Jika seseorang melakukan jima’ dengan istrinya pada siang hari Ramadhan, apakah istrinya juga dikenakan keharusan membayarkan kaffarah ataukah kaffarah hanya bagi dia (laki-laki) tersebut seorang?
Posted by Abahnya Kautsar pada 22 Agustus 2009
Adapun batalnya puasa wanita tersebut, tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Dan mereka hanya berselisih dalam masalah keharusan membayarkan kaffarah. Apakah juga berlaku bagi si wanita ataukah tidak? Terdapat dua pendapat dikalangan ulama,
Pertama, yang merupakan pendapat mayoritas ulama, bahwa kaffarah juga diharuskan bagi si wanita sebagaimana kaffarah wajib bagi laki-laki (suaminya).
Kedua, bahwa kaffarah tidak wajib bagi wanita. Dan jika laki-laki (suaminya) telah membayarkan kaffarah, maka kaffarah tersebut telah mencukupkannya dan juga istrinya.
Pendapat ini adalah pendapat asy-Syafi’i, dan juga pendapat al-Auza’i dan al-Hasan al-Bashri. Dan juga diriwayatkan pendapat ini dari imam Ahmad.
Yang tepat insya Allah, bahwa kaffarah juga diharuskan kepada wanita sebagaimana diharuskan bagi suaminya. Karena wanita setara dengan laki-laki dalam setiap hukum syara’, kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “… Hadist itu, dijadikan dasar argumen bahwa kaffarah hanya diwajibkan bagi laki-laki seorang tidak kepada wanita yang digaulinya. Demikian juga dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanyakannya beberapa kali kepada orang tersebut, “Apakah engkau sanggup?” dan “Apakah engkau memiliki kemampuan?” dan selain itu. Pendapat inilah yang paling shahih dari dua pendapat asy-Syafi’i dan juga merupakan pendapat al-Auza’i.
Sementara mayoritas ulama dan juga merupakan pendapat Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, bahwa kaffarah wajib bagi wanita juga, dalam tinjauan ragam perbedaan dan rinciannya dalam pandangan mereka, pada wanita yang mardeka, budah sahaya, yang merelakan dirinya atau yang dipaksa melakukannya, dan apakah kaffarah tersebut diharuskan bagi si wanita atau kepada si laki-laki.
Ulama asy-Syafi’iyah berargumen dengan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan tidak mengabarkan tentang keharusan kaffarah bagi wanita sementara hal tersebut suatu yang urgen.
Namun argumen tersebut dapat dijawab, bahwa menyanggah eksistensi urgensi pemberitahuan tersebut saat itu. Dikarenakan wanita tersebut tidaklah mengakui dan tidak bertanya. Adapun pengakuan suami terhadap diri istrinya tidaklah mengharuskan adanya suatu hukum bagi si wanita, selama wanita tersebut tidak mengakuinya.
Dan juga, bahwa kasus tersebut adalah kasus yang spesifik. Dengan begitu diamnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap si wanita tidaklah menunjukkan sebuah hukum, karena adanya kemungkinan wanita tersebut tidak dalam keadaan berpuasa karena adanya udzur.
Dan pula, pejelasan hukum kepada laki-laki tersebut juga merupakan penjelasan hukum kepada si wanita, karena keduanya berkedudukan sama dalam pengharaman berbuka dan melanggar kehormatan puasa Ramadhan.
Sebagaimana halnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh laki-laki tersebut untuk mandi (janabah), karena penegasan adanya nash pada sebuah hukum untuk beberapa sebagian mukallaf sudah mencukupi pemberlakuannya bagi mukallaf yang lainnya.
Dan juga ada kemungkinan bahwa sebab diamnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemberlakuan hukum terhadap wanita, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah mengetahui penyampaian suaminya bahwa wanita tersebut tidak memiliki kemampuan sedikitpun juga.”
Tinggalkan komentar