Kautsar

إن كنت لا تعلم فتلك مصيبة وإن كنت تعلم فالمصيبة أعظم

Hukum-hukum Ramadhan : Apakah Puasa Ramadhan Wajib Berdasarkan Rukyah

Posted by Abahnya Kautsar pada 14 Agustus 2009

Masalah ini berkaitan dengan masalah sebelumnya. Dimana yang pendapat yang shahih, bahwa bulan Ramadhan dan juga Syawal ditetapkan dengan rukyah hilal, atau dengan menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari jika tidak terlihat hilal.

Namun apakah rukyah hilal pada sebuah negeri melazimkan juga bagi negeri lainnya? Ataukah negeri yang terdekat dengannya? Ataukah masing-masing negeri mencukupkan dengan hilal dinegerinya sendiri?

Masalah ini terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama Islam,

Pendapat yang petama, bahwa apabila telah terlihat hilal di sebuah tempat dimanapun tempat tersebut, maka telah diharuskan bagi seluruh kaum muslimin untuk mengerjakan puasa.

Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Abu Hanifah, dan sebagian dari ulama Syafi’iyah, dan juga merupakan pendpat Al-Laits bin Sa’ad dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Mereka berargumen dengan beberapa dalil diantaranya, Hadist Abu Hurairah secara marfu’,

“Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.”

(HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no.1081)

Maksud hadist ini adalah rukyah dari sebagian kaum muslimin, karena seluruh kaum muslimin tidak akan dapat melihat hilal. Namun yang dapat melihatnya adalah yang mempersiapkan dirinya untuk melihat/rukyah hilal. Sementara kaum muslimin lainnya mengamalkan rukyah orang tersebut. Dengan begitu konteks hadits tersebut adalah pemakaian lafazh yang mutlak menyeluruh namun maksudnya adalah salah satu atau
sebagiannya.

Demikian juga dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Puasa adalah hari dimana kalian berpuasa dan berbuka adalah hari dimana kalian berbuka dan ‘iedul adha adalah hari dimana kalian menyembelih.”

(HR. At-Tirmidzi no.697, Abu Dawud no. 2324, Ibnu Majah no. 1660, AdDaraquthni 2/no. 35, Al-Baihaqi no.6079, Al-Mushannaf -Abdurrazzaq 4/no. 7304 dan selain mereka)

Demikian juga, bahwa hal ini akan lebih implikatif untuk menyatukan kaum muslimin serta kekuatan mereka. Dan hukum asal setiap kabar kaum muslimin melazimkan amal bagi sebagian lainnya. Dan rukyah termasuk diantara salah satu kabar tersebut.

Pendapat yang kedua, bahwa yang menjadi acuan bagi penduduk setiap negeri adalah rukyah mereka sendiri. Dan rukyah penduduk negeri selain mereka, tidak menjadi kelaziman bagi mereka.

Pendapat ini merupakan pendapat Ikrimah, Al-Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. AtTirmidzi meriwaaytkan pendapat in dari ahlil ilmi dan sama sekali tidak menyinggung pendapat lainnya, serta Al-Mawardi menyebutkan pendapat ini sebagai salah satu pandangan ulama Syafi’iyah.

Diantara dalil-dalil mereka, adalah firman Allah ta’ala,

” Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185)

Mereka mengatakan, dan siapa saja yang tidak termasuk di antara orang-orang yang hadir/berada dinegerinya tidaklah tergolong kedalam hukum mereka. Hingga -berkaitan dengan keadaannya tersebut- tidaklah dikatakan bahwa dia telah menyaksikannya, tidak secara hakiki dan tidak pula secara hukum.

Dalil lainnya adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan terdahulu,

“Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.”

Argumentasi mereka dengan hadits ini serupa dengan argumen mereka pada ayat sebelumnya. Dan juga hadits Kuraib, bahwa Ummu Al-Fadhl binti Al-Harits mengutusnya menjumpai Mu’awiyah di Syam.

Dia berkata, “Maka saya tiba di Syam dan menyelesaikan keperluan beliau. Lalu saya diminta untuk melihat -hilal- Ramadhan sementara ana berada di Syam. Saya melihat hilal Ramadhan pada malam jum’at, kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan. Lantas Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku beberapa hal, hingga beliau menyinggung perihal hilal, beliau mengatakan, “Kapankah kalian melihat hilal?” Saya menjawab, “Kami melihatnya pada malam jum’at.” Beliau bertanya, “Andakah yang melihatnya?” Saya menjawab, “Benar. Dan kaum muslimin melihatnya pula, mereka lalu berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa.” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihat hilal tersebut pada malam sabtu, hingga kami terus berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh hari atau melihat hilal tersebut.” Saya bertanya, “Tidakkah cukup bagi anda rukyah Mu’awiyah dan puasa beliau?” Ibnu Abbas berkata, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kami.”

