Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Kapan seseorang yang keliru diberikan udzur?

Posted by Abahnya Kautsar pada 23 Oktober 2008

Pasal

Kapan seseorang yang keliru diberikan udzur?

 

Ketika seorang ‘alim telah mencurahkan segenap usaha ia dalam mencapai kebenaran, dan dengan membaguskan niatnya dalam mencari kebenaran itu, dan mengikuti jalan orang-orang yang beriman dalam mencari tahu kebenaran dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan ia telah menguasai ilmu-ilmu Bantu yang memudahkan ia dalam mengetahui kebenaran tersebut, lalu ia keliru dalam mencapai yang benar dan ketepan hukum allah pada masalah yang dituju, maka kesalhan ia terampuni, bahkan ia beroleh pahala dari ijtihad ia dan ketaqwaannya, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam : ” JIkalau seorang hakim berijtihad lalu ia keliru maka bagi ia satu ganjaran pahala ” [1]

Seorang ‘alim tidaklah mungkin terhindar dari kesalahan, dan tidaklah mungkin ada seorang dari para Ulama yang beranggapan demikian, dikarenakan menjangkau keseluruhan detail hukum-hukum syara’, suatu yang hal yang mustahil atau sesuatu yang sangat sulit tercapai.

Berkata Al Hafidz Ibnu Rajab : ” Dan semuanya –yakni para Ulama – menyadari bahwa menjangkau semua ilmu pengetahuan tanpa adanya ketimpangan , bukanlah tingkatan yang dicapai seorangpun dari mereka, dan tidak satupun dari para ulama terdahulu yang menyuarakan hal itu tidak juga ulama yang datang belakangan. Olehnya itulah para Imam Salaf yang keilmuan dan keutamaan mereka diakui, menerima kebenaran yang disampaikan kepada mereka, walau itu datangnya dari yang lebih rendah tingkatan ilmunya, menasihati para murid dan pengikut mereka untuk menerima kebenaran  jika kebenaran itu telah nyata walau dari selain pendapat mereka ” [2]

Akan tetapi perlu diketahui bahwa suatu pendapat yang diutarakan seorang ‘alim atas dasar ijtihad ia, lantas keliru bukan merupakan suatu keharusan untuk diikuti, walaupun ‘alim yang berpendapat tadi seorang yang paling utama dan ternama dari ummat islam ini.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : ” Oleh karena itulah para shahabat jikalau mereka berbicara dengan dasar ijtihad mereka, merekapun mengangkat tinggi-tinggi syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dari kekeliruan yang mereka lakukan dan kekeliruan yang dilakukan selain mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud pada masalah Mufawwidhoh [3] : “Saya berpendapat dalam masalah ini dengan pemikiran saya, jikalau benar adanya maka datangnya dari Allah, dan  jikalau ternyata salah maka itu datang dari diri saya dan dari syaithan, allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan itu “

Demikian juga diriwayatkan dari AshShiddiq tentang masalah Al Kalalah, dan juga dari ‘Umar tentang sejumlah masalah, dan bersamaan dengan itu mereka hanya  membenarkan pendapat mereka dari tinjauan ini, hingga ada nash syara’ yang sesuai dengan ijtihad mereka , semisal nash syara’ yang sesuai dengan ijtihad Ibnu Mas’ud dan lainnya. Dan sesungguhnya merekalah kaum yang paling mengetahui  tentang Allah dan rasul-Nya, dan segala yang diwajibkan berupa pengagungan syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, dengan menyertakan pada syari’at  yang mereka telah ketahui. Dan semua yang mereka keliru dalam hal itu pula –walau mereka semua adalah ahli ijtihad -, mereka tetap mengatakan : Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari hal ini ” [4]

 

Judul Asli : Zajr Al Mutahawin Bidhorurah Qaidah Al Ma’dzarah wat Ta’awun

Penulis : Hamd bin Ibrahim Al ‘Utsman

Muroja’ah : Al ‘Allamah Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan

Rekomendasi : Al ‘Allamah Asy Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad

Penerbit : Maktabah Al Ghuraba’ Al Atsariyah

Cetakan Pertama 1419 H / 1999 M

Penerjemah : Abu Zakariya Al Atsary

 

 


[1]  Dikeluarkan oleh Al Bukhari No. 7352 dan Muslim No. 1716 – 15

[2]  Al Farqu baina an Nashihah wat Ta’yiir hal. 20

[3]  Yakni yang menikah tanpa adanya mahar. Lihat al Mughni 10 / 138

[4]  Majmu’ Fatawa 33 / 41 – 42

Tinggalkan komentar