percayai keilmuannya, maka sepatutnya ia bermusyawarah dengan ‘alim tersebut, dan tidak otodidat dalammemberikan jawaban mengandalkan dirinya sendiri dan menjadi angkuh karenanya dari meminta bantuan  fatwa ulama selain dirinya ! Dan inilah suatu kebodohan. Dan Allah –subhanahu – telah memuji kaum mu’minin dimana dalam setiap perkara mereka mereka musyawarhkan. Allah ta’ala  berfirman kepada Nabi-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam : 

{ وَ شَاوِرْهُمْ فِيْ الأَمْرِ }

” Dan engkau bermusyawarhlah dengan mereka dalam setiap perkaramu “

Dan pernah suatu ketika suatu persoalan dihadapi oleh ‘umar bin Al Khaththab –radhiallahu ‘anhu – lantas beliau bermusyawarah dengan para shahabat yang hadir saat itu, dan terkadang beliau mengumpulkan mereka dan bermusyawarah dengan mereka, bahkan terkadang beliau bermusyawarah dengan Ibnu ‘Abbas –radhiallahu ‘anhuma – sedangkan beliau waktu itu adalah yang termuda umurnya, dan terkadang beliau bermusyawarah dengan ‘Ali – radhiallahu ‘anhu -, dengan ‘Utsman, Tholhah, Az Zubair, ‘Abndurrahman bin ‘Auf, dan selain mereka –radhiallahu ‘anhum       ajma’in ” [5]

            Berkata Ibnu ‘Abbas –radhiallahu ‘anhuma – : ” Dan saya sekali waktu bertanya tentang suatu persoalan kepada tiga puluh para shahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ” [6]

            Keempat : Sebagian dari masalah-masalah kontemporer dan masalaha-maslaah yang baru bermunculan, kekeliruan yang ada padanya masalah tersebut adalah suatu yang terang dannyata, maka tidaklah tepat menyanggah seseorang yang mengingkarinya dengan dalih : bahwa masalah ijtihadiyah tidak layak ada pengingkaran padanya !

Berkata Syaikhuna Al ‘Allamah Sholeh Al ‘Utsaimin, ketika beliau membantah orang-orang yang membolehkan demonstrasi, dan melarng pengingkaran pada perbuatan itu dengan dalih : masalah ijtihadiyah tidak layak ada pengingkaran padanya , beliau – rahimahullah – mengatakan : ” Masalah ijtihadiyah ada dua bagian :

         masalah yang kesalahannya telah diketahui maka wajib untuk dingkari

         masalah ijtihadiyah yang mana persoalannya masih dipertimbangkan, maka inilah yang tidak diberinkan pengingkaran. ” [7]

Dari sinilah, yang dilakukan oleh para Ulama besar dalam memberikan pengingkaran pada bentuk-bentuk  demonstrasi – dan yang serupa dengannya – , seperti Samahatusy Syaikh al ‘allamah ‘Abdul Azis bin Baaz, Asy Syaikh Al ‘Allamah  Al Albani, Al ‘Allamah Sholeh Al Fauzan dan selain mereka, dan mereka tidak menengok sama sekali kepada sanggahan-sanggahan seperti ini yang lemah dan rapuh.

 

Judul Asli : Zajr Al Mutahawin Bidhorurah Qaidah Al Ma’dzarah wat Ta’awun

Penulis : Hamd bin Ibrahim Al ‘Utsman

Muroja’ah : Al ‘Allamah Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan

Rekomendasi : Al ‘Allamah Asy Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad

Penerbit : Maktabah Al Ghuraba’ Al Atsariyah

Cetakan Pertama 1419 H / 1999 M

Penerjemah : Abu Zakariya Al Atsary

 

 


[1]  Minhajus Sunnah 6 / 139 – 140

[2]  Dan ini adalah suatu perkara yang telah dimaklumi, dari telaah pribadi dan perjalanan spiritual mereka, bukan hal yang tersembunyi. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah 8 / 474 – 475 : ” Dan Iman, dapat diketahui dalam diri seseorang, sebagaimana diketahui segenap keadaan hati ia, dari loyalitas ia, permusuhannya, kegembiran dan kebencian ia, rasa lapar dan dahaga ia dan selainnya, dikarenakan hal seperti ini ada konsukuensi yang nampak, dimana hal yang nampak mengharuskan adanya hal serupa didalam batin, dan perkara ini telah diketahui oleh kaum manusia dari seseorang yang mereka telah kenali dekat dan yang mereka telah uji “

[3]  Al Muwafaqaat 4 / 167

[4]  Syarh Ath Thahawiyah 2 / 534 – 535

[5]  I’lamul Muwaqqi’in 4 / 256

[6]  Siyar A’lamin Nubala 3 / 344. Berkata Adz Dahabi dipenghujung atsar : Sanadanya Shohih

[7]  Kaset No. 5738, dari Tasjilaat Ibnul Qoyyim Al Islamiyah – Kuwait

Satu Tanggapan to “Beberapa ketentuan dalam Masalah Ijtihadiyah”

  1. muhammad said

    assalamualaikum ,saya ingin bertanyak tentang perdagangan berjangaka ,fenomena tersebut juga taermasuk ijtihadiyah , dan apakah para ulama telah memepelajarinya berdasarkan hukum2 islam dan bagai mana hasil nya , apakah perdagangan semacam itu di perboleh kan dalam islam , terima kasih

Tinggalkan komentar