(HR. Muslim no.1087)

Dan mereka juga berargumen, bahwa penetuan waktu harian berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Jikalau di bagian timur telah terbit fajar, maka tidaklah menjadi kelaziman bagi kaum muslimin yang berada dibarat untuk mulai berpuasa, disebabkan waktu malam masih meliputi mereka, demikian pula jika matahari terbenam. Dengan begitu, sebagaimana halnya mereka berbeda dalam waktu menahan/puasa dan waktu berbuka pada setiap harinya, juga hal tersebut berlaku pada waktu puasa dan berbuka pada awal dan akhir bulan.

Pendapat ketiga, bahwa penduduk suatu negeri tidaklah dikenakan keharusan karena rukyah hilal selain mereka. Kecuali jika imam a’zham mengharuskan bagi mereka semua. Disebabkan neger-negeri tersebut dalam tinjauan imam a’zham layaknya sebuah negeri yang satu, karenanya hukumnya berlaku menyeluruh keseluruh negeri tersebut. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Al-Majisyun.

Pendapat keempat, bahwa apabila negeri-negeri tersebut berdekatan, maka berlaku hukum yang sama. Dan jika berjauhan maka terdapat dua pandangan menurut ulama Syafi’iyah.

Pertama, tidak diwajibkan menurut pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah.

Kedua, diwajibkan. Dan pandangan ini adalah pendapat Abu Ath-Thayyib dan beberapa ulama Syafi’iyah. Al-Baghawi menghikayatkan pendapat tersebut dari Imam Asy-Syafi’i.

Bagi ulama yang mengemukakan pendapat ini, mereka berbeda persepsi dalam penentuan jarak dekat dan jauh, sehingga berlaku hukum diatas.

Di antara mereka ada yang menjadikan perbedaan mathla’ sebagai acuannya, dan ini merupakan pendapat ulama Syafi’iyah Irak, Ash-Shaidalaani dan dibenarkan oleh An-Nawawi didalam Syarh Al-Muhadzdzab.

Di antaranya juga ada yang menjadikan jarak safar yang dimana seseorang dapat mengqashar shalat sebagai acuan dekat dan jauh. Pendapat ini adalah pendapat Al-Baghawi dan di benarkan oleh Ar-Rafi’i dan An-Nawawi.

Di antara mereka ada yang menjadikan perbedaan iklim sebagai acuan jarak dekat dan jauh. Seperti yang dihikayatkan oleh Al-Hafizh didalam Fathul Bari. Dan beberapa pendapat lainnya.

Dasar argumentasi mereka adalah hadits Kuraib, dimana Ibnu Abbas tidaklah mengamalkan rukyah penduduk Syam.

Pendapat kelima, bahwa kaum muslimin mengikuti imam mereka. Mereka mengatakan bahwa negeri-negeri yang banyak tersebar luas dalam tinjauan imam, layaknya sebuah kesatuan negeri. Pendapat ini adalah salah satu pendapat didalam mazhab Imam Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi didalam kitab At-Tahqiq.

Tujuannya untuk menutup sebab pertikaian yang akan menyebabkan kafsadat yang sangat besar.

Pendapat yang rajih/tepat adalah pendapat pertama, berdasarkan dalil-dalil yang lebih zhahir dan menguatkannya.

Adapun pendapat kedua, ketiga dan keempat yang berargumen dengan hadits Kuraib, mak dapat diberi jawaban sebagai berikut;

Pertama, bahwa amalan tersebut hanyalah sebatas ijtihad dari Ibnu Abbas. Dan sandaran hukum yang utama adalah hadits-hadits yang marfu’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan keumuman hadits-hadits tersebut menunjukkan wajibnya berpuasa dengan berdasarkan rukyah/melihat hilal -yakni Ramadhan-.

Kedua, adapun makna dari perkataan beliau, “Demikianlah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kami.”

Ibnu Daqiq Al-‘Ied mengatakan, “… mungkin yang beliau maksudkan dengan perkataan ini adalah hadits umum selain hadits, “Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” Bukan hadits khusus yang berkaitan dengan masalah ini.”

Asy-Syaukani mengatakan, “Demikianlah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kami.” Yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan kami terus melanjukan puasa hingga kami menyempurnakan tiga puluh hari.”

Dan perintah yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhain dan selainnya dengan lafazh, “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihat hilal. Dan jika kalian terhalangi tidak dapat melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh hari.”

Hadist ini tidaklah berlaku khusus pada penduduk suatu wilayah tertentu, melainkan berlaku menyeluruh bagi seluruh kaum muslimin.

Ketiga, dan juga dapat dijawab bahwa kisah Kuraib bersama Ibnu Abbas, dapat dipahami karena ketidak sanggupan penduduk Madinah untuk mengetahui rukyah penduduk Syam, baik rukyah awal Ramadhan maupun rukyah bulan Syawal.

Sedangkan argumentasi mereka dengan ayat tentang puasa dan hadits, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal,” sama sekali tidak menunjukkan argumen yang mereka inginkan. Dimana pada ayat dan hadits tersebut tidak menyiratkan adanya rukyah hilal yang beragam pada masing-masing wilayah/negeri. Karena jika sebagian kaum muslimin telah melihat hilal Ramadhan ataukah Syawal, dan mengabarkan kepada sebagian lainnya, maka kabar mereka berlaku bagi seluruhnya, dan rukyah hilal mereka adalah rukyah yang berlaku bagi seluruhnya.

Dengan demikian pendapat pertama adalah pendapat yang terkuat dari beberapa pendapat lainnya. Pendapat yang pertama ini, juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, AsySyaikh Al-Albani rahimahullah dan selain mereka.

Sedangkan pendapat yang kelima, dalam pandangan beberapa ulama mu’ashirin, adalah pendapat yang kuat dan logis ditinjau dari aspek persatuan dan ukhuwah kaum muslimin serta mencegah segala sebab perbedaan dan perpecahan didalam tubuh kaum muslimin.

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah mengatakan, hingga seluruh negeri Islam bersepakat akan hal itu, saya berpendapat bahwa bagi setiap penduduk negeri diharuskan berpuasa bersama negerinya. Dan tidaklah dia memisahkan dirinya, hingga sebagian diantara mereka berpuasa bersama negerinya dan sebagian lainnya berpuasa bersama selain negerinya, baik negeri tersebut lebih dahulu berpuasa atau
terlambat. Karena hal tersebut akan melebarkan lingkup perbedaan pendapat dalam sebuah komunitas, sebagaimana yang terjadi pada beberapa negeri-negeri Arab semenjak beberapa tahuk silam. Wallahul musta’an.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Al-Utsaimin didalam kitab beliau Asy-Syarh Al-Mumti’ mengatakan, “Dan amalan kaum muslimin pada hari ini berdasarkan hal ini. Bahwa jika waliyul amri telah menetapkan -puasa atau berbuka/’ied- maka seluruh yang berada dalam wilayah kekuasaannya diharuskan untuk konsukuen dengan puasa atau berbuka. Ditinjau dari tinjauan persatuan, pendapat ini adalah pendapat yang kuat, …”

(Lihat: Al-Majmu’ 6/273, Al-Mughni 4/132-133, Al-Inshaf 3/369, Al-Ihkam 2/207, Al-Fatawa 25/105, Zaadul Ma’ad 2/36-40, Al-Hawi Al-Kabir 3/409-410, Subul As-Salam 2/866, Nail Al-Authar 8/248-252, Fathul Bari 4/123, Tuhfah Al-Ahwadzi 3/107-109, Manar As-Sabil 1/367, Tamam Al-Minnah hal. 398, Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/322)

Catatan:

Demikianlah uraian masalah ini, dan hukum asal masalah tersebut adalah kembali kepada dalil syara’. Dan telah diketahui pendapat yang terkuat pada masalah ini. Sedangkan tinjauan mashlahat, dengan mentaati pemerintah yang bersangkutan dalam hal awal mula puasa maupun akhir puasa (termasuk juga hari raya ‘ied), adalah tinjauan yang dapat diterima secara syar’i dan nalar yang shahih serta kaidah-kaidah hukum syara’. Namun bukanlah berarti, tinjauan mashalat yang demikian dijadikan sebagai sebab memecah belah kaum muslimin, hingga sebagian mengecap kalangan yang berpegang dengan hukum asal masalah ini sebagai kaum yang menyimpang, bahkan memvonisnya sebagai “khawarij”, wa na’udzu billah. Akan tetapi nasihat dan dialog ilmiyah akan lebih berfaedah dan bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.

Sumber : darel-salam.com

Tinggalkan komentar